Penasaran Kulit
Minang Kayo bermula dari rasa penasaran. Kota Padang Panjang sebagai sentra penyamakan kulit di seluruh Sumatera tidak memiliki ruang pajang produk-produk kerajinan kulit yang memadai. Pasangan Roni Kayo dan Priska kemudian memulainya setahun yang lalu.
Gerai kerajinan kulit yang dibangun Roni dan Priska dalam sekejap telah menjadi daya tarik para wisatawan yang berkunjung ke Padang Panjang, Sumatera Barat. Dalam sehari, kata Roni, awal September 2018 lalu di Padang Panjang, Minang Kayo dikunjungi sekitar 18 bus pariwisata. Itu belum termasuk turis yang datang sendiri dengan kendaraan pribadi. ”Setidaknya lebih dari 500 orang sebulan,” ujar Roni.
Kenyataan itu mendorong Roni dan Priska mempercepat pembangunan bengkel kerja atau workshop di samping toko mereka yang berlokasi di Jalan St Syahrir Mifan, Padang Panjang. Mereka ingin memperlihatkan kepada para tamunya bagaimana produk kulit asli Padang Panjang diolah menjadi bentuk-bentuk menarik, seperti tas, dompet, sepatu, jaket, topi, ikat pinggang, serta berbagai produk lain. ”Kami bisa bikin apa saja. Bahkan, jika wisatawan di sini dua hari, bisa pesan hari ini besok pesannya sudah siap,” kata Priska.
Di ruang pajang Minang Kayo, kita bisa menemukan capal datuak, satu produk sandal kulit yang lebih sering dipakai seluruh anggota keluarga saat menggelar hajatan. ”Dulu sandal ini khusus buat para datuk, tetapi kini semua anggota keluarga pakai,” ujar Priska. Minang Kayo beberapa kali mendapatkan pesanan capal datuak antara 100 – 150 pasang. Harga produk asli kulit di Minang Kayo Rp 100.000-Rp 2.500.000. ”Harga tertinggi biasanya untuk jaket kulit,” katanya.
Harga produk kerajinan kulit di Padang Panjang bisa bersaing di pasaran produk serupa lantaran di kota ini terdapat UPTD (Unit Pelaksana Teknis Daerah) Pengolahan Kulit yang berdiri tahun 2011. UPTD Pengolahan Kulit didirikan Pemerintah Kota Padang Panjang berdasarkan potensi yang ada daerah ini. Dulu, kata Roni, ada PD Tuah Saiyo, yang menyamak kulit secara modern. Namun, pabrik penyamakan kulit itu berhenti beroperasi pada 2006 sehingga perajin kembali mengolah kulit secara tradisional. Pada era itu, banyak pula pengusaha yang hanya mengumpulkan kulit mentah lalu dijual ke Jawa, terutama Garut, Jawa Barat.
Sebenarnya, setelah UPTD berdiri, ada keinginan menjadikan Padang Panjang sebagai sentra kerajinan kulit. Itu terbukti dengan berdirinya sentra kerajinan kulit di Kelurahan Balai Balai dan Kelurahan Bukit Surungan. ”Namun, rasanya itu kurang maksimal,” kata Roni.
Kenyataan itulah yang membuat ia dan istrinya penasaran. Kota sentra kulit di seluruh Sumatera, tetapi tidak memiliki ruang pajang yang layak terhadap produk-produk para perajinnya. Roni dan Priska kemudian memulainya dari bawah. Setelah memutuskan pindah dari Bukittinggi, pasangan ini membuka lapak kerajinan khas Minang di Air Terjun Lembah Anai, tak jauh dari Kota Padang Panjang. ”Di situ kami sudah coba jual produk kulit yang kami desain sendiri,” kata Priska.
Tas tukang pos
Tak beberapa lama Roni dan Priska kemudian berhasil membuka toko kerajinan kulit, sulam, dan bordir khas Minang di kawasan Silaing Bawah Padang Panjang. Mereka memberi nama tokonya dengan Minang Kayo. Dalam waktu tak lama produk-produk seperti postman bag dan jaket kulit buatan mereka menjadi incaran konsumen. Jika di daerah lain postman bag dihargai antara Rp 800.000-Rp 1.200.000, dengan kualitas yang sama dan bahan kulit produk asli Padang Panjang, di Minang Kayo ”hanya” seharga Rp 600.000. Bahkan, jika pandai menawar, kita bisa mendapatkan harga di bawah itu.
”Kami memang memberi kesempatan pembeli untuk menawar sehingga di toko ini seperti berbelanja di pasar,” kata Priska. Aktivitas tawar-menawar sengaja mereka terapkan agar para pembeli merasa seperti sedang berada di pasar. Jika para wisatawan menginginkan model tertentu, kata Priska, mereka bisa pesan. ”Sehari langsung jadi dan bisa dibawa pulang,” katanya. Selain itu, jika ingin memesan dalam partai besar, para pembeli boleh memberi merek dagang sendiri atau tanpa merek sama sekali.
Minang Kayo setidaknya memajang 50item produk dari kulit, dari yang terkecil, seperti dompet, tas, topi, ikat pinggang, sepatu, sandal, sampai jaket. Khusus untuk sepatu, Roni memiliki tujuh karyawan, sandal 6-7 keluarga, tas dengan sembilan keluarga, jaket dua perajin. Hubungan kerja dengan para perajin di tingkat keluarga biasanya berupa ikatan kerja sama. ”Jadi, kami juga memberi kesempatan kepada mereka untuk kerja sama dengan orang lain,” kata Priska.
Soal keterampilan para perajin, kata Roni, tak perlu diragukan. Sebagian besar dari mereka telah dilatih sebagai perajin di berbagai sentra kerajinan. Bahkan, di antara mereka terdapat para perajin yang pernah bekerja di sentra-sentra pembuatan sepatu dan tas di Jawa. Oleh sebab itu, Minang Kayo siap menerima pesanan dengan berbagai model sesuai dengan keinginan para konsumen. ”Sudah pasti bahan dan kualitasnya bagus,” kata Priska.
Proses penyamakan kulit yang baik dengan keterampilan perajin yang memadai membuat produk kerajinan kulit Padang Panjang harusnya bisa bersaing di pasaran penyuka kulit. Realitasnya, di Kota Padang Panjang sendiri, tak banyak bisa ditemui gerai-gerai kerajinan kulit. Penasaran pasangan Roni dan Priska akan terus berlanjut sampai produk kulit mereka benar-benar diterima oleh pasar yang lebih luas. Itulah sebabnya mereka sudah mulai menyerbu pasar regional, seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Sekali waktu, ada pula pembeli dari Italia atau Australia yang tiba-tiba singgah di toko mereka.