Himpunan Wastraprema menggelar acara bincang-bincang bertema ”Menelaah Batik Pekalongan” dalam, pada Selasa (9/10/2018) di Omah Sekar Taji, Kemang, Jakarta Selatan. Diskusi untuk memperingati Hari Batik Nasional ini dibuat terbuka untuk umum, dengan menghadirkan narasumber Neneng Iskandar dari Wastraprema.
Menurut Neneng, batik Pekalongan yang termasuk dalam kategori batik pesisiran, memiliki warna jauh lebih beragam, apabila dibandingkan dengan batik-batik pesisir lainnya. Batik Pekalongan juga mudah dikenali karena umumnya memiliki latar berupa buketan atau bunga.
Pada zaman dahulu, selain diaplikasikan dalam bentuk busana, batik Pekalongan, menurut Neneng, juga diterapkan dalam bentuk lain berupa perlengkapan rumah tangga. Beberapa di antaranya berupa kain penutup pintu, kain penutup altar, hingga kain penutup meja atau runner. Ada juga kain untuk menggendong bayi dan selendang.
”Motif dan ukurannya berbeda-beda sesuai kebutuhan,” kata Neneng.
Motif-motif batik Pekalongan, umumnya dipengaruhi oleh motif China, Eropa, juga Arab. Belakangan muncul juga batik khas Rifaiyah yang memiliki motif-motif khusus.
Salah satu nama yang cukup dikenal dalam dunia perbatikan di Pekalongan adalah Liem Ping Wie. Namun, menurut Neneng, sebenarnya ada banyak sekali nama-nama pebatik Tionghoa yang menorehkan jejaknya di dunia batik Pekalongan, seperti Oey Soe Tjoen dan Oey Kok Sing. Begitu juga dengan pengaruh Eropa dan Arab yang cukup kental di Pekalongan.
Dalam perkembangannya, motif-motif batik Pekalongan juga mendapat pengaruh dari Jawa khususnya keraton. Dalam sebuah literatur tentang batik Pekalongan, misalnya, disebutkan bahwa seorang istri wedana di Pekalongan menolak memakai salah satu batik bila tidak ada unsur Jawa di dalamnya. Maka kemudian muncul batik Hokokai yang antara lain dipadukan dengan motif parang.
Meski zaman telah berganti, saat ini telah lahir generasi baru batik Pekalongan mampu melahirkan batik-batik motif baru dengan kualitas tak kalah bagus dengan generasi pendahulunya.
Generasi Baru
Beberapa nama yang kini mulai dikenal karena kualitas batiknya yang bagus adalah Huda, Cahyo, Dudung, Wahab, dan masih banyak lagi. Mereka membentuk sebuah komunitas yang bermuara pada pengembangan batik Pekalongan.
”Saya jelaskan kepada anak- anak muda itu, kamu boleh berinovasi, tetapi tetap pakem dijaga. Jadi, maksud saya bikin batik yang bener-bener batik, jangan yang print karena itu bukan batik, tetapi tekstil,” ujar Neneng.
Ia juga menambahkan, bahwa para pembatik muda juga tetap harus mengenal filosofi batik.
”Membuat batik harus dengan roso (rasa). Dengan begitu apa yang dia buat, kalau dipakai orang auranya akan timbul. Jadi jangan asal. Kalau motif burung ya harus paham anatomi burung, sehingga bentuknya juga profesional,” tambah Neneng.
Yang tidak boleh dilupakan, kata Neneng, adalah sejarah batik di Pekalongan yang tak lepas dari pengaruh China, Eropa, dan Arab. Dengan begitu, meski generasi pembatik telah berganti, batik Pekalongan tak akan kehilangan ciri khasnya. (DOE)