Ragam Wastra Nusa Cendana
Tahun 2018 ini saya dua kali melakukan perjalanan keliling Timor Barat untuk mengamati ragam wastra di Nusa Cendana ini. Kebetulan sejak awal 2015 saya mulai cukup intensif mengoleksi wastra tenun Timor Barat yang amat beraneka warna, beragam motif maupun teknik pembuatannya.
Sebagai pencinta seni visual, saya amat mengagumi estetika wastra Timor Barat. Sungguh sulit membayangkan, warga Timor Barat yang tanahnya penuh batu karang dan kerap mengalami kesulitan air bersih serta kekeringan dapat menghasilkan wastra tenun yang begitu indah dan sarat dengan makna.
Awal Februari lalu secara khusus saya berupaya agar bisa bertemu dengan penenun Desa Litamali, Malaka Timur bernama Angela Bui, yang sarung (tais feto) hasil tenunannya dipasang fotonya di halaman 177 buku Textiles of Western Timor – Regional Variation in Historical Perspectives yang ditulis oleh Ruth Marie Yeager dan Mark Ivan Jacobson (2002; White Lotus, Bangkok).
Ternyata Angela Bui yang kini usianya sudah menjelang 70 tahun itu telah pindah dari Desa Litamali ke Desa Alas, menjaga rumah adat mantan Bupati Belu, Servas Parera. Hingga awal tahun 2015 Desa Litamali dan Desa Alas masih masuk dalam wilayah Kabupaten Belu, namun kemudian kedua desa ini masuk dalam Kabupaten Malaka, yang tadinya wilayah Selatan Kabupaten Belu.
Saya pun mengejar Ibu Angela Bui hingga ke Desa Alas. Lega rasanya bisa berjumpa beliau bersama suaminya, serta bisa melihat dan menjamah langsung sarung karya tenunannya yang amat indah. Foto di buku Yeager & Jacobson warnanya hitam putih, dengan penjelasan bahwa bagian tenun ikatnya yang berwarna biru dan putih bermotif Kakeris (tapak anjing), dan panel bawahnya dihiasi tenunan pakan tambahan lilit (supplementary-weft wrapping) yang lazim disebut buna (dalam bahasa Dawan) atau talik (bahasa Tetun) berbentuk belah ketupat besar warna warni yang amat eksotik. Lazim disebut motif “otak sapi”.
Teknik buna/talik di seluruh Indonesia hanya ditemukan di Timor Barat. Sungguh sensasinya amat berbeda ketika saya melihat dengan mata kepala sendiri sarung empat panel yang tingginya hampir dua meter itu. Sayangnya sarung ini tak boleh diadopsi.
Kabupaten Malaka yang di sebelah Timur berbatasan dengan Timor Leste adalah satu dari lima kabupaten di Timor Barat yang memiliki variasi wastra yang amat indah dan eksotik. Selain Desa Litamali yang sekarang masuk dalam Kecamatan Kobalima (dahulu masuk dalam Kecamatan Malaka Timur), di Malaka juga ada beberapa pusat wastra tenun yang tak kalah indahnya, yaitu di Desa Manlea (terkenal dengan tenun ikat dan pakan tambahan lilitnya yang amat warna warni dan bermotif geometris), Desa Boas (unik tenun ikat dan motif pakan tambahan lilitnya yang masih terkesan “primitif” di antaranya motif buaya dan manusia), Desa Besikama (pakan tambahan lilitnya amat meriah warnanya), serta Desa Fatuaruin (pakan tambahan lilitnya bermotif bunga, dipengaruhi Portugis yang 500-an tahun lalu pernah berhubungan dengan Kerajaan Wehali yang berpusat di wilayah ini).
Kabupaten Belu yang terletak di Utara Kabupaten Malaka dan di Timur juga berbatasan dengan Timor Leste ternyata memiliki wastra tenun yang tak kalah indahnya, terutama di Kecamatan Raimanuk. Di sini terdapat sembilan desa pemekaran Desa Mandeu, di antaranya adalah Desa Faturika dan Mandeu Raimanus yang sempat saya kunjungi awal Februari dan tanggal 14 Agustus lalu. Desa Mandeu sebelum dimekarkan tadinya masuk di Kecamatan Malaka Timur, namun sekarang masuk di Kabupaten Belu. Motif talik (pakan tambahan lilit) yang menonjol di Mandeu adalah geometris, belah ketupat, dan kotak-kotak aneka warna. Ada yang dikombinasikan dengan tenun ikat dan sotis (lungsi lompat).
Di sebelah Barat Kabupaten Belu terhampar Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) dan di sebelah Barat Kabupaten Malaka terletak Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Baik di TTU maupun TTS terdapat variasi motif dan teknik tenun wastra yang amat beragam dan khas. Di TTU yang menonjol adalah wastra tenun Biboki, Insana (terkenal dengan buna geometris warna warninya) dan Miomafo (tenun ikatnya amat unik, dengan motif katak dari besar hingga kecil dan burung-burung).
Saya pribadi paling menyukai wastra tenun Biboki karena amat khas. Tenun ikat (futus)nya tak kalah indah dan rumit dibanding tenun ikat Manlea di Kabupaten Malaka. Namun kekhasan wastra tenun Biboki terutama adalah pada uniknya ragam hias buna (pakan tambahan lilit dalam bahasa Dawan).
Saya beruntung dapat bertemu dengan Ibu Yohana Hati di Desa Tokbesi tanggal 13 Agustus 2018 lalu, Kebetulan saya sudah mengadopsi sarung hasil tenunannya yang saya peroleh dari Ibu Yovita Meta Bastian tiga bulan yang lalu. Ketika saya temui, Ibu Yohana sedang menenun sebuah selendang tenun ikat di bawah rumah adat yang beratap ilalang. Di tengah kesahajaan rumahnya, perempuan ini dapat menenun wastra yang amat indah.
Menurut Ibu Yovita Meta Bastian, pendiri Yayasan Tafian Pah yang membina para penenun di desa-desa dua kecamatan Biboki, ada lebih dari 20 ragam motif buna di Biboki. Sebagian ada motif yang sudah punah atau tidak dibuat lagi. Ini juga diuraikan oleh Joanna Barrkman dalam tulisannya “She Comes with a Spindle in Her Hand: Biboki Textles” yang dimuat dalam buku Textiles of Timor – Island in the Woven Sea (Fowler Museum UCLA, 2014, dengan editor Roy W Hamilton dan Joanna Barrkman).
Di Kabupaten TTS terdapat lebih dari sepuluh desa penghasil wastra tenun dengan ragam motif yang khas. Antara lain wilayah Amanatun dan Amanuban yaitu Desa Bokong, Ayotupas, Sambet, Lilo, Nasi, Toianas, Nunkolo, Kolbano, Boti, hingga desa-desa di Kecamatan Mollo. Saya kebetulan memiliki hampir semua ragam motif wastra tenun TTS. Yang paling tradisional adalah wastra motif kelabang dengan teknik lompat lungsi atau sotis dari Desa Boti. Motif wastra Boti banyak dijiplak karena amat populer.
Buna buatan Desa Bokong dengan motif katak atau binatang air amat rapi dan padat. Sedang Mollo terkenal dengan wastra tenun naisa (tapestri bercelah), yang juga dibuat di wilayah Fatuleu di Kabupaten Kupang, yang bersebelahan dengan Mollo, sehingga tidak mustahil teknik naisa di kedua wilayah ini saling memengaruhi. Karena sempat populer, wastra naisa pun banyak dijiplak. Di Mollo lebih banyak selimut pria dan sarung perempuan memakai kombinasi naisa, sedang di Fatuleu naisa terutama dipakai untuk Aluk (tas pria) atau ujung sabuk pria (men tawa).
Di Kabupaten Kupang selain wilayah Fatuleu, ada wilayah Amarasi yang masih tergolong sederhana tenunannya, yaitu hanya futus (tenun ikat), serta wilayah Amfoang yang menggunakan kombinasi futus, sotis (lompat lungsi), dan buna.
Jadi di seluruh Timor Barat terdapat keragaman tenik tenun dan motif wastra yang amat beraneka. Setidaknya ada empat teknik tenun, yaitu tenun ikat lungsi (futus), lompat lungsi (sotis/lotis), pakan tambahan lilit (buna/talik) dan tapestri bercelah (naisa). Tak ada satu pun pulau lain di Indonesia yang memiliki keragaman teknik tenun wastra seperti Timor Barat.
Masih diperlukan kajian antropologis budaya dari mana saja munculnya pengaruh aneka teknik tenun ini. Begitu pula dengan aneka motif. Ada beberapa kepustakaan yang menyebutkan tentang pengaruh budaya Dongsong dari IndoChina dan Yunan di Tiongkok pada teknik dan sebagian motif wastra Timor, di antaranya pada motif-motif buna di Biboki, Timor Tengah Utara. Sedang di Kabupaten Malaka terlihat adanya pengaruh motif-motif Portugis.
Menurut amatan saya, potensi ekonomi kreatif wastra tenun Timor Barat amat besar. Istri Bupati Belu, Ibu Vivi Ng bulan Juli lalu membawa wastra buna Mandeu ke pameran internasional di Moskwa, Rusia dan dijadikan gaun yang diperagakan oleh peragawati Rusia. Yang memprihatinkan adalah masalah regenerasi penenun, karena para penenun yang aktif rata-rata telah berusia 50-60 tahun ke atas, seperti Angela Bui dan Yohana Hati yang saya temui di Malaka dan Biboki (TTU). Perempuan-perempuan muda Timor Barat banyak yang enggan menenun. Mereka banyak yang memilih menjadi TKI di luar negeri.
Selain itu ada masalah ketersediaan benang, baik pintal maupun benang buatan pabrik. Begitu pula dengan tanaman pewarna alami seperti Indigofera dan mengkudu. Penenun di Biboki kini banyak menggunakan benang sintetis dari rayon warna warni untuk membuat buna. Padahal jika mereka lebih telaten dan mau menggunakan benang kapas pintal yang diwarnai dengan pewarna alam, harga sarung tenunan mereka bisa dijual dengan harga jauh lebih tinggi.
Ini sudah dibuktikan oleh Yovita Meta Bastian yang memiliki Biboki Art Shop di kota Kefamenanu. Pesanan datang dari kolektor luar negeri untuk sarung-sarung Biboki dari benang kapas pintal yang diwarnai dengan warna alami baik untuk futus maupun buna-nya. Masalahnya, untuk menghasilkan selembar sarung dengan benang pintal dan warna alam dibutuhkan waktu lebih lama, bisa sampai satu tahun. Para penenun kerap ingin sarung buatan mereka cepat selesai dan segera bisa dijual.
Soal pemasaran wastra tenun Timor Barat juga tak kalah rumitnya. Penenun-penenun di desa-desa Timor Barat umumnya kurang memiliki akses untuk pemasaran karya mereka. Hal ini dikeluhkan oleh mama Aleta Baun, pejuang lingkungan dan tokoh yang membina para penenun di wilayah Mollo ketika saya temui di Jakarta tanggal 28 Agustus lalu.
Jarang ada penenun yang bisa langsung menjual kepada pemakai atau kolektor secara langsung. Akibatnya nasib mereka amat bergantung kepada perantara atau pedagang bermodal yang sering amat menekan harga jual mereka. Jarak yang jauh dan jalanan yang rusak dari desa-desa di Kabupaten TTU, TTS, Belu dan Malaka ke kota Kupang membuat transportasi menjadi mahal.
Betapa pun, Timor Barat bukan hanya Nusa Cendana yang gersang dan banyak kasus stunting (tumbuh kerdil) serta trafficking TKW, namun banyak menyimpan potensi ekonomi, wisata dan budaya. Di antaranya adalah keragaman dan estetika wastra tenunnya.
*Penulis adalah purnakarya wartawan Harian Kompas