Warteg Enggak Ada Matinya
Warung tegal atau warteg tak kenal ”pasang-surut” dan berjejaring kian menggurita. Hadir menyebar di Ibu Kota, ribuan warteg punya peran penting dalam perkembangan Jakarta dan menjadi ”pahlawan” kaum urban. Ia menopang kehidupan urban yang kemilau. Dari buruh bangunan hingga pekerja kantoran rutin mengisi perut dan mengencangkan kembali tenaga di warteg.
Tingginya minat terhadap warteg pun terlihat di Warteg Kharisma Bahari. Warteg pertama berkonsep waralaba ini berbenah menjadi warteg bersih dan nyaman. Saat ini Warteg Kharisma Bahari memiliki lebih dari 180 cabang di Jakarta. Menggunakan sistem bagi hasil fifty-fifty tanpa royalti, warung yang dikelola perantau asal Tegal, Jawa Tengah, ini menjaring investor dari beragam etnis.
Tidak pernah terbayangkan di benak Citra Paramita bahwa ia akan menjadi investor warteg. Pada Maret lalu, ia memberanikan diri menginvestasikan uang pesangonnya sebesar Rp 200 juta untuk membuka Warteg Kharisma Bahari di Sektor 1 Perumahan Bintaro, Jakarta.
”Setelah beberapa bulan, saya happy secara revenue dan hubungan kerja. Akhirnya, saya bikin lagi investasi untuk warteg yang kedua, juga di Bintaro,” kata Citra.
Citra tak seorang diri. Ada juga investor lain yang sudah memiliki tujuh warteg dalam hitungan bulan. Dari hasil survei, Citra menjumpai warteg tak pernah sepi, bahkan kala dini hari. ”Target market-nya menengah ke bawah. Enggak perlu Wi-Fi,enggak perlu menu njlimet, enggak perlu ngelihat kompetitor, dan enggak perlu interior mewah. Asal murah, enak, pelanggan makan, lima menit cabut. Nyesel kenapa enggak dari dulu investasi di warteg,” katanya.
Bisnis warteg berdasarkan kepercayaan karena dikelola secara sederhana. Tidak ada mesin kasir cash register yang mencatat pemasukan uang. Investor pun harus belajar percaya kepada pengelola dan karyawan yang semuanya merupakan perantau dari Tegal. ”Kalau enggak percayaan, hidup bakal resah karena pengin tahu, pengin kontrol. Untungnya saya bukan tipe itu,” kata Citra lagi.
Sejarawan JJ Rizal menyebut perkembangan warteg sekaligus bisa menjadi alat ukur kota urban. Seberapa urban kota lihatlah wartegnya. Jakarta merekam sejarah migrasi dari desa ke kota. Sejarah warteg adalah cerminan itu. Informasi paling banyak menjelaskan awal warteg adalah urbanisasi yang meningkat setelah ibu kota Indonesia kembali dari Yogyakarta ke Jakarta.
Presiden Soekarno kala itu bukan saja sebagai arsitek bangsa, melainkan juga menjadi arsitek dalam artian pembangunan infrastruktur. Proyek Soekarno yang diejek sebagai proyek mercusuar memerlukan banyak tenaga kerja bangunan. Menurut JJ Rizal, hal ini menjadi gerbang urban yang menjadi ruang pembenihan warteg.
Bukan rekreasi
Dalam kebersahajaan, warteg terus membangun dayanya sendiri. Di balik kemegahan gedung tinggi, warteg yang hingga kini masih sederhana dan pernah merasakan pahit getir digusur tetap menjadi tujuan para pekerja ketika waktu makan tiba. Tak perlu kilau gemerlap, tetapi mereka turut membuat kehidupan Ibu Kota berderap.
Satu dollar AS
Belum sampai tengah hari, Rabu (12/9/2018) lalu, silih berganti orang masuk ke Warteg Nojo Jaya di belakang kompleks perkantoran WTC, Jakarta Selatan. Rosiana Indah Pratiwi (26) cekatan mengambil piring berisi nasi yang sudah disiapkan, menambahinya dengan sayur dan lauk yang dipesan si pembeli. ”Makan di sini? Nasi satu atau setengah?” ujarnya.
Warteg Nojo Jaya buka mulai pukul 05.30 dan baru tutup pada tengah malam. Setiap hari pegawai warteg memasak mulai pukul 04.00. Dalam sehari mereka bisa memasak nasi lima kali, masing-masing 13 liter atau satu termos penuh. Ada lebih dari 30 macam sayur dan lauk yang bisa dipilih.
Pengunjung warteg umumnya adalah mereka yang memperlakukan makan bukan sebagai rekreasi, tetapi untuk mengisi perut. Pukul 11.45, Warteg Nojo Jaya berangsur ramai. Karyawan di WTC 2, Susanto (34), menggulung lengan kemeja panjangnya, siap menyantap nasi dengan sayur sop, telur dadar, dan tempe orek, plus sambal.
Ia hanya menghabiskan Rp 12.000 untuk makan siang tadi, tak sampai 1 dollar Amerika Serikat. Gonjang-ganjing nilai tukar dollar AS seolah seketika hampa di warteg.
Ditto Kuncoroyakti (36), karyawan bank swasta asing, menyukai suasana warteg yang egaliter. Sembari makan, dia senang mengamati perilaku para pembelinya. ”Yang makan dari sales sampai manajer, dari perusahaan manufaktur sampai institusi finansial. Seru dengar banyak cerita dan pengalaman dari berbagai industri,” ujarnya.
Rosiana menuturkan, ada lima Warteg Nojo Jaya di seputar Jalan Sudirman dan Jalan Setiabudi, Jakarta. Berdiri tahun 1983 di Setiabudi, tak lama warteg ini tergusur gedung bertingkat. Kemudian, mereka pindah ke lokasi sekarang. Warteg itu lalu berkembang menjadi 10 warteg dan menyebar ke Cikatomas, Blok S, Jalan Bangka, dan Roxy, Jakarta.
”Perintisnya adalah kakak beradik Pak Riyatno dan Pak Dirjo. Jadinya Nojo. Pak Dirjo sudah meninggal. Sekarang semua warteg dikelola anak mereka,” tutur Rosiana, putri Riyatno.
Bersih sederhana
Riyatno (60) bercerita, waktu pertama kali membuka warteg, suasana di sekitar tempat itu belum ramai. Tahun 1990-an, barulah muncul gedung-gedung jangkung.
”Warteg ini masih mempertahankan model lama. Sederhana, tetapi tetap bersih. Kami enggak jual nama, fokus jual rasa. Bumbu kami racik sendiri sehingga sesuai dengan rasa sehari-hari di rumah,” ucap Rosiana.
Model lama dan sederhana ini justru didatangi ratusan orang setiap hari. Mereka terpesona rasa tempe orek yang ala rumahan itu. Harga makanannya bahkan seolah tidak banyak terpengaruh inflasi. Kalau kacang panjang sedang mahal seperti sekarang, ya diganti buncis. Sesimpel itu cara menyiasatinya.
Pemilik Warteg Kharisma Bahari, Sayudi, yang akrab disapa Yudika, memilih membuka diri untuk investor sejak tujuh tahun terakhir. Awalnya, ia dan keluarga mengelola sendiri Warteg Kharisma Bahari. Ketika warteg berkembang menjadi tiga cabang, Yudika mulai kewalahan karena banyak kebocoran dana.
”Daripada stres, saya inisiatif ambil teman dan saudara sendiri. Hasil bersih dibagi dua. Setelah itu berkembang,” kata Yudika.
Warteg Kharisma Bahari lantas berkembang menjadi lebih dari 100 cabang ketika akhirnya Yudika membuka diri untuk menjaring investor. Perkembangan pesat Warteg Kharisma Bahari tak lepas dari perombakan citra dari warteg yang kotor dan kumuh menjadi warteg yang bersih. Rata-rata investor menanamkan modal sebesar Rp 110 juta, tergantung dari besar kecilnya ukuran warteg.
Kevindra Prianto Soemantri, pegiat gastronomi dan penulis buku kuliner, mengatakan, warteg sangat memasyarakat karena fondasinya adalah makanan rumahan. Warteg juga menjadi cerminan masyarakat urban yang rindu makan.
”Ketika datang ke warteg, enggak memasang ekspektasi apa pun. Datang saja. Kenyang perut dan kenyamanan energi. Enggak neko-neko. Sama seperti di rumah. Terkadang ada waktunya yang kita mau hanya makan kenyang,” ujar Kevindra.
Belajarlah dari warteg. Ia bertahan puluhan tahun, tak terbatas tren, tidak memakai gimmick, dan memberikan sesuatu yang sederhana. Nyaman di kantong dan perut. Konsep makanan itu tidak bisa terbantah. Itulah rahasia tempat makan yang awet. Menggenggam rahasia umur panjang, warteg memang enggak ada matinya.