Fase Ketiga Serbuan Xiaomi
Kehadiran submerek Pocophone by Xiaomi tidak hanya menambah keragaman ponsel pintar yang diluncurkan melalui merek Xiaomi di Indonesia, tetapi juga menjadi elemen penting strategi mereka dalam menguasai pasar ponsel Tanah Air. Setelah menancapkan akar ke segmen ponsel pemula ataupun menengah, tibalah saatnya mengangkat tangan ke atas, mengincar sang pemimpin pasar: Samsung.
Kesan tersebut sulit dilepaskan saat menghadiri acara peluncuran Pocophone F1 pada 27 Agustus. Ditawarkan dengan harga Rp 4,5 juta hingga Rp 5,2 juta, mereka menyodorkan ponsel pintar dengan spesifikasi kelas unggulan (flagship)—yang harganya bisa mencapai Rp 10 juta lebih—dengan harga relatif terjangkau.
Langsung teringat kesan pertama yang melekat pada merek Xiaomi saat perdana menyapa Indonesia: vulgar, menghebohkan, dan yang paling utama adalah merusak pasar. Kini, menghadirkan ponsel kelas flagship dengan harga yang lebih terjangkau jelas mengganggu dua segmen sekaligus, yakni menengah dan premium.
Kompensasi
Pocophone memilih untuk berjudi dengan mengorbankan beberapa hal demi memastikan harga jual semenarik mungkin. ”Itulah DNA produk yang memilih fokus untuk beberapa hal saja. Berbeda dengan Xiaomi yang menghadirkan ponsel pintar dengan aspek yang berimbang,” ujar Alvin Tse, Head of Poco Global.
Semua tidak lepas dari penggunaan sistem dalam cip (SoC) Snapdragon 845 yang menjadi produk andalan dari Qualcomm saat ini, RAM berkapasitas 6 gigabyte, serta baterai dengan spesifikasi 4.000 miliampere jam dipadu dengan teknologi pengisian kilat Quick Charge 3.0.
Performa itu akan disambut para konsumen yang tengah menggandrungi permainan untuk perangkat ini, seperti Player Unknown\'s Battlegrounds (PUBG), yang membutuhkan daya komputasi untuk menghasilkan gambar tiga dimensi dalam waktu lama. Kekhawatiran bahwa penggunaan ponsel secara intens dalam waktu lama akan menyebabkan panas sehingga performanya turun ditepis dengan teknologi pendinginan LiquidCool.
Kesan positif didapatkan dalam uji coba yang dilakukan Kompas selama beberapa hari. Pocophone F1 menjadi perangkat yang cukup andal untuk diajak bekerja keras, mulai dari menjalankan aplikasi seperti penyunting video, bergonta-ganti aplikasi dalam waktu cepat, hingga menjalankan gim yang memiliki grafis kompleks.
Tampak muka, Pocophone F1 mengikuti tren ponsel yang memiliki poni atau notch, tonjolan di bagian atas layar untuk meletakkan kamera depan dengan resolusi 20 megapiksel serta beberapa sensor. Sisanya, muka depan ponsel berupa permukaan layar sentuh dengan bentang layar 6,18 inci.
Bagian belakang berkata sebaliknya. Pemilihan bahan polikarbonat adalah satu penjelasan dari harga yang bisa disodorkan kepada konsumen dengan spesifikasi seperti itu. Apabila badan ponsel telungkup, tidak ada yang mencolok dari penampilannya. Harga lain yang harus dibayarkan adalah absennya fitur komunikasi dengan perangkat lain, yakni NFC (near field communication) yang kerap dipakai untuk pembayaran nirkontak.
Kecerdasan buatan yang ditanamkan pada kamera membuatnya cukup andal dalam mengenali situasi pengambilan gambar. Artinya, saat menyorot obyek seperti manusia atau binatang peliharaan, kamera akan mengeluarkan pengaturan yang paling ideal untuk itu. Sepasang lensa kamera dengan resolusi 12 megapiksel dan 5 megapiksel di punggung serta 20 megapiksel di depan memenuhi kebutuhan konsumen di Indonesia akan ponsel yang andal untuk mengambil foto ataupun swafoto.
Pocophone F1 bukan untuk semua orang. Mereka yang membutuhkan ponsel dengan desain premium atau kelengkapan fitur akan sulit menjadikan seri ini sebagai pilihan. Mereka yang gemar menjalankan gim dan memprioritaskan performa ketimbang penampilan akan melihat Pocophone F1 sebagai penawaran yang sulit ditolak.
Merangsek naik
Laporan dari International Data Corporation (IDC) pada kuartal II-2018, Xiaomi kini menduduki posisi kedua dalam hal pangsa pasar di Indonesia, mengekor ketat Samsung sebagai pemuncak. Jaraknya sangat tipis, yakni 2 persen saja, Samsung dengan 27 persen dan diikuti Xiaomi dengan 25 persen.
Yang lebih mencengangkan adalah data tahun lalu pada kuartal yang sama menunjukkan lonjakan drastis dari 3 persen. Samsung sebaliknya, yang semula cukup aman dengan 32 persen kini harus turun cukup signifikan. Tidak melulu oleh Xiaomi, pangsa pasar mereka juga digerus oleh pemain dari China lainnya, yakni Oppo dan Vivo.
Merek lokal pun terkena imbasnya, seperti dialami oleh Advan. Pangsa pasar mereka yang sebelumnya 9 persen kini turun menjadi 6 persen. Direktur Pemasaran Advan Indonesia Tjandra Lianto masih optimistis bahwa mereka bisa mencari celah dalam pasar yang kondisinya seperti ini.
Penjelasan yang muncul dari fenomena Xiaomi, menurut IDC, tidak lepas dari strategi menekan keuntungan demi memberikan produk yang mendekati rasio spesifikasi berbanding harga yang paling ideal bagi konsumen. Saat Oppo dan Vivo bermain di rentang harga Rp 3 juta hingga Rp 5 juta untuk menggerus pasar menengah, Xiaomi terus menggarap pasar lebih bawah dengan harga Rp 2 jutaan.
Ini adalah buah dari strategi bertahap yang diterapkan sejak datang ke Indonesia, yakni bermula sebagai perusahaan teknologi yang menjual produk secara daring. Perubahan mendasar dilakukan saat mereka mengubah strategi dengan memfokuskan diri pada ritel lewat pembukaan titik-titik penjualan untuk menutup kelemahan pada pasokan produk kepada masyarakat yang selama ini menjadi keluhan.
Dengan memastikan ritel dan penjualan secara daring, Xiaomi dengan leluasa meluncurkan ponsel yang harganya cukup mengganggu para kompetitor. Ambil contoh seri Redmi 6A yang diperkenalkan pada tanggal 4 September.
Dijual dengan harga Rp 1.250.000, Redmi 6A ditargetkan sebagai ponsel untuk kelas pemula yang akan menjadi standar di pasar Indonesia. Dengan nama Xiaomi, keberadaan seri ini akan mengganggu, bahkan untuk ponsel merek lokal yang selama ini nyaman bertahan di rentang harga Rp 1 jutaan.
Kompas berkesempatan untuk menjajal ponsel ini dan mendapatkan kesan yang cenderung positif. Spesifikasi yang didapatkan dari harga tersebut memang menghasilkan ponsel dengan spesifikasi sederhana, tetapi cukup untuk keperluan dasar dari ponsel pintar, seperti layanan percakapan dan media sosial.
Di kelas menengah, mereka punya serangkaian produk, seperti Redmi Note 5 atau Mi A1, dengan rentang harga Rp 2 juta-Rp 3 juta. Asosiasi di benak konsumen akan ponsel dengan performa apik, tetapi harga terjangkau, terus dijaga Xiaomi di Indonesia dalam dua tahun terakhir. Meski belum dibuktikan secara langsung korelasinya, seri flagship dari Xiaomi memang belum dihadirkan secara rutin.
Kini, Pocophone bisa melengkapi portofolio produk Xiaomi untuk menggerus kompetitor di kelas flagship. Mereka bisa menjaga harga jual dengan sangat kompetitif, salah satunya dengan memanfaatkan jaringan ritel dan produksi yang sudah dibangun Xiaomi.
”Kami tidak memiliki beban komersial, seperti investasi pada ritel dan layanan purnajual. Itu memberi kami kesempatan untuk fokus pada produk,” ujar Tse.
Belum setahun orang nomor satu di Xiaomi, yakni Lei Jun, datang ke Indonesia. Saat itu, dia menantang Xiaomi di Indonesia untuk bisa mengulang kesuksesan India dengan menggeser Samsung sebagai pemuncak pasar, pencapaian yang dilakukan empat tahun sejak mereka masuk pasar India tahun 2014.
Bedanya, kali ini Lei Jun ingin Indonesia melakukannya lebih cepat.
Dan, laporan IDC itu seharusnya menjadi peringatan bagi semua bahwa strategi agresif Xiaomi adalah ancaman yang harus diantisipasi segera. Tidak ada yang aman dari ancaman mereka.
Mengincar segala segmen demi pijakan menuju takhta penguasa pasar di Tanah Air, tinggal selangkah lagi Xiaomi akan mewujudkannya.