Evolusi Sepetak Warteg
Sebelum berkenalan dengan aneka tren kuliner, lidah kita terbiasa dengan masakan rumahan. Masakan ala ibu yang membangkitkan nostalgia kehangatan rumah, menumbuhkan rasa nyaman, dan tanpa disadari membentuk fundamen rasa di lidah. Di antara banyak pilihan, pelaku bisnis kuliner kini melirik lagi masakan rumahan seperti yang biasa disajikan di warung tegal alias warteg.
Mengikuti tren kuliner dunia yang bergeser ke makanan ala rumahan, warteg pun lantas bersolek untuk menemukan wajah baru yang lebih modern. Nama warteg ”dipinjam” dan bermetamorfosis meninggalkan kesan reyot dan gembel. Lantas, muncul warteg-warteg kekinian dengan perwajahan ala milenial, interior kreatif, dan menu makanan yang naik kelas.
”Kata warteg sudah sangat nyaman. Identik dengan comfort thing dan tidak intimidatif. Sesuatu yang dekat selama puluhan tahun. Warteg berevolusi dari sekadar tempat makan jadi entitas baru yang punya dampak lebih intangible: menghadirkan rasa nyaman. Menu dan tempatnya boleh naik kelas, tetapi tetap mempertahankan budaya wartegnya. Budaya nongkrong santai,” kata Kevindra Prianto Soemantri, pegiat gastronomi dan penulis buku kuliner.
Tengoklah tampilan ”Warteg Hitz!” di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan, yang lebih mirip kafe ketimbang warteg konvensional. Pemiliknya, Andri Yuda (40), bahkan memodernisasi dapur ”Warteg Hitz!” dengan perangkat dan peralatan masak sesuai standar restoran internasional. Peralatan dapur mulai dari rak-rak makanan terbuat dari baja. Kompor dan tungku pemanggangnya pun ala dapur restoran atau hotel berbintang.
Selain memodernisasi dapur, warteg ini juga menerapkan konsep open kitchen. Jadi, pelanggan bisa melihat aktivitas dan kesibukan yang terjadi di dapur dari tempat mereka makan. Demi perwajahan baru warteg ini, Andri merogoh nilai investasi hingga mencapai Rp 500 juta.
Tak hanya dapurnya, pengunjung Warteg Hitz! juga dimanjakan dengan desain interior yang sangat cozy dan bergaya minimalis, lengkap dengan meja, kursi, dan sofa, lampu gantung, serta hiasan lukisan mural di dinding warung. Tak lupa pendingin ruangan, sambungan internet nirkabel, dan juga lantunan lembut lagu-lagu pop terbaru dari sound system yang terpasang.
Untuk pesanan layan antar atau take away, kotak-kotak makanan dirancang khusus dengan desain unik. Bahan kotaknya berstandar keamanan makanan (food grade) serta mudah didaur ulang. Tak ada lagi nasi pesanan dibungkus kertas minyak seperti layaknya warteg biasa. ”Saya ini pencinta warteg. Di warteg, kita bisa dapat makanan yang relatif gampang, enak, santai, dan bisa bergaya apa pun,” kata Andri.
Meski menampilkan perwajahan modern, Andri mengaku tetap mempertahankan suasana sebuah warteg. Lemari pajang makanan disediakan agar pelanggan tetap bisa melihat dan menunjuk sendiri pilihan menu sesuai selera. Selain sistem tunjuk ala warteg, menu-menu masakan rumahan khas warteg juga tetap dipertahankan.
Menu warteg
Menu masakan rumahan pula yang menjadi andalan warteg modern di Kemang, Di Warteg. berpenyejuk udara dengan dinding dihiasi mural yang layak Instragam, warung ini cocok buat nongkrong anak muda, kumpul komunitas, hingga rapat kantoran. Seperti pada Selasa (4/9/2018) lalu, anak-anak muda pegawai kantor periklanan melewatkan makan siang di Di Warteg sembari rapat. Proyektor menembakkan materi presentasi rapat ke salah satu sisi dinding warteg yang sengaja didesain serupa layar putih.
Menyandang nama warteg, warung yang berdiri empat tahun lalu ini tetap menghadirkan menu-menu khas warteg ala masakan rumahan, seperti tempe orek, telur balado, oseng-oseng sayur, dan sop iga.
Yang membedakan dengan warteg biasa, belasan menu di sini diolah menggunakan bahan-bahan segar tanpa MSG sebagai penyedap rasa sehingga lebih menyehatkan. Di Warteg juga menyediakan pilihan nasi merah.
Konsep baru yang dihadirkan terbukti menarik pengunjung. Pengelola Di Warteg, Meuthia, menyebutkan pengunjung harian berkisar 60-80 orang, di luar konsumen katering yang mencapai 30-50 porsi per hari. Meskipun disajikan dalam warung yang lebih modern, Di Warteg tetap mengusung prinsip masakan rumahan yang murah. Seporsi nasi dengan satu jenis sayur dan satu jenis lauk pauk plus kerupuk bisa dibeli seharga Rp 17.000.
Walaupun tak lagi dikelola oleh perantau Tegal, Di Warteg juga tetap mengusung konsep warteg. Modernisasi memang dihadirkan pada interior dan konsep bangunan warungnya, tetapi Di Warteg fanatik hanya menyajikan masakan rumahan khas Nusantara. Permintaan pelanggan untuk menghadirkan masakan ala barat pun ditolak. Pengelola Di Warteg Herman Tri Handono menambahkan kini sedang disiapkan ekspansi warung Di Warteg ke Bogor, Jawa Barat.
Segmen pasar
Dengan beragam kenyamanan tambahan yang dihadirkan, pengelola warteg kekinian berharap bisa menggaet segmen pasar yang lebih luas, termasuk kalangan menengah ke atas. Beberapa pejabat dan artis pun kerap datang ke sejumlah warteg kekinian. Penyanyi sekaligus pencipta lagu Bebi Romeo, misalnya, mengaku senang dengan pengalaman baru bersantap di warteg kekinian.
”Aku suka suasananya (di warteg kekinian). Pada dasarnya aku memang suka kulineran. Kadang suka juga minta dibuatkan lauk kegemaran seperti telur dadar campur petai. Nikmat sekali itu!” ujar Bebi saat dihubungi.
Keragaman konsumen yang dibidik warteg kekinian sejatinya sudah dijaring oleh warteg legendaris yang sudah lebih dulu hits puluhan tahun seperti Warteg Warmo Jadi Mulya di kawasan Tebet, Jakarta. Tingginya minat pelanggan antara lain terlihat dari suasana pada jam makan siang yang selalu sibuk, ramai, dan sumpek oleh pengunjung dari beragam kalangan seperti pada Rabu (12/9). Menu semur jengkol di warteg ini saja bisa habis empat kilogram per hari.
Syamsuri (42), pengelola Warteg Warmo, mengatakan, terjadi peningkatan persaingan bisnis makanan, terutama warteg. Banyak warteg baru bermunculan, baik yang konvensional maupun modern kekinian. Warteg Warmo bisa dibilang sebagai perintis warteg di Tanah Air, terutama di Jakarta. Warteg ini didirikan tahun 1968 oleh dua saudara kandung, H Dasir dan H Tumuh. Syamsuri adalah putra keempat mendiang H Dasir. Bersama dua kakak dan adik bungsunya, Syamsuri bergantian setiap empat bulan mengelola Warteg Warmo. Walau persaingan sangat keras, Warteg Warmo tetap bertahan tanpa merasa perlu membuka cabang.
Faktor lokasi, harga ekonomis, serta cita rasa makanan yang terus dipertahankan kualitasnya menjadi andalan untuk terus bertahan sampai sekarang. Pernah terpikir oleh Syamsuri dan keluarga untuk sedikit memberi sentuhan modern, merenovasi, dan menata interior warteg, serta menambah penyejuk udara. ”Tapi pelanggan belum tentu suka. Malah nanti dikira harganya jadi mahal. Atau malah dikira bukan warteg lagi,” kilah Syamsuri pendek.
Sejak lima tahun terakhir, Kevindra menambahkan, tren kuliner memang bergeser ke masakan rumahan. Di Perancis, misalnya, muncul gerakan bistronomy dengan membangkitan bistro klasik yang mengusung makanan ala rumahan. Kembali ke makanan rumahan juga terjadi seiring makin menguatnya budaya nongkrong dan meningkatnya jumlah kaum milenial.
”Perubahan tren dunia memengaruhi cara kita makan, kembali ke makanan rumah. Warteg mengambil kesempatan itu juga,” kata Kevindra. Maka evolusi pun menghampiri warteg.