Yang ”Nyeni”, yang Eksis
Sepuluh tahun lalu, barangkali seni rupa tidak dilirik oleh orang kebanyakan. Kini, pameran seni rupa dipadati pengunjung. Berada di pameran seni rupa menjadi penting sebagai bentuk eksistensi diri, terutama di media sosial. Mereka berdandan, berpakaian rapi, dan antusias untuk berfoto bersama karya yang dipamerkan lalu dipajang di akun media sosial. Inilah apresiasi itu: datang, berfoto, unggah.
Begitu masuk ke ruang pamer galeri-galeri di pameran seni Art Jakarta, Jumat (3/8/2018), Nani Winarni (40) tak henti-hentinya mengarahkan kamera ponsel ke karya-karya seni yang dipajang. Matanya berbinar. Dia meminta temannya untuk memotret dirinya dalam berbagai pose di depan, di samping, di antara, menghadap, dan membelakangi lukisan.
Lukisan abstrak lebih menarik hatinya. Lorong demi lorong dia telusuri. Begitu menemukan karya yang menurut dia bagus, dia langsung berfoto. ”Bagus-bagus semua, sampai bingung mau foto sama yang mana,” seru Nani, yang sehari-hari berwirausaha.
Dia baru kali ini berkunjung ke Art Jakarta yang tahun ini digelar pada 2-5 Agustus di ballroom Hotel Ritz-Carlton, Pacific Place. Namun, dia tak asing dengan pameran seni rupa. Nani sering mengunjungi pameran serupa, juga ke museum dan galeri, seperti Galeri Nasional dan Museum MACAN yang sedang hits.
”Saya memang penikmat seni. Ada beberapa karya di tempat tinggal saya. Kecil-kecil, sih, dan harganya relatif terjangkau untuk saya. Kalau yang besar-besar begini, saya menikmati saja.”
Bagi Nani, pameran seni rupa semacam Art Jakarta adalah salah satu hiburan di Ibu Kota. Pengunjung bebas berfoto ria dengan karya para seniman terkenal, yang sering kali tidak bisa dilakukan di galeri-galeri tertentu. Dia juga tidak keberatan membeli tiket masuk pameran, yang penting bisa menikmati.
Baru tahun ini Art Jakarta memberlakukan tiket masuk bagi pengunjung sebesar Rp 50.000, sebelumnya selalu gratis.
Tak lama foto-foto itu langsung diunggah ke akun media sosialnya. ”Semua langsung masuk ke Facebook, Instagram, Twitter. Ha-ha-ha. Biar pada tahu. Biasanya saya kasih tanda, lukisan apa yang saya suka. Enggak begitu hafal juga itu karya siapa, tetapi kalau ada yang saya suka, saya bagikan,” tutur Nani, yang juga memantau medsos agar tidak ketinggalan informasi pameran seni.
Nani tak sendirian. Sebagian besar pengunjung yang memadati acara pembukaan dan hari pertama pameran Art Jakarta melakukan hal yang sama: berfoto dan berswafoto.
Diana Fikri, yang datang bersama sembilan temannya, langsung tergoda oleh instalasi ”Prisoner of Hope” di stan Ciputra Artpreneur Museum yang menandai pameran Spektrum Hendra Gunawan. Di situ, instruktur yoga dan pilates ini bergantian foto dengan teman-temannya.
”Baru saja datang, lihat spot pertama ini langsung suka banget. Menyempatkan diri deh buat foto karena instagramable banget,” ungkapnya.
Diana datang atas undangan temannya, pemilik galeri yang menjadi peserta Art Jakarta. Dia bilang, tidak terlalu paham lukisan, tetapi cukup suka mengunjungi pameran seni, seperti Art Jog atau Museum MACAN. Dia juga menyempatkan diri ke ArtScience Museum di Marina Bay Sands, Singapura.
”Dulu seni enggak terlalu diekspos, hanya dinikmati komunitas secara diam-diam, sendiri saja. Sekarang orang sudah mulai bisa apresiasi. Yang enggak tahu seni melihat seperti ini senang karena bagus,” kata Diana.
Pegang-pegang
Karya-karya yang bentuk atau warnanya unik selalu menjadi pilihan latar belakang foto. Salah satunya terlihat dalam instalasi berjudul ”The Irony of Ruralism” karya Eddy Susanto yang dipamerkan di area selasar. Karya itu berbentuk semacam ruang dengan pagar besi hitam berukir, di latar belakang gambar rumah joglo dengan nuansa zaman dulu yang seluruhnya berupa tulisan huruf Jawa, di lantainya bertebaran daun kering.
Seorang pengunjung perempuan tampak membuat video kakinya yang melangkah di antara daun-daun kering, dari masuk hingga keluar. Pengunjung lain, berswafoto bersama teman atau pasangan dengan berbagai gaya. Berdiri, jongkok, berlutut, badan menghadap belakang kepala menoleh ke depan. Tak sedikit yang berfoto sambil memegang lukisan atau bersandar.
”Jangan dipegang, Mbak.” ”Maju sedikit, Mas, jangan bersandar.” Demikian berulang-ulang dilontarkan Ayu dari Galeri Lawangwangi yang berjaga di dekat instalasi kepada pengunjung yang berfoto.
Karya seni rupa itu rupanya hanya menarik untuk latar belakang foto. Tak banyak yang menanyakan kepada Ayu tentang karya itu sendiri. Selama sekitar satu jam sejak pameran dibuka, hanya segelintir orang yang bertanya dibandingkan puluhan orang yang berfoto.
Penasaran lalu pegang-pegang karya seni rupa masih jamak ditemui, kendati sudah ada peringatan untuk tidak menyentuh. Karya instalasi dalam program spesial ”10 for 10”, yang dihadirkan khusus untuk merayakan 10 tahun penyelenggaraan Art Jakarta, menjadi spot paling menarik pengunjung. Karya-karya unik para seniman ternama di Indonesia itu paling banyak jadi latar belakang foto dan paling banyak pula dipegang-pegang.
Misalnya instalasi berjudul ”Malaikat yang Menjaga Hankamnas” karya Agus Suwage yang berupa tengkorak hitam bersayap emas dan memegang pedang emas. Pedang itu menjadi sasaran pegang-pegang. Atau instalasi berupa bilah-bilah bewarna-warni bak pelangi berjudul ”389-696-104-554” karya Syagini Ratna Wulan, yang banyak menjadi latar belakang foto pengunjung. Petugas sering mengingatkan pengunjung yang penasaran memegangnya.
Gaya hidup
Begitulah kini seni, termasuk seni rupa, telah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat urban. Fenomena ini disadari betul oleh penyelenggara pameran seni. Deputy Head of Committee Art Jakarta 2018 Ria Lirungan mengungkapkan, program pameran dibuat untuk merangkul semakin banyak kalangan agar bisa mengapresiasi karya seni rupa dengan caranya masing-masing. Tahun ini, aliran pengunjung dan tata letak dibuat lebih nyaman.
”Kami tetap membawa DNA Art Jakarta yang sudah bertahun-tahun kami bawa, yakni bukan hanya sebagai platform temu antara pelaku seni rupa dan galeri, kolektor, dan penikmat, melainkan juga misi edukasi. Mungkin berbeda dengan art fair lain, Art Jakarta memang diawali dari majalah gaya hidup sehingga injeksi gaya hidup juga ada. Jadi, bagaimana seni rupa melebur dalam sisi-sisi kehidupan, terutama gaya hidup,” ujarnya.
Pertalian paling nyata adalah seni rupa dan mode. Ria menuturkan, kali ini jalinan seni dan gaya hidup itu bisa dilihat dari head piece rancangan Rinaldy A Yunardi yang disponsori balai lelang Sotheby’s. Pada perhelatan Met Gala 2018, mahkota rancangan Rinaldy dikenakan penyanyi Madonna.
Seperti telah disebutkan, menandai 10 tahun penyelenggaraan, Art Jakarta menghadirkan sejumlah program spesial. Yang pertama adalah ”10 for 10”, yakni 10 instalasi karya 10 perupa terkemuka Indonesia dengan konsep museum show. Ada pula Metamorfosis Ay Tjoe Christine yang menampilkan rangkaian perkembangan karya dari awal karier sampai saat ini, Japan Art Now yang memamerkan karya 10 seniman Jepang terkini, serta AJ 100 berupa rangkaian karya galeri yang baru tumbuh dengan harga di bawah Rp 100 juta.
Tahun ini pengunjung bisa menikmati lebih dari 1.000 karya seni oleh lebih dari 300 seniman dan 51 galeri. ”Tahun ini kami buat berbayar untuk membuat platform ini terasa lebih terapresiasi. Kalau dilihat nilainya tidak tinggi, sebesar tiket menonton bioskop saja. Dengan begini kita bisa menakar seberapa besar apresiasi masyarakat,” ujar Ria.
Tahun 2017, jumlah pengunjung Art Jakarta mencapai lebih dari 47.000 orang.
Dari pantauan selama dua hari penyelenggaraan, pengunjung tetap ramai. Pengunjung datang dari berbagai kalangan, mulai anggota DPR, selebritas, kolektor, hingga pelajar, desainer interior, dan masyarakat umum. Ada yang sibuk berfoto, ada yang menikmati betul karya seni rupa.
Rifki Adriarshad (18), misalnya, selalu membaca keterangan karya lantas mengamati dengan saksama bentuk visual, penjelasan, dan teknik pembuatannya. Kadang-kadang ia memotret karya itu, tetapi tidak pernah terlihat berswafoto. ”Saya baru kali ini ke Art Jakarta dan sengaja datang untuk melihat ini,” tutur mahasiswa Seni Murni Institut Seni Rupa Indonesia Yogyakarta itu.
Pihak penyelenggara memaklumi ragam apresiasi para pengunjung. Menurut Ria, acara ini secara perlahan bisa menjadi ajang mengedukasi masyarakat.
”Saya rasa ini suatu proses pembelajaran. Mungkin sebenarnya mereka enggak mengerti kalau art is actually visual. Jadi, lihatlah dengan mata, jangan pegang-pegang,” ujarnya.
Dia merujuk kasus dugaan kerusakan dalam pameran karya Yayoi Kusama di Museum MACAN. Setelah viral di media sosial, warganet dan media massa bereaksi dengan cepat sehingga tidak timbul kerusakan lebih jauh.
Gil Schneider, konsultan Art Jakarta, dan Andonowati, pemilik Galeri Lawangwangi, menyatakan hal senada. Menurut Schneider, foto dan swafoto malah bisa membantu publikasi karya-karya seni yang dipamerkan secara lebih luas. ”Dulu, 20 tahun lalu, enggak mungkin foto-foto dengan bebas karena pakai kamera film. Kami minta galeri untuk tidak memajang barang-barang yang mudah rusak sebagai antisipasi,” ujarnya.
Bagi Andonowati, foto-foto dan swafoto menjadi tahap paling awal sebuah apresiasi. ”Pertama mungkin penasaran, berfoto, lalu timbul keinginan untuk menikmati, mengalami,” katanya.