JAKARTA, KOMPAS — Harapan memiliki rumah layak huni lewat program Satu Juta Rumah masih terkendala harga hunian yang terus melambung melebihi daya beli masyarakat. Untuk itu, persoalan harga rumah yang naik lebih cepat dibandingkan dengan kemampuan membeli masyarakat perlu segera diatasi.
Direktur Utama Bank Tabungan Negara (BTN) Maryono, Sabtu (22/9/2018), di Jakarta mengklaim, kenaikan harga rumah belum sampai di titik yang bisa menghambat daya beli masyarakat. Kemudahan akses membeli rumah justru menjadi faktor utama penentu keberhasilan target satu juta rumah.
”Itu sebabnya, kami berusaha mempertemukan pengembang dan masyarakat. Masyarakat perlu mendapat informasi lengkap agar dapat memanfaatkan kemudahaan yang tersedia,” kata Maryono saat membuka Indonesia Properti Expo di Jakarta.
Pada acara yang berlangsung selama sembilan hari itu, masyarakat bisa menemukan ratusan stan yang menawarkan kredit rumah berbagai harga. Semua stan, mulai dari yang menawarkan KPR bersubsidi hingga apartemen serupa hotel bintang lima, berlomba menarik minat pengunjung.
Pengunjung yang datang rata-rata keluarga muda. Dengan membawa anak balita dalam gendongan atau kereta dorong, mereka menyusuri stan penawaran kredit rumah satu demi satu. Membaca harga dan proses pengajuan kredit di brosur dengan teliti, lalu tak lama kemudian pergi dengan menggerutu.
”Hampir semua (rumah) yang ditawarin harganya terlalu mahal buat kami,” kata Dodi (40). Bersama dengan istri dan satu anaknya, ia datang ke ajang pameran properti itu mencari rumah dengan harga sekitar Rp 500 juta di Jakarta.
”Penginnya, sih, jangan yang di luar Jakarta, soalnya saya kerja di Tanjung Priok,” ujar Dodi.
Ia merasa harga hunian di Jakarta melambung sangat cepat melampaui penghasilannya. ”Rumah di Jakarta memang udah enggak terbeli pegawai biasa,” ucap Dodi.
Saat pameran itu, harga rumah nonsubsidi di luar Jakarta mulai dari Rp 250 juta. Adapun rumah bersubsidi dihargai mulai dari Rp 135 juta dan dikhususkan bagi warga berpenghasilan Rp 3 juta-Rp 5 juta.
Cicilan berat
Rumah bersubsidi itu bisa dicicil dalam jangka waktu 10 tahun hingga 20 tahun, bergantung pada kemampuan finansial pembeli. Pembeli harus merogoh kantong setidaknya Rp 1,6 juta per bulan jika memilih jangka waktu 10 tahun atau Rp 950.000 jika memilih jangka waktu cicilan 20 tahun.
Namun, dengan upah minimum regional Jakarta yang berkisar Rp 3,3 juta, cicilan tersebut masih dirasa memberatkan. ”Biaya hidup di Jakarta mahal, belum lagi pengeluaran transportasi, iuran kesehatan, ataupun cicilan kendaraan,” ujar Dodi.
Selain Dodi, hal sama yang sama juga dikeluhkan Oksi (27). Ia datang ke pameran itu untuk mencari rumah di area Jakarta dengan harga berkisar Rp 370 juta. ”Enggak mau di luar Jakarta karena pasti macet banget kalau berangkat kerja,” kata Oksi.
Oksi juga baru menikah seperti Dodi. Ia ditemani suami dan membawa serta anaknya yang belum bisa berjalan. ”Saya enggak tahu, nih, apa besok anak saya bakal bisa punya rumah, saya aja sekarang enggak mampu beli,” ujar Oksi.
Kekhawatiran Dodi dan Oksi juga dirasakan warga yang tinggal di kota besar lainnya. Rumah yang harganya terjangkau sudah pasti jauh dari tempat kerja. Mereka harus rela bermukim di tempat yang jauh dari tempat kerja.
Kenaikan pendapatan pekerja pada kelompok milenial—mereka yang lahir setelah tahun 1980—yang paling membutuhkan rumah saat memasuki usia lebih mapan kalah cepat dibandingkan dengan kenaikan harga rumah. (PANDU WIYOGA)