Seni dalam Jangkauan Kantong
Dunia seni rupa sering meninggalkan kesan tak tersentuh. Harga selangit, karyanya pun tak mudah didapat. Karya seni rupa seolah menjadi milik para kolektor semata. Namun, seni rupa kini makin membumi, terjangkau oleh mereka yang awam. Seni juga mewujud di sarung bantal yang bisa dibawa pulang siapa saja.
Stan Granara Art di area selasar ballroom Hotel Ritz-Carlton Jakarta Pacific Place, Jumat (3/8/2018) siang, ramai oleh pengunjung. Granara tengah mengadakan pelatihan singkat monoprinting untuk para pengunjung Art Jakarta 2018. Di situ, Rara, desainer interior, menorehkan sedikit demi sedikit cat di atas lembaran akrilik, lalu meratakannya sehingga membentuk perpaduan warna. Lalu, dibawa ke mesin cetak yang membuat cat di atas lembaran akrilik itu menempel pada selembar kertas.
”Saya sudah bikin enam lembar ini. Bisa buat menghilangkan stres, nih,” ucap Rara. Di atas lembaran akrilik juga ditempel dedaunan yang diberi warna sehingga meninggalkan bentuk daun pada kertas, bersama dengan warna-warni yang sudah diaplikasikan lebih dulu.
Beberapa pengunjung lain menyusul, di antaranya perupa Kemalezedine yang ikut memamerkan karya di Art Jakarta. Mereka antusias memadukan warna, juga goresan kuas atau kreasi lainnya di atas lembaran akrilik dan mencetaknya di atas kertas.
Pelatihan kreatif yang digelar Granara Art menjadi salah satu cara membuat seni rupa berada dalam jangkauan yang lebih luas. Selain pengalaman, ada unsur kesenangan dan pendidikan dalam menciptakan karya seni. Ada pula perspektif baru yang hendak diusung tentang implementasi seni dalam kehidupan sehari-hari untuk segala usia.
Sebelumnya, Kemalezedine juga menyapa anak-anak sekolah yang berkunjung ke Art Jakarta dan mampir di stan karyanya, ”Square Circle Series”. Warna yang cerah dari karya tersebut menarik minat pengunjung.
”Suka gambar enggak?” tanya Kemalezedine kepada anak-anak itu. ”Kalau suka, jangan berhenti, ya. Kita menggambar, kita mengekspresikan apa yang kita rasa, yang kita suka. Saya dari dulu suka warna,” lanjutnya, disambut antusias oleh anak-anak.
Deputy Head of Committee Art Jakarta Ria Lirungan menuturkan, Art Jakarta tahun ini memang mencoba semakin memperluas jangkauan apresiasi seni rupa. Tujuannya, mendekatkan festival seni rupa kepada masyarakat.
Ria mencontohkan, salah satu program, yakni Art Gram, menghadirkan persona-persona yang terkenal di media sosial Instagram karena unggahan di akun mereka yang bercita rasa seni. Ada perancang mode Lulu Lutfi Labibi (@lululutfilabibi), chef Chitra (@chitrachef), traveler Benny Jurdi (@bennyjurdi), ilustrator Diela Maharanie (@dielamaharanie), dan fotografer Mikael Aldo (@mikaelaldo) yang gemar berbagi keindahan dan keunikan dari bidang-bidang yang mereka tekuni di Instagram.
Saat ini orang bisa dengan mudah mengakses dan melihat seni secara langsung melalui berbagai platform media sosial. ”Ada faktor bagaimana kita bisa mengapresiasi seni dalam kacamata yang berbeda. Mereka memang bukan perupa, tetapi posting mereka dikomposisi sedemikian rupa sehingga artistik,” ujar Ria.
Bagi perancang busana Lulu Lutfi Labibi, seni bergerak mengikuti zaman, termasuk soal medium atau platform yang mewadahinya. Instagram menjadi salah satu wadah baru yang menghubungkan seseorang atau seniman dengan audiens penikmat karyanya. Apa yang disajikan Lulu di Instagram-nya kebanyakan adalah karya busananya yang kemudian dikemas dalam sajian konsep dan eksekusi foto serta narasi yang dipersiapkan.
Seni aplikatif
Selain Art Gram yang menggambarkan seni dalam genggaman, hadir pula seni aplikatif pada barang-barang yang dipergunakan sehari-hari, seperti tas, sarung bantal, payung, tumbler, serta kaus sebagai merchandise dalam Art Bar. Karya empat seniman, yakni Wedhar Riyadi, Agan Harahap, Uji ”Hahan” Handoko, dan Petek Sutrisno, berbicara tentang beragam isu, tetapi ditampilkan dalam karya unik.
Misalnya Agan Harahap mengangkat isu agama dalam ”Happy Religion” atau Uji ”Hahan” Handoko yang menampilkan isu dampak uang terhadap kehidupan manusia lewat karya ”Never Say Never, So I Better Say Ye$”. Karya aplikasi di atas kaus dijual seharga Rp 300.000, sarung bantal Rp 250.000, dan tote bag Rp 400.000.
Program Creart atau creative art market pada Art Jakarta juga menyediakan berbagai produk kreatif dan bernilai seni untuk pasar yang lebih luas dengan harga yang juga terjangkau. Misalnya karya Eko Nugroho berlabel DGTMB yang diaplikasikan pada tas, topi, kaus, mainan, tirai, dan pouch. Harganya mulai dari
Rp 110.000 hingga Rp 850.000.
Dengan program-program baru semacam itu, profil pengunjung pameran seni rupa ini pun semakin luas. Seni rupa tak hanya di awang-awang, tetapi bisa dipegang dan dipakai, yang kerap disebut wearable art.
Contoh lain aplikasi seni yang diterapkan pada barang fungsional yang mendekatkan seni pada kehidupan keseharian adalah lemari es yang seluruh permukaannya dilukisi mural, gambar yang dialihwahanakan pada karpet yang bisa ditaruh di lantai atau dipasang di dinding, serta gambar yang digoreskan pada piring-piring. Barang-barang ini akan dijual secara lelang pada hari terakhir acara dan hasilnya disumbangkan kepada Yayasan Jantung Indonesia dalam acara Art Charity.
Beberapa seniman yang terlibat adalah Darbotz, Indra Dodi, Indieguerillas, Naufal Abshar, Aditya Novali, Abenk Alter, Radi Arwinda, Bambang Toko, Wedhar Riyadi, Roby Dwi Antono, Mujahidin Nurrahman, dan Hendra Hehe Harsono.
”Saya selalu percaya art is for everyone, dari yang kaya sampai yang enggak punya duit. Semua orang berhak menikmati seni. Kalau belum bisa memiliki, ya, menikmati dulu. Itu sebabnya, saya suka gambar di jalan supaya semua orang bisa melihat dan menikmati,” kata Darbotz.
Seniman mural ini kadang-kadang juga memproduksi sendiri barang-barang yang dihiasi gambarnya, seperti pin, kaus, topi, jaket, mainan figure, dan poster. Benda-benda ini dijual lewat situs web atau saat bazar.
Menarik perhatian masyarakat pada seni rupa juga bisa dilakukan melalui makanan, setidaknya seperti yang diupayakan lewat pop-up resto yang dirancang seperti sangkar burung. Materialnya terbuat dari anyaman rotan sintetis ramah lingkungan yang dibangun oleh Viro bekerja sama dengan desainer Kezia Karin dan Studio Larch. Restoran yang dihadirkan berasal dari Singapura, Maggie Joan’s.
”Affordable art akan membuat kita mudah diakses. Kami suka idenya, menggabungkan gaya hidup, seni, makanan, dan budaya menjadi satu. Hal seperti ini belum pernah kami temui di Singapura,” kata pemilik Maggie Joan’s, Daniel Ballis, didampingi chef Seumas Smith.
Kolektor muda
Salah satu sorotan dalam Art Jakarta 2018 adalah kemunculan para kolektor muda yang pada masa mendatang diprediksi bakal membentuk wajah seni rupa Indonesia. Mereka dinilai semakin bisa mengapresiasi karya seni rupa karena tidak sekadar melihat wujud karya seni, tetapi juga sangat memperhatikan konsep karya berikut cerita di balik penciptaannya.
”Kalau melihat anak-anak muda sekarang, mereka benar-benar terpapar oleh informasi dengan baik. Jadi, mereka tahu memilih tidak hanya karena sesuai jiwa muda mereka, tetapi juga karena mereka menghargai proses karyanya,” ujar Ria Lirungan.
Ini dibenarkan oleh Dedy Koswara (45) yang sejak 2012 mulai mengoleksi karya seni. ”Awalnya memang karena suka karena sesuai selera emosi saya. Lama-lama saya belajar pintar dengan mulai memahami konsep, cerita, sampai keluar karya, dan akhirnya saya berani membeli,” tuturnya.
Dedy tidak terlalu ambil pusing dengan dinamika nilai suatu karya seni rupa. Dia membeli berdasarkan rasa suka pada karya tersebut. ”Kalau dilihat memang karya yang awal saya beli dengan sekarang itu berevolusi. Orang mau bilang koleksi itu jelek, terserah. Yang penting, ketika melihat karya seni itu, saya bahagia,” ujar Dedy.
Kolektor Wiyu Wahono mengatakan, generasi pasca-Perang Dingin kini mengambil peran besar sebagai kolektor muda. Mereka sudah selesai sekolah, sudah bekerja 4-5 tahun, memiliki uang cukup, dan mulai berani mengoleksi karya seni.
”Apa yang mereka sukai itulah yang bisa menentukan karya itu bisa baik atau buruk. Mereka yang membeli, mereka yang mengoleksi, mereka pula yang jadi kuratornya,” ujar Wiyu.
Pasangan pesohor Widi Mulia dan Dwi Sasono datang ke Art Jakarta karena bermula dari kunjungan ke Maggie Joan’s. Keduanya sangat sadar pentingnya seni dalam kehidupan. Itu sebabnya, mereka mendorong anak-anak mereka untuk menekuni seni. Di dinding ruang tamu rumah mereka sengaja dihiasi gambar mural karya Studio Larch untuk memantik cita rasa seni anak- anak. ”Seni itu penting banget, kebutuhan utama. Makanan batin juga. Berkesenian itu melatih kecerdasan dan butuh penyaluran,” kata Widi.
Seni menjadi cara menyalurkan pikiran manusia menjadi ekspresi kreatif. Seni menghadirkan keindahan yang tanpanya dunia hanya berisi kemarahan dan kekecewaan. Dari workshop seni yang praktis hingga benda-benda nyeni dengan harga terjangkau, dari unggahan Instagram yang artsy hingga sajian cantik makanan di piring saji, seni mengisi jiwa dan menjaganya dari kekeringan.
Seperti kata filsuf Yunani, Aristophanes, let each man exercise the art he knows.