Pleidoi Secangkir Kopi
...Menjalar di batang-batang pohon
berbagi ruang tanpa harus menyingkirkan
Ia hanya butuh rambatan
untuk sampai di ketinggian
Brotowali (2014) karya Yoyik Lembayung
Satuan polisi pamong praja baru saja meninggalkan kedai kopi sederhana yang kini porak poranda itu. Orang-orang terduduk lesu. Wajah-wajah yang sedikit marah, tapi berserah. Kedai yang baru saja dibongkar itu telah menjadi secuil ruang bagi mereka yang tersisih untuk mencecap hidup baru. Melepas masa lalu yang pahitnya bagai brotowali.
Kedai kopi bernama Join itu menempati salah satu sudut depan kompleks Gelanggang Remaja Bulungan di bilangan Blok M, Jakarta Selatan. Ya, Join memang menumpang di atas tanah milik negara. Sepekan sebelum perhelatan Asian Games Ke-18 dimulai, sudut itu harus steril, dijadikan taman mengikuti peruntukannya. Taman itu menjadi pelintasan ke GOR Bulungan, arena pertandingan voli selama Asian Games.
Kedai Join telah melahirkan peracik-peracik kopi alias barista yang kini tersebar di sejumlah kedai kopi di Jakarta dan sekitarnya. Di Join, mereka pernah berinang, dari yang semula terbuang, terserak, tersisih dari gemerlapnya kota. Anak-anak jalanan hingga bekas narapidana yang bertekad ingin merajut hidup baru ditampung kedai ini untuk belajar menjadi barista, tanpa biaya. Ketika ada kabar kedai akan dibongkar, para jebolan Join itu berdatangan, sekadar menyemangati. Benar salah menurut hitam putihnya perundangan tak berarti membuat hidup harus patah.
”Saya enggak minta uang sama pemerintah, saya cuma minta ruangnya. Karena saya ini cacing. Tanah yang ada cacingnya lambat laun subur. Biarkan saya jadi cacingnya, tugas saya menyuburkan. Dulu di daerah sini tempatnya anak remaja mabuk. Sekarang enggak ada lagi, ganti ngopi mereka,” ujar Argo (34), pendiri Join.
Argo sendiri merasa dirinya juga bagian dari orang-orang terbuang yang kini diasuhnya. Hampir 20 tahun lalu, ia adalah pesuruh dari seorang ekspatriat Jepang penikmat kopi. Dari majikannya itu, ia belajar mengenal kopi dan seluk-beluknya. Mulai dari sekadar menyangrai biji kopi hijau hingga menyeduh dengan metode manual. Sampai kemudian ia meminjam uang dari beberapa temannya untuk modal mendirikan Join, warung kopi bersahaja namun menyajikan kopi serius.
”Kalau ada yang bawa ijazah sarjana melamar ke sini, malah saya tolak. Dia lebih punya banyak kesempatan untuk cari kerja. Join ini untuk mereka yang enggak punya ilmu, keterampilan, apalagi ijazah,” ujar Argo.
Argo dan komunitas Join kini masih bisa sedikit berlega hati, otoritas kota akhirnya memberi izin Kedai Join serta beberapa warung di sekitarnya bergeser ke sudut belakang di depan masjid gelanggang. Kini, keberadaannya pun tersembunyi di balik spanduk-spanduk meriah sisa gelaran Asian Games yang lalu.
Walau nyempil dan tersudut, pengunjung tetap ramai. Join memang punya ”crowd” alias pengikut setia tersendiri, yang merasakan kenyamanan ruang dan kesedapan kopi rakyat di sini. Meski juga menjual minuman kopi arabika berbasis espreso, selain seduh manual, harga minuman di sini amat terjangkau, mulai dari Rp 17.000-Rp 25.000 per gelas.
Pelanggannya datang dari berbagai kalangan, dari remaja yang mulai doyan ngopi, pekerja, seniman, sampai tentunya Komunitas Seni Bulungan. Berbeda dengan banyak kedai kopi lain, orang-orang yang datang terlihat seperti saling terhubung. Jangan heran jika melihat seorang pengunjung yang datang lalu menyapa dan menyalami tamu-tamu lain di beberapa meja yang terserak, sebelum kemudian memilih mejanya sendiri. ”Tempat ini seperti ruang di mana semua orang bisa berbagi, enggak seindividualis kafe pada umumnya,” kata Ade (35), pelanggan.
Kedai serta perabot meja dan kursi di Join hampir semuanya terbuat dari kayu, sisa dari hasil pemangkasan pohon-pohon kota oleh pemerintah kota. Di muka kedai terpasang burung Garuda lengkap dengan tulisan lima sila dalam Pancasila. Sementara di kasir terpajang buku kumpulan puisi Sajak Orang Biasa karya penyair dari Komunitas Seni Bulungan, Yoyik Lembayung, yang penggalan sajaknya dikutip di awal tulisan ini. ”Silakan kalau mau pinjam baca-baca di sini,” ujar pelayan di kasir.
Kedai di rutan
Setelah lima tahun berdiri, Kedai Join dilirik sejumlah pihak untuk berkolaborasi. Sekitar setahun yang lalu, Join digandeng Yayasan Jeera dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk memberikan pelatihan barista kepada narapidana atau sebutan halusnya, ”warga binaan”.
Yayasan Jeera sendiri didirikan oleh beberapa mantan warga binaan untuk membantu membekali para narapidana dengan berbagai kemampuan wirausaha. Meski sasarannya narapidana, bukan tahanan, proyek perdana pelatihan itu dijalankan di Rutan Cipinang Kelas 1, Jakarta Timur. Dengan demikian, napi dari beberapa lembaga permasyarakatan lain juga dibawa ke rutan tersebut selama program pelatihan, yaitu sekitar dua pekan.
”Beberapa dari kami prihatin aja, waktu saya masih di dalam (penjara), banyak napi yang malah panik dan bingung kalau waktunya bebas sudah dekat. Mereka bingung di luar nanti mau jadi apa. Sering ada, nih, yang sudah bebas, eh, tiga bulan kemudian balik lagi. Kalau ditanya, dia ngerasa cuma sampah masyarakat, bisanya cuma maling, ya jadi maling lagi,” cerita Gerhand Razaq, salah satu pendiri Yayasan Jeera selain Rommy Redono dan Rino Lande.
Kini setidaknya telah ada 10 angkatan yang mengikuti program pelatihan barista itu. Setiap angkatan, jumlah peserta bervariasi, 10 sampai 30 orang. Argo dibantu Edy, asisten utamanya di Join, untuk melatih para napi menjadi barista.
Kepala Rutan Kelas 1 Cipinang Oga Giofani Dermawan mengatakan, pihaknya mengutamakan napi yang memang punya minat, terlebih masa hukumannya hampir habis. Tujuan pelatihan itu tak lain untuk membekali para narapidana dengan keterampilan yang memungkinkan mereka menjadi lebih mandiri secara ekonomi selepas dari masa hukuman nantinya.
Tak hanya itu, pertengahan 2016 lalu, akhirnya sebuah kedai kopi bernama ”Jeera Coffee” seluas sekitar 40 meter persegi pun berdiri di salah satu sudut rutan. Kedai ini menjadi wahana bagi para napi menyalurkan bekal keterampilan sebagai barista. Jika kita nongkrong di sini, sama sekali tak terasa seperti sedang di dalam kawasan rutan. Sipir, napi, dan tahanan ngopi bersama, ditingkahi musik hidup dari band kecil yang siang itu memainkan lagu ”Kita” dari Sheila on 7.
Jadi kurir
Berhubung penjenguk tidak bisa masuk ke areal ini, ada beberapa warga binaan yang setiap hari bertugas sebagai kurir untuk mondar-mandir mengantarkan pesanan kopi ke area penjengukan yang dipenuhi ratusan pengunjung saban hari. Sementara dua barista, Samsul Bahri (26) dan Mohammad Toha (37), yang siang itu bertugas di belakang meja bar, memainkan mesin espreso yang terus-menerus meneteskan kopi. Dalam sehari, sekitar 300 gelas karton kopi terjual selama kedai buka pukul 08.00-17.00.
”Dulu jadi kurir sabu, sekarang kurir kopi,ha-ha-ha...,” celetuk Toha. Samsul dan Toha sedang menjalani masa hukuman setelah tersangkut kasus narkoba. Mereka adalah jebolan pelatihan kopi dari Jeera dan Join di kloter pertama.
”Waktu diberi tahu ada pelatihan ini, saya langsung mau. Belajar jadi barista di luar (di luar penjara), kan, mahal. Di sini kesempatan itu saya bisa dapat. Penginnya nanti kalau sudah bebas, saya bisa usaha buka kedai sendiri,” kata Toha yang kini menjadi manajer kafe di rutan.
Toha dan Samsul pun setiap hari melatih lidahnya untuk mengakrabi berbagai karakter kopi Nusantara melalui ritual cupping atau uji rasa kopi. ”Lidah kami sampai baal rasanya. Tiap hari cicip delapan macam kopi dari Aceh sampai Papua. Padahal, walaupun orang Aceh, saya dulu enggak terlalu suka kopi,” ucap Samsul yang masih delapan tahun lagi bebas.
Sambil menunggu waktu bebas, para warga binaan ini setidaknya sudah lebih percaya diri untuk membuka lembar hidup baru di ”jalan kopi”. Kopi telah menjadi pleidoi, pembelaan yang sesungguhnya atas nasib mereka di luar penjara kelak.