Main Gim sambil Belajar
Banyak orangtua menghadapi anak yang kecanduan main gim. Masalah ini jadi serius karena permainan itu melekat langsung di tangan anak-anak melalui gawai. Anak-anak yang disebut generasi Z bahkan hampir identik dengan generasi yang sejak lahir telah terpapar kecanggihan teknologi informasi.
Generasi Z ini dengan mudah mempelajari dan menguasai penggunaan gawai dan mengakses dunia maya segera setelah mereka mulai mengenal huruf dan belajar membaca. Generasi Z adalah mereka yang terlahir pada tahun 1994 hingga 2012.
Banyak hal bisa dengan mudah diakses melalui teknologi informasi, yang kian lama kian canggih. Mulai dari berita atau segala bentuk informasi mutakhir hingga produk hiburan, seperti permainan (gim).
Berbagai bentuk kemudahan dan kuantitas informasi yang sangat masif itu juga bisa berdampak negatif, membuat orang tergantung pada gawai dan kecanduan. Anak-anak dan remaja termasuk kelompok usia yang sangat rentan mengalami kecanduan gim pada gawai.
Tak mengherankan jika sebagian orangtua lantas memilih untuk membatasi anak-anak mereka dalam mengakses gawai sampai pada usia tertentu. Golongan ini menganggap anak-anak dan remaja harus dibiasakan mandiri terlebih dahulu dalam mencari dan mendapatkan informasi, terutama dari sumber-sumber primer, seperti buku.
Sementara sebagian lainnya memilih untuk memberikan gawai dan mengizinkan anak-anak mereka mengakses gawai dalam batasan tertentu. Para orangtua ini menganggap adalah sesuatu yang nyaris mustahil saat ini untuk melarang anak terpapar kemajuan teknologi. Karena itu, pengawasan dan pengarahan kepada anak-anak dan remaja lebih penting agar mereka dapat menentukan sendiri mana yang baik dan cocok untuk kebutuhan pembelajaran mereka.
Pendapat kedua ini juga dianut oleh pengembang aplikasi permainan dan pembelajaran Matata Corporation. Awal pekan lalu, perusahaan ini meluncurkan aplikasi Bantu Belajar IPA 3 di Jakarta, Kamis (20/9/2018).
Direktur Utama sekaligus Co-founder Matata Corporation, Irna Rasad, mengklaim aplikasi hasil pengembangan mereka juga dapat mengakselerasi pemahaman dan proses belajar anak. Bahan ajar yang seharusnya dipelajari selama dua pekan diklaim bisa dipahami dalam dua jam melalui permainan dan pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab.
”Aplikasi ini kami buat untuk memudahkan anak memahami dan mempelajari subyek (pelajaran) lewat permainan yang menyenangkan. Namun, tetap anak harus mengacu pada buku pelajaran. Aplikasi games ini hanya bersifat membantu,” ujar Irna.
Dalam pemakaiannya, aplikasi Bantu Belajar IPA 3 juga membutuhkan kehadiran guru yang berperan memandu dan mengarahkan anak. Saat menggunakan aplikasi itu, anak diminta menjawab sejumlah soal terkait bahan pelajaran, dalam hal ini pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) untuk kelas III sekolah dasar (SD).
Setiap menyelesaikan soal dengan benar, anak akan memperoleh nilai. Nilai itu nantinya akan diakumulasikan di akhir permainan. Selain menjawab soal, skor juga bisa didapat dengan menyelesaikan simulasi permainan dalam bentuk pemecahan masalah (problem solving).
Salah satu contohnya, pada bab pertama, anak diminta menggerakkan seekor anak ayam animasi yang digambarkan harus berenang menuju induknya di seberang sungai. Untuk bisa bergerak dan tumbuh, si anak ayam harus bernapas. Anak ayam juga mesti mengonsumsi jagung-jagung yang muncul dan harus ditangkap oleh anak ayam itu.
Berkat oksigen dan makanan berbentuk bonggol jagung yang berhasil dikonsumsi, si anak ayam akan makin besar dan cukup kuat untuk mencapai daratan. Anak yang memainkan simulasi ini akan mendapatkan skor yang diakumulasikan di akhir permainan.
”Pada akhir permainan, anak akan mendapat hadiah berbentuk animasi peternakan dalam bentuk gambar augmented reality (AR) yang dapat mereka lihat lewat gawai masing-masing. Semakin banyak skor yang diperoleh, semakin ramai beragam hewan ternak yang akan muncul dan bisa mereka lihat,” ujar Irna.
Teknologi realitas tertambah (AR) itu merupakan realitas maya dalam bentuk gambar animasi, baik dua maupun tiga dimensi, yang dapat dilihat atau diproyeksikan dan direfleksikan ke dunia nyata melalui gawai yang digunakan. Salah satu contoh permainan berbasis AR yang pernah booming dan heboh beberapa waktu lalu adalah gim Pokemon Go.
”Untuk tahap awal, aplikasi ini baru dibuat untuk murid kelas III SD. Kenapa tidak dari kelas I atau II? Karena kami anggap di kelas III SD anak sudah siap memegang dan menggunakan gawai. Mereka sudah paham dan bisa diarahkan. Pendekatan permainan dalam mempelajari IPA seperti ini diharapkan bisa menjadi suatu kegiatan yang menyenangkan dan menarik,” lanjutnya.
Irna juga memastikan aplikasi permainan Bantu Belajar IPA 3 ini dibuat berdasarkan kurikulum nasional dan telah diujicobakan di dua sekolah dasar negeri dan swasta dengan melibatkan guru di setiap sekolah.
Riset dan proses persiapan serta pembuatan aplikasi Bantu Belajar IPA 3 telah dilakukan sejak 2015. Irna bercerita, ide awal Matata Corporation membuat aplikasi bantu belajar itu bermula dari keikutsertaan mereka pada sebuah pertemuan internasional yang melibatkan perusahaan-perusahaan kreator aplikasi berbasis teknologi informasi.
Atasi ketertinggalan
Sejumlah negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia, pun sudah lama menggunakan aplikasi teknologi seperti ini di sekolah. Matata Corporation tergerak untuk mengatasi ketertinggalan Indonesia dalam hal itu.
Sebelumnya, Matata Corporation sudah lebih dahulu sukses lewat aplikasi gim Eggward. Dalam waktu sebulan setelah diluncurkan, gim ini menduduki peringkat lima teratas aplikasi gim paling banyak diunduh di App Store, terutama di beberapa negara, seperti Singapura, Malaysia, Filipina, Thailand, Selandia Baru, Australia, Belanda, dan Belgia.
”Setelah pelajaran IPA kelas III, kami juga akan meluncurkan aplikasi serupa untuk kelas IV, V, dan VI sampai tahun 2019. Sementara untuk mata pelajaran lain, seperti Matematika dan IPS, masih dalam tahap riset,” ujar Irna.
Tari Sandjojo, psikolog dari Yayasan Matahati, menilai, aplikasi Bantu Belajar IPA 3 pada dasarnya memiliki pendekatan sama dengan gim. Lewat permainan, anak dapat termotivasi untuk menyelesaikan masalah.
Tari tak terlalu khawatir pendekatan aplikasi bantu ini bakal membuat anak enggan atau malas membaca buku. Selain prosesnya tetap akan melibatkan guru atau orangtua sebagai pembimbing, anak di setiap bab permainan juga diharuskan berdiskusi.
”Saat memainkan games ini, anak akan bisa melihat sendiri materi pelajaran yang divisualkan. Itu tentu memudahkan mereka memahami apa yang sebelumnya mereka baca. Jadi, intinya mereka tetap harus baca buku pelajarannya,” kata Tari.