Pemberontakan Warna
Terinspirasi oleh karya-karya lukisan Henri Matisse, Sebastian Gunawan dan Cristina Panarese mengeluarkan koleksi terbaru mereka. Koleksi yang memaparkan permainan warna dan eksplorasi bentuk. Keduanya sedikit keluar dari jalur aman dibanding biasanya.
Henri Matisse, pelukis Perancis yang hidup pada 1869-1954, dikenal sebagai pionir gerakan fauvisme bersama pelukis Andre Derain. Fauve artinya ’binatang liar’. Gerakan yang dimulai pada 1900-an ini mengungkap emosi dengan liar melalui pemilihan warna tegas tanpa memperhatikan warna alami subyek. Batang pohon yang berwarna merah atau biru, rumput berwarna ungu, atau kulit manusia yang berwarna hijau adalah contoh ekspresi fauves atau para pengikut fauvisme.
Oleh pelukis penganut fauvisme, pengamatan obyektif dan realistis seperti dalam lukisan naturalis digantikan oleh pemahaman imajinatif dan emosional. Penggunaan garis juga disederhanakan. Fauves menyerukan pemberontakan terhadap kemapanan seni lukis meskipun ilmu dari pelukis terdahulu tetap dipakai sebagai dasar dalam melukis. Fauvisme tidak bertahan lama dengan puncak popularitas pada 1904-1907.
”Sebenarnya kami tidak hanya terinspirasi oleh lukisan Matisse, tetapi lebih ke pola pikirnya. Pada zamannya, dia itu berani sekali karena menggambar dengan warna-warna yang tidak lazim. Misalnya, rumput yang biasanya hijau dibuat ungu, warna kulit manusia yang mestinya krem jadi biru pastel. Itu yang coba kami pahami,” kata Seba, panggilan akrab Sebastian.
Paduan warna-warna tidak lazim ini yang kemudian juga coba diaplikasikan Seba pada koleksi terbarunya yang bertajuk Cromia, seperti tampak dalam peragaan busana tunggal di Hotel Mulia, Jakarta, Jumat (21/9/2018). Cromia berasal dari kata chroma yang berarti ’(intensitas) warna’.
Dengan dekorasi runway seperti galeri lukisan yang keseluruhannya berwarna putih, para model hilir mudik dengan busananya yang berwarna-warni. Atasan berupa mantel berwarna salem dipadu dengan celana palazzo berwarna hijau tegas dengan tali pinggang berwarna biru. Simak pula mantel biru yang dipadu dengan celana hijau pupus dengan tali pinggang berwarna merah marun. Paduan lain, baju pendek dengan lengan menggembung yang dipadu dengan tunik hijau pupus mengilat, syal ungu, dan bot berwarna emas. Paduan warna yang jika dijabarkan secara lisan akan membuat alis mengernyit.
Konsep padu padan dengan cara menabrakkan hal-hal yang biasanya dianggap kurang lazim juga dilakukan pada eksplorasi bentuk lengan, kerah, dan leher, selain pada styling atau cara berbusana. Misalnya, tampilan feminin gaun dipadukan dengan ban pinggang besi berukuran besar seperti ban pinggang tinju. Ban pinggang ini diikatkan di pinggang dengan bantuan pita panjang yang disimpul di bagian depan atau belakang.
”Umumnya ban pinggang besi, kan, dipadu dengan bahan kulit atau denim, kali ini kami terapkan untuk pakaian-pakaian cantik yang memberi kesan lebih rocker dan avant garde,” kata Seba.
Minim payet
Jika biasanya koleksi label Sebastian Gunawan lebih didominasi oleh gaun-gaun terusan atau one piece dengan bentuk yang erat memeluk tubuh, kali ini banyak diwarnai oleh paduan dua atau tiga potong dalam satu panel tampilan. Potongan pun lebih banyak dibuat longgar (loose). Misalnya, sebuah terusan bercelana atau jumpsuit putih yang dibalut ban pinggang dipadu dengan tunik hitam tanpa sebelah lengan.
”Kalau biasanya banyak gaun one piece, sekarang lebih banyak atasan, celana, kemeja, dan jumpsuit agar kesannya lebih ringan. Pemakai juga bisa berkreasi untuk mix and match dengan koleksi dia lainnya. Couture bukan hanya gaun, melainkan juga, misalnya, atasan bisa dipadu dengan jins agar lebih fleksibel,” kata Cri, panggilan Cristina Panarese.
Payet-payet yang biasanya banyak diaplikasikan kali ini juga tidak terlalu banyak. Pemakaian payet masih terlihat untuk menegaskan dan memberi kesan mewah, misalnya pada bagian rok gaun yang dihias dengan motif cetak digital. Seba dan Cri membuat kolase lukisan-lukisan Henri Matisse dan menuangkannya melalui cetak digital ke beberapa busana, rata-rata pada bagian rok yang menjadi kanvas sempurna bagi kolase lukisan tersebut.
Manipulas bahan
Selain tabrak warna, dramatisasi lain juga terlihat pada bagian lengan, kerah, dan leher lewat permainan volume dan bahan. Lengan berukuran besar yang diberi kerut, dibelah, atau bagian kerah dan leher yang disusun dari tumpukan atau lapisan bahan demi bahan adalah contohnya.
Permainan volume tersebut divariasikan dengan berbagai pilihan bentuk. Misalnya, blus dengan leher sabrina yang berhias rempel (ruffle) dari bahan tipis dan transparan disusun berlapis dan bergelombang. Blus ini dipadukan dengan rok duyung yang menyapu lantai. Bagian tangannya dikerut di beberapa bagian.
Koleksi lainnya, atasan kemben yang dipadu dengan rok bervolume besar yang disebut rok layang-layang dengan motif garis-garis hijau dan hitam. Permainan ruffle yang disusun berlapis-lapis dalam berbagai volume dalam permainan gradasi warna banyak terlihat pada bagian akhir sesi peragaan busana.
Selain bahan tulle, brokat, brokat chantilly, damasque, jacquard, lame, mikado, dan tafeta, Seba dan Cri juga mengkreasikan bahan sendiri melalui berbagai teknik. Manipulasi bahan ini menghasilkan bahan ”baru” dengan tampilan seperti daun-daun atau sisik ikan. Misalnya, bahan plisket (pleats) yang dipotong-potong dan dibentuk menjadi kelopak daun. Bahan yang semula dua dimensi dapat dikreasikan menjadi tiga dimensi.
Dengan banyak variasi warna, bentuk, siluet, volume, hingga bahan, keseluruhan tampilan mengambil nuansa tahun 1950 dan 1960-an, selain pada awal-awal tahun 1900-an, di mana gerakan fauvisme mencuat.
Dengan koleksi baru ini, Seba menyadari respons dari pencinta busananya yang bisa jadi di luar harapan. Namun, ia menyadari tidak bisa memuaskan semua pihak. ”Tidak mungkin menyenangkan semua pelanggan. Namun, kami berharap ada juga yang dulunya tidak suka jadi suka dengan keluarnya koleksi baru ini. Kami harus peka dengan keinginan customer sekaligus menjaga eksistensi dengan mencoba bentuk dan eksperimen baru,” ungkap Seba.