Lansia Menolak Terasing
Menjadi tua di kota seriuh seperti Jakarta bukanlah perkara mudah. Agar tak menjadi semakin terasing di tengah hiruk-pikuk kesibukan Ibu Kota, warga lansia bergabung dalam kantong-kantong komunitas. Dalam kehangatan komunitas, mereka kembali menemukan gairah anak muda. Hidup pun tak lagi hanya sekadar menunggu usai
Menjadi tua di kota seriuh seperti Jakarta bukanlah perkara mudah. Agar tak menjadi semakin terasing di tengah hiruk-pikuk kesibukan Ibu Kota, warga lansia bergabung dalam kantong-kantong komunitas. Dalam kehangatan komunitas, mereka kembali menemukan gairah anak muda. Hidup pun tak lagi hanya sekadar menunggu usai.
Di kawasan elite Jalan Adityawarman, Kebayoran Baru, para pinisepuh yang bergabung dalam komunitas Sahabat Lansia Tangguh rutin berkumpul setiap tiga pekan sekali. Pada Kamis (9/8/2018), lebih dari 40 orang tua berusia di atas 60 tahun berkumpul dari pagi hingga siang hari, di antaranya ada psikolog Prof (Em) Dr Saparinah Sadli (90) serta Roosminnie Emil Salim (80).
Belasan di antara mereka yang hadir hari itu adalah anggota yang baru pertama kali datang di komunitas yang lahir sejak 2013 tersebut. Meskipun baru sekali datang, mereka segera disambut dengan kehangatan. ”Waktu muda, kami enggak pengin ketemu orang. Begitu tua, silaturahim jadi penting. Jangan memperkecil arti silaturahim. Penting bagi orang lansia terus ngobrol dan belajar,” kata Saparinah yang mendirikan Sahabat Lansia Tangguh bersama psikolog klinis Evita Djaman, psikolog perkembangan Dr Soemiarti Patmonodewo, ekonom Dra Juny Intan Gunawan, dan pakar manajemen Lenny Widjaja.
Begitu memasuki rumah yang dinaungi pohon-pohon raksasa, para senior segera dituntun ke ruang tengah melewati gebyok ukiran kayu di rumah Atiek Susilo (74). Atiek yang pensiunan TNI AU membuka lebar-lebar pintu rumah orangtuanya tersebut agar tak kesepian karena telah lebih dari 25 tahun hidup tanpa almarhum suaminya yang dulu juga bekerja di TNI AU. ”Hidup di kota besar begini kalau tanpa teman bakal sepi,” ujar Atiek.
Sunyi di ruang tengah segera pecah oleh suara Evita yang menjadi pemandu acara hari itu. Pertemuan dibuka dengan menyanyikan dua lagu, yaitu ”Hymne Lansia: Masa Tua Bahagia” serta lagu daerah ”Apuse”. ”Menyanyi sepenggal lagu bisa mengaktivasi semua bagian otak kita. Membaca teks lagu mengaktivasi otak kiri, menyanyi otak kanan, emosi di otak tengah, dan motorik di otak belakang,” ujar Evita untuk memotivasi.
Sambil tetap duduk di kursi, kakek dan nenek yang hadir segera menyanyi, lalu menggoyangkan kaki. Bahkan, beberapa yang duduk di kursi roda karena serangan stroke tampak berusaha sekuat tenaga untuk menyumbangkan suara dan terus bergerak. Semangat semakin terpacu karena manfaat dari setiap aktivitas yang mereka lakukan dijelaskan dari segi psikologis oleh para psikolog yang mendampingi.
Hidup aktif
Lagu ”Apuse”, misalnya, sengaja dipilih karena bahasanya tak dimengerti sehingga membuat otak menjadi lebih sibuk. Makna lagu pun kemudian dijelaskan, yang ternyata berkisah tentang kakek-nenek melepas kepergian sang cucu. Selain menyanyi, para anggota komunitas Sahabat Lansia Tangguh pun berlatih senam otak alias brain gym. Mereka kemudian juga mendapat presentasi singkat tentang dahsyatnya peran otak kanan.
Tak lupa, Evita mengingatkan agar aktivitas yang dipelajari hari itu harus dilatih di rumah dengan cucu. Pada dasarnya terapi otak bagi orang lansia mirip dengan yang diterapkan pada anak-anak usia dini. ”Ini dilatih di rumah sama cucu, kami memanfaatkan cucu. Harus terus pelajari banyak hal. Aktivitas membuat otak enggak lelah, tapi senang,” ujar Evita.
Warga lansia yang hadir pun mengikuti setiap gerakan dengan penuh penghayatan. Roosminnie yang adalah istri Emil Salim, misalnya, bersemangat menggerakkan jemari atau melakukan gerakan memijat sesuai instruksi walaupun dengan tetap duduk di atas kursi roda. ”Jangan mengira usia di atas 80 tahun lantas menjadi tidak berguna. Jangan mundur. Selama masih bisa aktivitas, jangan anggap diri tidak berguna,” kata Roosminnie.
Sebagai Ketua Astadasa Guna yang menjadi wadah berkomunitas warga lansia dengan usia di atas 80 tahun, Roosminnie mengatakan masih terus belajar. Kali ini, ia sengaja turut hadir di acara yang digelar Sahabat Lansia Tangguh untuk menggali ilmu yang bisa dibagikan kepada anggota komunitas Astadasa Guna agar kegiatannya lebih menarik dan tidak membuat bosan. Menurut dia, semakin tua seseorang, ia menjadi cenderung semakin rewel dan mudah bosan.
Peserta lain yang baru pertama kali hadir, Suradi Surokusumo (95), mengeluh bahwa umur telah membuatnya menjadi mudah lupa dan pendengaran makin berkurang. Oleh karena itu, ia dan istrinya butuh bergabung dalam komunitas agar bisa mengisi hidup dengan kegiatan yang menyenangkan. ”Saya merasa sehat. Lalu saya harus berbuat apa? Apa hanya menunggu mati?” kata Suradi.
Saparinah menambahkan bahwa setiap orang lansia pasti dihinggapi penyakit, namun tetap harus mandiri sembari menyesuaikan dengan kondisi fisik. Proses pembelajaran juga jangan sampai terhenti karena usia. Mereka harus belajar pergi sendiri, terus bertemu orang, hingga belajar teknologi baru dari yang muda. ”Konsep yang saya pakai adalah active living for the elderly. Terus belajar supaya enggak konyol,” katanya.
Tahapan karakter
Tak hanya untuk bersilaturahim dan saling belajar, Sahabat Lansia Tangguh juga punya misi besar untuk mengajak masyarakat peduli warga lansia. Mereka juga berjuang menghilangkan mitos dan stereotip negatif tentang warga lansia sebagai kelompok penduduk nonproduktif dan dipersepsikan sebagai beban dalam program pembangunan bangsa.
Karena tiga dari lima pendirinya berprofesi sebagai psikolog, aspek yang digarap pun lebih pada pengelolaan psikologis dari setiap anggotanya. Mereka memberi pemahaman dan menyediakan latihan bagi orang lansia menuju sehat fisik, mental, sosial, dan emosional dengan beragam kegiatan, termasuk senam otak. ”Aspek fisik bukan segalanya, apalagi sudah sepuh. Mau kaya dan miskin kebutuhannya sama: dihargai dan kesenangan kumpul berteman,” ujar Evita.
Keluarga juga diberi pengetahuan agar tepat dalam menangani orang lansia. Setiap tahapan usia, menurut dia, memiliki karakternya sendiri. Seiring tahapan penuaan, ada penyempitan di area hipokampus otak di area yang menyimpan motivasi, memori, dan persepsi. Kerusakan pada area ini menyebabkan rusaknya memori, terganggunya emosi, dan perubahan persepsi. ”Tadinya lihat anak baik, lalu persepsi berubah dan menganggap anak sombong. Dari sabar jadi lebih cerewet,” kata Evita.
Berawal dari pelatihan bagi warga lansia, komunitas ini kemudian tumbuh. Dari awalnya beranggotakan enam warga lansia yang semuanya berkursi roda, komunitas yang awalnya bernama Komunitas Kursi Roda ini pun berkembang dengan keanggotaan lebih dari 100 orang. Dengan berkomunitas, para warga lansia yang hidup di kota besar ini pun menemukan oase kegembiraan yang menjauhkan mereka dari keterasingan.