Bandung telah lama dikenal sebagai kota mode. Julukan ini didukung oleh banyaknya pabrik tekstil dan garmen di area itu, ditambah kemunculan ”factory” dan ”distribution outlet”, belum lagi munculnya selebritas, musisi, dan tokoh seni sebagai ”manekin” produk mode, serta gaya berpakaian orang setempat yang relatif modis. Bagaimana geliat mode di kota yang juga berjuluk Parijs van Java ini?
Selama tiga hari, Indonesia Fashion Chamber (IFC) menggelar peragaan busana 23 Fashion District 2018 yang bertempat di atrium utama 23 Paskal Shopping Center, Bandung, 7-9 September lalu. Selain perancang busana setempat dan dari berbagai daerah lain, seperti Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Bali, Makassar, dan Padang, hadir pula perancang dan label kenamaan, antara lain Deden Siswanto, Lenny Agustin, Lisa Fitria, Billy Tjong, Wilsen Willim, Danjyo Hiyoji, Irna Mutiara, dan Hannie Hananto. Total ada 70-80 desainer, termasuk para mahasiswa jurusan mode dari berbagai perguruan tinggi di Bandung.
Mereka menghadirkan koleksi terbaru dan saling melihat dengan sesama kolega perancang. Masyarakat setempat pun mendapat suguhan variasi karya busana, mulai dari yang bergaya urban, jalanan, mode terbatas atau modest fashion, avant garde, gaun malam, hingga siap pakai.
”Sebenarnya cukup sering acara fashion market di Bandung, cuma yang besar dan banyak perancang nasionalnya memang tidak terlalu banyak. Untuk aku pribadi, selain sebagai ajang promosi dan branding, acara semacam ini jadi sarana introspeksi karena dinilai masyarakat,” ungkap Yufie Kartaatmaja, desainer asal Bandung.
Menurut Yufie, ada dua macam pelaku mode di Bandung, yakni desainer mode (fashion designer) dan pengusaha mode (fashionpreneur). Desainer mode lebih dituntut orisinalitas dan inovasinya, sedangkan pengusaha mode lebih banyak menyesuaikan permintaan pasar. ”Pengamatanku, perkembangan mode di sini semakin bagus. Kalau dulu masih banyak yang ambil barang dari China, sekarang lebih mengandalkan desain sendiri. Semakin banyak brand baru muncul,” ungkap Yufie yang mengeluarkan koleksi terbarunya bertema ”Nocturnal”.
Terinspirasi kehidupan makhluk nokturnal yang aktif di malam hari, Yufie menghubungkannya dengan ritme anak muda yang hingga malam hari masih aktif berkegiatan. Ia mengkreasikan koleksi yang bisa dipakai pagi hingga malam hari. Baju-bajunya bersifat formal yang bisa dipakai dengan gaya jalanan (street style). Aplikasi berlipit yang dapat dibongkar pasang dengan bantuan kancing memberi aksen untuk tampilan yang lebih bergaya.
Pertajam daya saing
Meski terkesan romantis dengan bahan yang ringan dan melayang dalam warna-warna pastel, koleksi Astri Lestari dalam bentuk gaun atau paduan atasan dan rok juga bisa digunakan dalam gaya jalanan. Terinspirasi dari pengalamannya melihat gumpalan awan saat naik pesawat dari Jakarta ke Nusa Tenggara Barat (NTB), Astri mengambil tema Negeri di Atas Awan. Dengan bahan tulle, organdi, katun, linen, dan scuba, ia banyak mengambil bentuk-bentuk setengah lingkaran, seperti bentuk tepian awan. Astri juga menggunakan kain tenun dari NTB dan Troso, Jepara.
Desainer asal Bandung ini mengakui, selama ini lebih banyak membidik pasar Ibu Kota. Untuk itu, dalam setahun ia bisa 3-4 kali mengikuti peragaan busana di Jakarta. ”Bagus sekali kalau bisa ada peragaan busana besar di Bandung sehingga tidak harus selalu ke Jakarta. Saat ini, konsumen lokal semakin meningkat daya belinya sehingga pasar kami juga makin besar di sini,” tutur Astri.
Di mata Ketua Umum IFC Ali Charisma, Bandung memiliki modal yang sangat cukup untuk mengokohkan diri sebagai kota mode, mulai dari sumber bahan baku, sumber daya manusia kreatif, hingga minat orang setempat mengikuti tren mode. Meski begitu, Bandung perlu mempertajam ciri khas dengan tetap menawarkan keragaman. Busana-busana dengan gaya jalanan sejauh ini, menurut pengamatannya, menjadi gaya Bandung yang menonjol selain mode terbatas (modest) yang semakin menjamur.
Desainer setempat perlu semakin meningkatkan diri dengan mengikuti perkembangan mode, baik nasional maupun internasional. Meski sudah muncul banyak desainer dan pengusaha mode, masih cukup banyak pula produsen yang hanya sekadar mengerjakan pesanan. ”Sentuhan desain perlu lebih diperluas pada produk Bandung sehingga pelaku tidak sekadar menerima ongkos kerja, tetapi juga ada nilai tambahnya,” kata Ali.
Material khas Indonesia, seperti kain batik, tenun, dan jenis wastra lainnya, juga bisa menjadi material yang sangat strategis dipakai, sebagai keunikan yang belum tentu dimiliki desainer negara lain. Akan tetapi, pengolahannya menjadi tantangan tersendiri agar memenuhi selera internasional. ”Kami membawa perancang-perancang yang berpengalaman mengolah kain tradisional dan karyanya diterima konsumen internasional. Dari sini, perancang bisa saling melihat dan menimba wawasan,” ungkapnya.
Salah satunya, Wilsen Willim yang konsisten menyelipkan penggunaan kain Nusantara dalam koleksinya, terutama tenun. Kali ini, ia menggunakan kain tenun garut dalam baju-bajunya yang juga akan dibawa ke ajang pameran dagang di Paris Fashion Week pekan depan. Jaket-jaket musim dingin karya Wilsen adalah favorit pembeli.
Kain tenun polos berwarna putih atau motif garis tipis mengilat dari bahan katun viscose menjadi pilihan Wilsen kali ini. Baju-bajunya dari bahan tenun sutra akan dibawa ke Paris. Koleksinya bergaya klasik dengan siluet tegas serta beberapa dibuat sedikit berbeda untuk memberi kesan rileks, seperti kemeja perempuan yang dibuat lebih panjang dan bagian bawahnya berpotongan asimetris. ”Kita tidak bisa memaksa orang memahami budaya kita. Orang asing mungkin tidak terlalu suka pakai yang tradisional, yang bisa kita lakukan bagaimana mengawinkan budaya kita dengan mereka agar bisa diterima,” tutur Wilsen.
Koleksi Wilsen dibawakan para model yang tampil dengan wajah disaput tinta ungu sehingga memberi efek kejut bagi audiens. Tampilan bergaya gotik ini terinspirasi dari pengalaman Wilsen menggarap tugas akhir saat menjadi siswa jurusan seni rupa. Saat itu, usianya 14 atau 15 tahun dan ia mendokumentasikan mimpi-mimpinya selama beberapa bulan. Salah satu sosok yang muncul di mimpinya mirip karakter belphegor, setan penggoda manusia. ”Pesanku agar orang tidak menggunakan cara instan untuk mencapai tujuan,” kata Wilsen.
Lenny Agustin juga konsisten menggunakan wastra Nusantara dalam setiap koleksinya. Ia sekaligus ingin menyemangati perajin agar merasa bangga kainnya ternyata bisa diolah menjadi baju berpotongan modern. Dalam koleksi kali ini, Lenny menggunakan tenun Lambaleko dari Sumba Barat. ”Ini pertama kali aku memakai kain Sumba Barat. Kain Lambaleko ini motifnya banyak garis-garis, tetapi warnanya aku banget. Sementara kain Sumba Timur yang pernah aku garap motifnya aku banget karena penuh, tetapi warnanya tanah,” ungkapnya.
Sesuai tema yang diusung, Eclectica, Lenny memadukan banyak gaya. Atasan berupa kemeja atau variasi kebaya ia padukan dengan rok-rok pendek berlipit. Gaya perempuan setempat dalam memakai kain juga diadopsi Lenny.
”Supaya tidak terlalu etnik, tidak perlu memakai kain tradisi terlalu banyak. Perlakukan dia seperti kain lainnya untuk membebaskan kreasi. Itu sebabnya saya pilih yang motifnya kontemporer dan motifnya tidak terlalu berat supaya merasa lepas mengolahnya. Motif klasik tetap harus ada yang membuat, tetapi lebih ke penggunaan ritual,” tutur Lenny mengungkapkan.