Ruang Berpikir Merdeka
Bertandang ke rumah penyair Ahmadun Yosi Herfanda (60) tak ubahnya mengunjungi ruang yang dipenuhi buah-buah pemikiran yang dikemas melalui keindahan sastrawi. Seperti ketika bertutur tentang aktivismenya mengelola situs sastra dalam jaringan atau daring Griya Litera, ia bertutur, itu karena mulai adanya anarkisme artistik; ada kesembarangan di kancah media daring atau online itu.
Di kediamannya, ia sudah jauh-jauh hari memerdekakan diri, termasuk dalam hal rutinitas bekerja sebagai bagian dari awak jurnalistik yang harus bekerja dibatasi tenggat atau deadline. Ia mendapati tempat tinggalnya itu sebagai rumah kemerdekaan berpikir.
”Seperti di dalam sebuah puisinya WS Rendra. Saya ingin hidup menjadi manusia yang tidak terasing,” kata Ahmadun, Selasa (7/8/2018), di kediamannya di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten.
Soal kemerdekaan berpikir, itu mengingatkan ujaran seorang filsuf dari Perancis, Descartes, yakni ungkapannya, Cogito ergo sum atau ”Aku berpikir maka aku ada”.
Ia ada dan ingin menjadi manusia yang tidak terasing. Seperti itulah Ahmadun memaknai dirinya di dalam rumah kemerdekaan berpikirnya.
Ahmadun mencontohkan, ketika ia ada dan berada di tengah komunitas masyarakat di sekitarnya. Dengan keberadaannya dan untuk tetap ada, Ahmadun pun mendekat dan berkomunikasi dengan komunitas di sekitarnya. Ia masuk ke dunia mereka. Ahmadun pun ikut dalam hobi memancing dan kegemaran mengoleksi batu akik.
Griya Litera
Ahmadun tinggal di sebuah perumahan di bilangan selatan Ciputat, Jakarta. Terpampang tulisan nama ”Griya Litera” untuk rumah dua lantai yang didiaminya sejak 1997 itu.
Rumah itu berdiri di atas tanah seluas 160 meter persegi. Pintu masuknya sekaligus sebuah pintu bagi mobil di emper mobil atau carport-nya.
Di sisi kirinya terdapat sebuah teras memanjang ke samping. Di teras itulah terdapat jejak aktivitas terkait dengan Griya Litera. Sebuah papan tulis putih ada di dinding ujung kiri. Kursi-kursi dan meja kecil ada di teras dengan kelengkapan sebuah taman kecil di sudutnya itu.
Ahmadun mencontohkan kegiatannya di situ. Ia menuliskan sesuatu di papan tulis putih itu. Ia menulis proses menciptakan sebuah puisi.
Pintu masuk menuju ruang tamu di dalam rumah ada di bagian tengah. Ketika memasukinya, terlihat di sisi kanannya menjadi sebuah ruang kerja dengan komputer dan sebuah meja memanjang yang dipenuhi buku.
”Buku-buku itu untuk diberikan kepada siapa saja,” kata Ahmadun.
Akhir-akhir ini, ia berpikir menghibahkan buku-buku koleksinya karena sudah merasakan rumahnya penuh sesak dengan buku. Melalui media sosial ia mengumumkan hal itu, hingga suatu ketika pula ditanggapi oleh salah satu pengelola taman bacaan yang datang menggunakan sebuah mobil pikap.
Tumpukan buku segera diusung dengan mobil pikap itu. Banyak pula yang datang dengan sepeda motor dan mengambil buku-buku yang ia hibahkan.
Tuan rumah kemudian menunjukkan sebuah komputer personal dan ingin membuka situs Griya Litera untuknya bekerja. Tetapi, Ahmadun mengakui, dirinya lebih banyak memanfaatkan komputer personal yang ada di lantai dua untuk bekerja.
Pekerjaannya terkait dengan proses seleksi karya-karya sastra yang diunggah di situs Griya Litera. Ini sudah berlangsung sejak tiga tahun terakhir ini.
Menurut Ahmadun, proses seleksi karya tulis untuk media daring itu sangat penting. Ketiadaan proses seleksi di media daring itulah yang menyebabkan adanya anarkisme artistik, yaitu sebuah kesembarangan di dalam memanfaatkan media daring.
”Media daring semestinya jalan sama-sama dengan media apa pun untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat kehidupan manusia,” kata Ahmadun.
Ketika duduk di kursi tamu terpampang sebuah lukisan menarik berupa dua buah kapal di atas permukaan laut dengan warna monokromatik kecoklatan. Lukisan itu cukup artistik. Rupanya, itu ternyata karya Ahmadun.
Ahmadun seorang penulis sekaligus seorang pelukis realisme. Tetapi, ia memutuskan untuk menjalani hidup sebagai penulis ketimbang pelukis. Ada kisah unik tentang ini.
Penyair ini lahir dan dibesarkan di Kendal, Jawa Tengah. Selama pendidikan dasar dan menengah di Kendal, Ahmadun getol melukis realisme. ”Ketika di bangku SMA saya sempat belajar melukis impresionisme juga,” katanya.
Ketika itu tahun 1979, Ahmadun lulus SMA dan melanjutkan kuliah di IKIP Negeri di Yogyakarta. Orangtuanya turut berpindah ke Yogyakarta.
Ibunya lalu membuka sebuah warung di pinggir jalan raya Kota Yogyakarta, di Jalan Solo. Di dinding warung itu Ahmadun memajang lukisan-lukisannya. Banyak lukisannya yang laku dibeli pengunjung warung ibunya itu. Ada beberapa turis asing pun ikut membeli karya lukisnya.
Ahmadun melukis sembari mengembangkan minat menulis karya sastra. Ia mengirimkan karya-karya puisi, cerita pendek (cerpen), atau sebuah esai ke berbagai media.
Di awal-awal memasuki bangku kuliah itulah peristiwa yang terus membekas dan menjadi penentu jalan hidupnya berlangsung. Di tahun 1979, Ahmadun banyak menulis puisi, cerpen, atau esai yang dikirimkan ke berbagai media cetak. Tetapi, tak satu pun dimuat.
Padahal, keasyikan dalam menulis sudah diraihnya. Dibandingkan dengan melukis, bagi Ahmadun, menulis tidaklah terlalu merepotkan. Biaya untuk berkarya juga lebih ringan dengan menulis daripada melukis. Lagi pula kedua-duanya sama-sama memberikan kenikmatan Ahmadun dalam menyalurkan minat dan gagasan seni sastrawinya.
”Suatu ketika, saya putus asa karena tidak ada tulisan saya yang dimuat di media. Saya menjual mesin ketik saya dan uangnya untuk membeli cat lukis serta perlengkapan lainnya,” ujarnya.
Boleh dikata, waktu itu setiap jam Ahmadun menulis dan setiap minggunya mengirimkan naskah-naskah tulisannya ke berbagai media. Di setiap hari Minggu, Ahmadun rajin pula datang ke penjual koran.
Ia menyelisik setiap koran dan majalah yang diharapkan memuat tulisan-tulisan sastranya. Karena tidak kunjung tampak tulisannya dimuat, Ahmadun memutuskan ingin menjadi seniman pelukis saja.
Dua pekan kemudian setelah menjual mesin ketik, Ahmadun menjumpai ada empat koran dan majalah secara bersamaan memuat tulisan-tulisan sastranya. Keempat media itu meliputi majalah Senang, koran Suara Merdeka, majalah Pelopor Minggu, dan sebuah tabloid keluarga.
Berkat peristiwa inilah, Ahmadun merasa diingatkan Tuhan untuk menjadi penulis saja. Ahmadun menghentikan aktivitas melukisnya pada 1979 itu dan memutuskan menjadi seorang penulis sastra.
Jejak lukisan
Jejak karya lukisan lainnya berupa lukisan bunga berukuran cukup kecil terpajang di dinding di samping anak tangga menuju lantai dua. Di dekatnya ada sebuah lukisan papirus Mesir berupa goresan tangan koleganya dari Mesir, Habiburrahman El Shirozy, ketika Ahmadun berkunjung ke Mesir pada 2002.
Di barisan dinding anak tangga berikutnya, sebuah lukisan karya orang Turki yang diterima Ahmadun pada saat orang tersebut berpameran di Festival Istiqlal di Jakarta tahun 1994.
Ahmadun menyimpan hasrat dan bakat melukisnya. Tetapi, ia berhasil menghimpun imajinasi dan fantasi melukis itu menjadi pelengkap daya cipta sastrawinya. Tak ayal dunia sastrawi memberikan segudang pengalaman dan prestasi tersendiri bagi Ahmadun.
Jejak prestasi Ahmadun dengan mudahnya kita telusuri melalui internet. Ahmadun berujar, di dalam berkarya sastrawi hendaknya selalu melahirkan inovasi dan keunikan. Di dalam keunikan akan ada kebaruan. Ketika tidak ada kebaruan, yang terjadi di dalam karya itu adalah sebuah pengulangan.
”Ketika sebuah karya kreatif tidak menawarkan kebaruan, karya itu berarti gagal,” kata Ahmadun.
Tidak mudah ternyata untuk membuat prestasi karya kreatif. Karena itulah, setiap pribadi yang bergerak dan menginginkan kebaruan-kebaruan di dalam membuat karya kreatif membutuhkan rumah kemerdekaan berpikir, seperti Ahmadun.