Karena..., Jazz Itu ”Menjual”
Festival jazz menyulut animo di sejumlah daerah di Indonesia. Ia berkembang sebagai representasi gaya hidup urban. Namun, ini tak lantas menjamin karya musik jazz laris manis pada segmen penikmat musik yang meluas.
Pergelaran musik yang mengusung nama jazz sukses menggerakkan massa ke banyak kota—dan desa—di Indonesia. Sebutlah sebagian di antaranya Ngayogjazz di lingkungan perdesaan Yogyakarta, Mahakam Jazz Fiesta di tepi Sungai Mahakam, Ijen Summer Jazz dan Jazz Gunung di pegunungan Jawa Timur, hingga Ubud Village Jazz Festival di Bali.
Meski festival marak dan ketertarikan masyarakat pada jazz meningkat, hal itu tak serta-merta memperluas segmen pasar jazz. Director of Trinity Artist Management Rudy Wanandar berpendapat, antusiasme masyarakat terhadap festival jazz tidak signifikan mendongkrak pasar bagi karya-karya musisi jazz Tanah Air.
”Ekspektasi ekonomi dari lagu-lagu jazz belum bisa diharapkan meskipun secara umum saat ini kondisi industri musik secara keseluruhan juga sedang turun,” kata Rudy.
Ia melihat, hal ini karena karakter pasar jazz yang memang tersegmentasi. Untuk bisa menyukai dan menikmati jazz, dibutuhkan ”telinga” khusus. ”Orang juga lebih senang menonton jazz secara langsung daripada mendengar melalui CD atau download karena memang di panggung jazz lebih bisa dinikmati,” ujar Rudy.
Dengan menimbang alasan itu, Trinity Optima pun sangat selektif memilih artis. Hingga saat ini, Trinity hanya memiliki satu artis yang masuk kategori jazz, yaitu Adikara Fardy (17). Dengan Trinity, Adikara telah dikontrak selama lima tahun untuk pengerjaan tiga album.
Hanya nama
Musisi, pencipta lagu, sekaligus produser Yovie Widianto yang tampil di Prambanan Jazz Festival 2018 bahkan menilai, banyak festival jazz di Indonesia ”hanya” nama. Hal ini karena konten kebanyakan festival jazz itu lebih didominasi artis-artis pop yang sudah cukup populer.
”Tetap faktor artis pop ini yang jadi magnet yang meramaikan sebuah festival jazz. Sering kali kita lihat kalau festival jazz itu diikuti oleh musisi jazz mainstream, justru kadang-kadang enggak ramai,” kata Yovie.
Ia berpendapat, agar festival jazz berdampak bagi industri jazz, perhelatan itu seharusnya mengedepankan artis-artis Indonesia yang membawakan musik jazz. Setidaknya, artis berlatar genre lain yang menyuguhkan komposisi jazz.
”Saya pun sebagai musisi, yang sekarang banyak memainkan musik pop, justru saya hadir di pentas musik jazz untuk mendukung perkembangan musik jazz,” ujar Yovie.
Di mata gitaris Tohpati, festival jazz tetap menjadi perangsang bagi perkembangan genre musik ini. ”Dengan festival, kita bisa kasih lihat secara live karena kalau hanya di Youtube atau di CD, rasanya beda dengan konser beneran,” ucapnya.
Di sisi lain, festival jazz juga merangsang musisi untuk berkarya. ”Termasuk dalam hal jual beli karya, festival merangsang kita sebagai pelaku musik untuk terus membuat karya agar didengar meski pasar jazz memang segmented,” kata Tohpati.
Dia menambahkan, banyak musisi jazz tak terlalu mengandalkan penjualan karya. ”Saya mikirin penjualan, tetapi enggak terlalu berharap banyak,” ujarnya.
Segmen pasar jazz sebagai genre musik bisa jadi tidak seluas pop, rock, atau dangdut. Akan tetapi, jazz pada konteks gaya hidup, gagasan tentang kebebasan, bahkan mode, misalnya, punya daya pikat tersendiri.
Soal citra
”Memang, kenyataannya genre musik jazz, dalam arti selain jazz-pop, penikmatnya enggak banyak. Tetapi, kata ’jazz’ dalam arti kebebasan, gaya hidup, vintage fashion itu seksi dan sangat menjual,” ujar Yuri Mahatma, musisi jazz yang menggagas Ubud Village Jazz Festival.
Terkait gaya hidup, produsen otomotif Honda, misalnya, menggunakan jazz sebagai merek salah satu mobil terlarisnya. Honda Jazz yang lahir pada 2001 dan masih bertahan di pasar hingga saat ini dicitrakan sebagai mobil bergaya urban untuk kalangan muda.
”Jazz up your life”, begitu slogan (tagline) mobil ini. Idiom jazz up, menurut kamus bahasa Inggris Merriam-Webster, bermakna membuat sesuatu menjadi lebih menarik, lebih menyenangkan, atau lebih atraktif.
Begitulah, menarik untuk disimak bahwa jazz yang lahir di New Orleans, Amerika Serikat, pada awal abad ke-20 dan berakar pada sejarah perlawanan Afro-Amerika itu kini justru terkoneksi pada citra ”keren”, ”urban”, dan ”menjual”.
Di industri musik, para promotor festival pun menyadari hal ini. Tak heran perhelatan jazz dikemas semenarik mungkin, termasuk dengan menu bercita rasa pop yang akrab di telinga.
”Padahal, jazz sudah ada sejak tahun 1900 dan mengalami perubahan-perubahan bentuk pada tiap dekade. Enggak banyak yang berani mengangkat bentuk-bentuk ini (di festival),” kata Yuri.
Berlatar ketidakpuasan terhadap situasi itu, Yuri bersama AA Anom Wijaya Darsana menggagas Ubud Village Jazz Festival (UVJF). Festival yang telah berlangsung enam kali di Museum Seni Arma, Ubud, itu didesain sebagai perhelatan festival yang tidak besar, tetapi intim, detail, dan menjanjikan konten musik yang berakar pada jazz.
Pada perhelatan UVJF 10-11 Agustus lalu, kehadiran pianis jazz asal New York, AS, Benny Green, menjadi sebentuk pembuktian pada komitmen itu. ”Ia mewakili jenis jazz dengan root sangat kuat pada era 1940 hingga 1950-an. Itu basic kalau orang mau belajar jazz lebih jauh,” lanjut Yuri.
Sebagai pra-perhelatan UVJF, penyelenggara festival ini juga menggandeng Benny Green untuk memberikan pelatihan pada Program Studi Musik di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Pelatihan semacam ini dibuat setiap tahun dengan musisi-musisi internasional sebagai program pra-perhelatan UVJF.
Tahun ini, penyelenggara UVJF juga membuat kompetisi untuk menjaring bibit-bibit baru musisi jazz di Bali. Joda Band adalah pemenang kompetisi ini yang beranggotakan para pelajar sekolah menengah berusia 13 tahun hingga 19 tahun. Grup ini juga ditampilkan di UVJF.
”Festival jazz juga mesti menggairahkan semangat bermusik generasi muda,” ujar Yuri.
Pada kesempatan terpisah, penggagas Prambanan Jazz Festival, Anas Syahrul Alimi, mengungkapkan, Prambanan Jazz juga menyimpan cita-cita untuk membuat genre jazz diminati lebih banyak orang. Strateginya, kata Anas, dengan lebih dulu memperkuat citra atau branding, baru kemudian melangkah lebih serius menangani konten yang bermuatan edukasi musik jazz.
”Dari tahun ke tahun, headline (penampil utama) kami baru kali ini Diana Krall, peraih penghargaan Grammy dan puluhan penghargaan nominasi. Jadi, benar-benar musisi jazz yang ditunggu-tunggu orang. Harapan saya, tahun depan mudah-mudahan bisa naik lagi persentase (penampil jazz) dari 65 persen saat ini,” tutur Anas.
Tahun-tahun sebelumnya, penampil utama Prambanan Jazz Festival memang bukan sepenuhnya musisi jazz. Tahun 2017, misalnya, Sarah Brightman yang beraliran crossover klasik menjadi penampil utama. Pada 2016, Boyz II Men dan Rick Price jadi sorotan utama perhelatan ini.
Masih panjang jalan untuk menggairahkan kancah jazz di negeri ini. Jazz yang memberi makna dan menerbitkan semangat!