Masa Atur Strategi
Indonesia mulai dilirik sebagai tempat produksi busana ”modest”. Beberapa desainer asing mencoba membuat koleksi busana ”modest”-nya di sini. Di sisi lain, pelaku dalam negeri yang ingin mengembangkan usaha justru masih berkutat dengan keterbatasan modal.
Desainer asal Jepang, Hiroko Maeomasu, sengaja memilih Indonesia untuk memproduksi label busana modest terbarunya, Farbe. Biaya produksi yang bersaing dan pasar Indonesia yang besar menarik perhatiannya.
Sebelum ini, Hiroko mempunyai label Huw Roman yang sama-sama memproduksi busana modest. Namun, produksinya dilakukan di Jepang karena targetnya pasar internasional. ”Saya ingin Farbe lebih terjangkau oleh banyak masyarakat, terutama di Indonesia, karena memang saya memasarkan Farbe di sini. Kalau saya produksi di Jepang, nanti harganya kurang terjangkau,” kata Hiroko.
Sebelum ini, Hiroko sempat berencana menjadikan Turki sebagai tempat produksi. Ia kemudian tertarik dengan Indonesia yang pasarnya besar dan terus tumbuh. Busana modest di Indonesia yang sangat beragam juga menarik perhatiannya. Hiroko sendiri memilih modest karena ia tertarik dengan gaya yang disebutnya chic dan tenang, sekaligus juga bisa berkesan elegan dan mewah.
”Waktu aku mau bikin modest fashion, aku riset ke Dubai. Di sana bertemu seorang teman yang cerita tentang Indonesia. Kebetulan aku belum pernah ke Indonesia dan ternyata di sini sedang tren modest. Orang-orang Indonesia juga antusiasmenya tinggi terhadap fashion,” kata Hiroko.
Hiroko kemudian bekerja sama dengan #Markamarie untuk memproduksi lini terbarunya, Farbe, di Jakarta. Ia puas dengan hasil produksinya sejauh ini.
Perfeksionis
”Desainer di sini kreatif, mereka pintar menerjemahkan keinginanku soal desain dan warna. Kalau soal penjahit, memang awalnya tidak mudah karena saya orangnya perfeksionis dengan standar kualitas Jepang yang tinggi. Namun, mereka mau belajar dan cepat mengejar apa target kualitas yang saya tetapkan,” ujarnya di sela-sela pelaksanaan Jakarta Modest Fashion Week, beberapa waktu lalu.
Sayangnya, Hiroko masih merasakan kendala ketersediaan bahan di Indonesia. Di Jepang, ungkapnya, ia dengan mudah mengakses bahan langsung dari pabrik meski hanya membeli dalam kuantitas kecil. Di Jakarta, ia harus pergi ke Pasar Tanah Abang untuk mencari bahan baju. Ia tidak bisa membeli langsung dari pabrik karena skala produksinya masih relatif kecil.
Hiba Moumne juga melirik Indonesia untuk produksi label busananya, Yours Truly, yang menyasar pasar remaja. Selama ini ia memproduksi baju di Turki, lalu dijual secara daring ke seluruh dunia. Pasar terbesarnya datang dari Timur Tengah, seperti Lebanon, Dubai, dan juga Turki. ”Saya sempat ke sini Februari lalu untuk lihat pasar, pabrik, juga sumber-sumber lain. Ada banyak pilihan. Semoga bisa produksi di sini untuk pasar Australia dan Indonesia,” kata Hiba.
Selama ini Turki dijadikan basis produksi para desainer modest, terutama mereka yang berasal dari negara-negara maju yang biaya produksinya tinggi, sedangkan pasar modest-nya belum muncul. Seperti dituturkan Hiba, di negara asalnya, Kanada, belum terbentuk pasar modest. Konsumennya sebagian besar di wilayah Timur Tengah sehingga lebih menguntungkan bagi Hiba berproduksi di Turki yang lebih dekat dengan tujuan pasar.
Franka Soeria dari #Markamarie mengatakan, pihaknya pernah membantu beberapa desainer modest asing untuk memproduksi baju di Indonesia. Selain Farbe dan Yours Truly, #Markamarie juga pernah membantu produksi label baju Fllumae dari Amerika Serikat yang kemudian digunakan untuk mengikuti Arab Fashion Week, beberapa waktu lalu. Bahkan, saat ini permintaan juga datang untuk produksi make-up halal.
Desainer Fllumae, Fahima, Alliiyah, Mona, dan Luul Saidi mengatakan, pertimbangan mereka berproduksi di Indonesia sama sekali bukan karena faktor ongkos produksi, melainkan karena keterampilan, kualitas, dan kerja sama dengan tim lokal yang berbakat. Selain di Indonesia, mereka juga berproduksi di Dubai, India, dan Amerika Serikat.
Tiap-tiap negara disebut memiliki kekuatan dan kelebihan sendiri-sendiri. Pasar terbesar Fllumae di Timur Tengah, Asia Tenggara, dan Amerika Serikat.
”Ada beberapa label lagi dari Amerika Serikat dan Jerman yang mau produksi di sini, tetapi masih tarik-tarikan dengan China. Label dari Australia yang selama ini produksi di China dan Turki juga sempat tertarik untuk produksi di sini,” ujar Franka.
Ia menambahkan, kebijakan baru di China membuat produksi di negara itu kini tidak semurah sebelumnya. Ini membuat beberapa desainer mulai mencari alternatif tempat produksi. Ini menjadi peluang bagi Indonesia.
”Para desainer ini tanya dan kami sarankan kenapa enggak produksi di Indonesia saja. Jadi, kalau ada pembeli dari Asia Tenggara, mereka enggak perlu kirim jauh-jauh karena ada stok di sini. Jadi, kita bisa branding, kalau mau bikin pusat bisnis di Asia Tenggara, bikinlah di Indonesia ,” kata Franka.
Jika Indonesia menjadi pusat produksi, posisi ini juga diharapkan memancing pembeli dari seluruh dunia untuk datang ke Indonesia sebagai pusat belanja. Khususnya pembelian skala besar untuk mengisi stok butik atau department store. Turki sudah mengambil peran ini untuk baju-baju modest dan non-modest dari label dan desainer asal Eropa dan Amerika Serikat.
”Misalnya, pembeli dari Australia mau beli brand dari AS. Daripada jauh-jauh ke sana, mending dia ke Indonesia karena di sini ada fulfillment center-nya. Dalam prosesnya, para pembeli ini pasti juga akan bersentuhan dengan brand-brand lokal. Di sini kesempatan kita memperkenalkan brand lokal,” kata Franka.
Kesulitan modal
Namun, di dalam negeri, pelaku mode modest mengeluhkan kendala akses pinjaman modal dari perbankan, seperti terungkap dalam acara ”Bekraf Financial Club untuk Dorong Akses Permodalan Fashion Muslim”. Proses produksi yang khas, tetapi belum dikenal kalangan perbankan membuat subsektor mode, termasuk mode modest, masih minim mendapat bantuan permodalan dari perbankan.
Sebanyak 30 persen dari 750.000 industri kecil dan menengah (IKM) sandang yang ada di Indonesia adalah industri mode muslim. Skala IKM ini sebenarnya setara dengan skala usaha para desainer modest asing di atas. Kesulitan pelaku IKM mode muslim di Tanah Air biasanya terkait modal untuk stok bahan baku, membuat toko atau butik, dan mengikuti pameran.
Hal itu seperti diungkapkan desainer Hannie Hananto, Monika Jufry, dan Rosie Rahmadi. Ketiganya kemudian menjelaskan tentang potensi pasar busana muslim, sistem produksi, dan pemasaran yang selama ini belum dipahami kalangan perbankan sehingga enggan memberikan pinjaman modal.
Masa ”panen” IKM mode muslim biasanya menjelang Idul Fitri dengan penjualan melonjak tiga hingga lima kali lipat dengan margin keuntungan 30 persen, bahkan lebih. Baju dengan biaya produksi Rp 300.000, misalnya, laku dijual Rp 3,5 juta.
Proses produksi untuk Lebaran biasanya mulai dicicil sejak 10 bulan sebelumnya. Selama masa itu, penjualan pada hari-hari biasa tak memberikan hasil sebesar masa Lebaran. Meski era penjualan daring lebih marak, tetap dibutuhkan toko offline yang kebutuhan modalnya tak kecil. Demikian pula dengan pameran yang jadi salah satu cara ampuh untuk mempromosikan label.
”Potensi pasar dalam negeri kita luar biasa. Pembeli kita mudah mengeluarkan uang Rp 500.000 untuk satu baju. Pengalaman saya dan Monika di Chicago (AS), jualan baju 50 dollar AS ditawar. Di Jakarta, baju harga Rp 3 juta langsung dibayar cash. Jadi, jangan sampai pasar kita dikuasai orang luar,” ujar Hannie.