Hitam yang Tak Kelam
Kopi boleh hitam, tetapi nasib tak boleh kelam. Lewat ”jalan kopi”, nasib mereka yang tersisih kini menapaki titian menuju hidup yang lebih terang.
Pagi itu, ada bulir air yang meluncur jatuh di pipi dari kedua mata Lilis (31) saat menerima lembar sertifikat barista. Ia mengusapnya cepat-cepat sembari melebarkan senyum. Enam tahun yang lalu, ibu dari seorang anak ini pernah bermimpi ingin menjadi barista, tetapi terhadang biaya kursus yang mahal. Nasib sial malah membawanya harus ”singgah” setahunan di balik jeruji bui, tersandung pasal penggelapan yang diadukan perusahaan bekas tempatnya bekerja.
”Ketika ada tawaran pelatihan barista gratis untuk warga binaan (narapidana), saya langsung ambil. Itu cita-cita lama. Di sini bisa saya jalani dengan gratis,” ucap Lilis, yang juga orangtua tunggal ini.
Lilis adalah salah satu jebolan program pelatihan barista di penjara yang kerap menjadi contoh bagi para narapidana lainnya. Program yang digelar Yayasan Jeera bekerja sama dengan Kementerian Hukum dan HAM ini menggandeng kedai kopi Join Bulungan di Jakarta Selatan yang punya semangat yang sama.
Sertifikat dari Jeera itu menandai tuntas sudah masa magang Lilis sebagai barista di kedai ”Join x Jeera” di kawasan Kota Tua, Jakarta Barat. Ini adalah kedai peralihan untuk tempat magang bagi para mantan napi lulusan pelatihan barista yang telah bebas bersyarat.
Lilis selanjutnya bekerja profesional sebagai kepala bar (head bar) di kedai kopi C&C di kawasan Duren Sawit, Jakarta Timur. Di kedai itu, ia bermitra bersama Mustafa (30), yang juga mantan warga binaan. Predikat ”barista” cukup ampuh memupus stigma hitam sebagai mantan napi.
Lilis lalu menjalani hari-harinya yang begitu sibuk di kedai C&C sejak pagi hingga lewat tengah malam. Namun, ia masih bersetia pada satu mimpi lagi, yaitu membuka warung kopinya sendiri.
Setelah genap 6 bulan di C&C, Lilis pun berpamitan. Ia kini mulai harus lebih fokus mencicil mewujudkan warung idamannya itu, yang sekadar menyajikan kopi rakyat tetapi bermutu, bukan kopi saset.
”Teman-teman SMA saya dulu sekarang juga beberapa yang berbisnis buka kedai kopi. Saya optimis, ini juga jalan saya karena dari dulu sudah bermimpi. Dengan usaha sendiri, saya juga berharap bisa atur waktu sendiri agar bisa sambil mengasuh anak,” kata Lilis.
Semangat kedai kopi Join di Bulungan yang telah dilakoni sejak awal berdiri lima tahunan lalu kini beresonansi dalam frekuensi tersendiri. Join sendiri sejak awal memang dengan sengaja menampung orang-orang dari jalanan, preman, ataupun mantan napi untuk belajar menggeluti dunia kopi bersama, termasuk kemudian menjadi barista-barista andal.
Join pun lalu diajak bekerja sama dengan Yayasan Jeera melatih napi menjadi barista, yang jebolannya salah satunya adalah Lilis. Join lalu membantu Yayasan Jeera mendirikan kedai Jeera Coffee di dalam Rutan Cipinang, lalu berkolaborasi lagi dengan pendirian kedai berikutnya, yakni ”Join x Jeera” di areal kantor Imigrasi Jakarta Barat, pertengahan 2017.
Terakhir, Juli lalu, Yayasan Inspirasi Indonesia Membangun menggandeng Join membuka kedai Kopi Inspirasi by Join Kopi di kawasan Widjaya, Blok M, Jakarta Selatan. Di kedai terakhir ini juga akan dibuka sekolah kopi bagi kalangan yang tidak mampu.
Kedai ”Join x Jeera” yang berdiri di areal kantor Imigrasi Jakarta Barat berdampingan dengan kawasan wisata Kota Tua. Kedai ditata apik dengan mural yang mewakili atmosfer penjara. Torehan kalimat-kalimat jeritan hati narapidana tertulis di dinding, seperti ”pemimpi kebebasan”, free as a bird. Beberapa mantan napi yang tengah menjalani masa bebas bersyarat dan telah mengikuti program pelatihan barista dapat magang di sini hingga enam bulan sebelum kemudian ”dipetik” oleh kedai-kedai kopi lainnya.
Dari jalanan ke kafe
Lain lagi dengan kisah Jarot (18), mantan anak jalanan. Tiga tahun lalu, di usianya yang masih 15 tahun, ia kabur dari rumah orangtuanya di Pandeglang, Banten. Ia memang mengaku anak bengal, kerap mabuk-mabukan, dan berulah di sekolah.
”Gue jadi jawara di sekolah. Anak-anak pada duduk dengerin guru, gue enggak. Pernah juga di pesantren, tetapi enggak ada yang nyangkut di kepala, nyekek botol (minum minuman keras) melulu.... Ha-ha-ha...,” celoteh Jarot.
Setelah kabur dari Pandeglang, ia terdampar di daerah Tangerang dan menjadi pemulung, ngamen, dan membantu orang berjualan soto gerobak. Sampai akhirnya ia mengenal anggota Komunitas Pengamen Jalanan (KPJ) di Bulungan, Jakarta Selatan. Dari orang yang dianggap abangnya itu, ia lalu dicemplungkan ke Join untuk belajar mengenal kopi bersama Argo, sang pendiri kedai Join.
Jarot pun mengaku dididik cukup keras di Join. Mulai dari sekadar menjadi tukang bersih- bersih, cuci-cuci, dan akhirnya belajar meracik minuman kopi. ”Gue belajar benerin diri dari mental jalanan jadi punya attitude (perilaku yang baik). Belum lagi, naikin pede (percaya diri), susah banget itu,” kata Jarot.
Seperti juga kata Argo, mendidik kalangan yang tidak terdidik baginya adalah tantangan tersendiri. Sebab, ini bukan lagi soal menjadikan orang terampil meracik kopi, melainkan yang utama adalah mendidik mental dan perilakunya.
”Kalau saya harus ngajari yang lulusan sarjana pasti jauh lebih mudah. Ini mereka yang sudah telanjur terdidik di jalanan lalu perilakunya harus berubah, itu sama sekali enggak gampang. Banyak juga yang gagal,” kata Argo.
Argo kini boleh berbangga. Jarot yang dahulu luar biasa bengal itu sempat dipetik sebagai barista untuk kedai Saudagar Kopi di bilangan Menteng, Jakarta Pusat. Beberapa jebolan Join pun kini berlabuh di kedai-kedai lain, seperti Saudagar Kopi di Bintaro, Tangerang, dan juga kedai kopi lain di Bali.
Meski begitu, Jarot mengaku terlalu sering merindukan suasana Bulungan, yang sudah seperti rumah baginya. Ia pun kini memilih tetap melekat pada inangnya, yakni kedai Join yang sederhana di Bulungan, meski bisa memilih bekerja di kedai lain yang lebih bergaya.
Potret Lilis dan Jarot setidaknya menjadi secuil kisah di balik semaraknya kultur kopi di kawasan urban seperti Jakarta. Kopi tak lagi sekadar lahan bisnis gaya hidup untuk kalangan yang bermodal. Kopi pun kini bisa menjadi rambatan sosial bagi kaum yang tersisih dari gemerlap kota.
Itu pula yang dilirik Yayasan Inspirasi Indonesia Membangun (YIIM) ketika menggagas ingin membuka sekolah kopi gratis dengan menggandeng Join, selain kedai yang baru berdiri pada Juli lalu. Yayasan yang para donaturnya adalah investor-investor di pasar modal itu berharap anak-anak dari keluarga tak mampu yang mendambakan ingin menjadi barista mendapatkan kesempatan untuk mewujudkannya.
”Kopi punya masa depan yang masih panjang. Karena itu, kami ingin menggagas program yang manfaatnya bisa berkesinambungan, bukan cash and carry,” kata Irfan Melayu, salah satu dewan pembina YIIM.
Di muka kedai Kopi Inspirasi yang baru didirikan YIIM di kawasan Widjaya Blok M tampak teronggok sebuah becak tua yang tampak begitu usang. Becak itu dulu milik seorang bernama Pak Sodik, yang hingga ajal menjemputnya ia baru usai menarik becaknya. Becak Pak Sodik kini menjadi simbol di kedai itu. Bagi mereka yang terpinggirkan, bukan berarti hidup harus seterusnya kelam.