Penjaga Kewarasan
Museum dan Galeri Foto Jurnalistik Antara menjadi episentrum perkembangan foto jurnalistik. Tak hanya itu, kelenturan fungsi ruang-ruang dalam museum dan galeri ini menyuburkan diskusi serta pematangan gagasan demokrasi dan kemanusiaan.
Vokalis J-Rocks, Iman Taufik Rachman, muncul di panggung di Neo Journalism Club, disusul rekan-rekannya sesama anggota band, Selasa (14/8/2018). Sontak para pengunjung merangsek maju. Sejurus kemudian, ruangan gemuruh oleh suara penonton yang ikut menyanyikan lagu-lagu J-Rocks. Band yang identik dengan dandanan ala harajuku ini menjadi magnet tersendiri pada malam itu.
J-Rocks menjadi salah satu band penampil dalam rangkaian pameran Jagung Berbunga di Antara Bedil dan Sakura di Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA), yang akan berakhir pada 14 September. Selain galeri, Neo Journalism Club juga menjadi ruang pamer.
Oscar Motuloh selaku kurator mengatakan, pameran ini menjabarkan secara visual pergerakan Indonesia dalam mengarahkan kemudi politiknya menyongsong Indonesia merdeka.
Dalam praktiknya, narasi sejarah kerap ditampilkan secara kering dan monoton sehingga membosankan bagi anak muda. Pameran kali ini dikemas dengan pendekatan lebih ngepop. Narasi ditampilkan secara menggoda dari sisi visual, lalu diperkuat dengan ikon yang relevan dengan tema Jepang, yakni J-Rocks. Cara ini efektif mendatangkan anak-anak muda usia awal dua puluhan tahun untuk menyimak sejarah.
Mereka adalah pencinta lagu-lagu J-Rokcs yang kemudian jenak menyimak narasi sejarah dalam pameran. ”Saya baru tahu cerita dan foto-foto sejarah bisa dipajang bagus begini. Tidak membosankan,” kata Netty (23) yang semula datang hanya untuk menonton J-Rocks.
Bangunan tua
Museum dan GFJA berada di dalam Graha Bhakti Antara yang menempati gedung nomor 57, 59, dan 61 di Jalan Antara, sekitar 100 meter dari pintu utama Pasar Baru, Jakarta. Dulu, gedung ini menjadi kantor berita Jepang Domei. Di gedung ini pula kabar kemerdekaan Indonesia tersiar ke penjuru Tanah Air, bahkan sampai ke Amerika Serikat.
Ketika Jepang pergi, gedung ini menjadi markas Lembaga Kantor Berita Nusantara Antara (LKBN Antara). Akan tetapi, gedung kemudian nyaris kosong setelah Antara pindah ke gedung berlantai 20, Wisma Antara, di Jalan Medan Merdeka pada tahun 1980. ”Gedung ini tidak terawat kala itu,” kata Oscar, yang kini menjadi Kepala Divisi Museum dan GFJA.
Awal tahun 1990-an muncul rencana memanfaatkan kembali gedung lama ini. Oscar didaulat sebagai ketua tim perancang museum. Dia mencari banyak data terkait sejarah gedung dan hal-hal lain yang relevan. Oscar juga menggelar diskusi dengan beberapa ahli untuk menemukan nyawa pada museum itu. Salah satu kesimpulannya, ”Tempat ini harus menjadi simbol pers nasional yang berefleksi ke depan,” kata Oscar.
Gagasan itu masih abstrak, perlu diterjemahkan dalam narasi, tampilan, dan kemasan museum. Oscar sempat mengobservasi banyak museum di Jakarta yang secara materi benda-benda sejarah sangat luar biasa, tetapi ditampilkan secara dingin dan kaku. Ia tak ingin itu juga terjadi pada museumnya nanti.
Pria kelahiran Surabaya itu lalu mengajak redaktur foto majalah Tempo, Yudhi Soerjoatmodjo, yang kemudian menjadi kurator GFJA. GFJA menjadi galeri foto jurnalistik pertama di Asian Tenggara. Yudhi memberi gagasan dan konsep dasar GFJA, termasuk gagasan pameran foto Kilas Balik yang digelar tiap tahun sejak 1992. Pameran ini menempati ruang galeri di lantai dasar. Sejak 1994, GFJA menggelar kegiatan nonprofit tahunan, kelas fotografi dan pesertanya wajib menggelar pameran foto setiap menjelang lulus. Kelas fotografi ini kini sudah 23 kali berlangsung.
Lulusannya di berbagai pelosok negeri dan mempunyai pengaruh penting di tempat masing-masing. Salah satu yang menjadi bekal mereka adalah kesadaran untuk terus mengembangkan diri lewat membaca buku, literasi konvensional. ”Reuters sejak tiga tahun lalu punya program magang. Secara tidak sengaja, 70 persen yang magang di Reuters itu pernah mendalami foto jurnalistik di kelas foto GFJA. Mereka rata-rata lebih bagus dibanding lainnya,” kata Beawiharta Belly, fotografer Reuters.
Ketua Pewarta Foto Indonesia Lucky Pransiska menilai GFJA sebagai pintu penting bagi perkembangan foto jurnalistik Indonesia. GFJA menjadi kiblat bagi banyak fotografer muda dalam mengembangkan kemampuan diri.
Adapun museum berada di lantai atas. Di ruang ini terdapat beberapa memorabilia terkait pergerakan pers pada masa-masa menjelang kemerdekaan. Sesekali ruangan ini dipakai juga untuk menonton film dan diskusi terkait sejarah.
Persemaian gagasan
Dengan format tersebut, Oscar merasa GFJA masih kurang progresif untuk menyemai dan mewadahi gagasan-gagasan baru. Maka, dia menyulap ruang 5 meter x 16 meter yang berimpitan dengan galeri sebagai Neo Journalism Club. Ini sebenarnya tempat nongkrong bagi siapa saja yang butuh tempat diskusi, ngobrol, atau sekadar duduk-duduk sembari makan minum dan kadang menonton pertunjukan musik. Menurut rencana tersedia kafe, tetapi sejauh ini belum memungkinkan sehingga pengunjung dipersilakan membawa makanan dan minuman dari luar. ”Tempat ini penting karena gagasan-gagasan lebih mudah muncul dari warung kopi,” kata Oscar memberi analogi.
Konsep tersebut terbukti genial. Beragam kalangan mulai dari peminat jurnalistik, mahasiswa, sutradara, budayawan, sampai akademisi kerap berkumpul di sini. Gagasan-gagasan penting terkait pers, demokrasi, dan kemanusiaan muncul dari obrolan-obrolan ringan di Neo Journalism Club ini. Kerap sampai larut malam anak-anak muda berdiskusi.
Beberapa sastrawan sering meminjam tempat ini untuk meluncurkan buku. Pada suatu masa, ketika Komisi Pemberantasan Korupsi dikoyak oleh kekuatan zalim, mereka yang kerap berdiskusi di tempat ini menggelar konser musik Cicak Versus Buaya. Tatkala Sinabung meletus disusul Kelud, para jurnalis foto menggagas pameran foto dan menggalang dana untuk membantu korban. Belakangan mereka menggagas model yang sama untuk membantu korban gempa Lombok dan Bali. Etos jurnalisme tidak hanya berhenti pada tulisan dan gambar, tetapi mewujud pula dalam gerakan kemanusiaan.
Museum, galeri, dan klub menjadi satu kesatuan. Tempat ini menjadi ukuran denyut perkembangan foto jurnalistik sekaligus gerakan demokrasi dan kemanusiaan.
Oscar berharap GFJA menjadi titik penting dalam menjaga kewarasan. Tatkala banyak orang mengandalkan mesin pencari sebagai sumber pengetahuan, dia ingin diskusi dan membaca buku tetap diutamakan. ”Imajinasi akan mati sia-sia kalau tak ada ide. Ide hanya bisa muncul dari belakang kepala, bukan dari Google. Nah, untuk itu perlu baca buku,” katanya bersemangat.
Rangsangan untuk menjaga kewarasan itu ditampilkan GFJA dengan pendekatan yang lebih ngepop, seperti pameran Jagung Berbunga di Antara Bedil dan Sakura. Anak muda dibuai oleh musik, tetapi pelan-pelan digoda untuk memahami sejarah. Apabila sudah tergoda, tak susah mengajak mereka untuk memahami jurnalistik, demokrasi, dan kemanusiaan.