Mereka Merayakan Kesempatan Hidup yang Kedua...
Supriadi (33) tidak berhenti tersenyum setelah gugur di perempat final Asian Para Games 2018. Meskipun kalah, atlet bulu tangkis kursi roda ini terus bersyukur karena dirinya mendapatkan kesempatan kedua dalam hidupnya setelah kecelakaan pada 2006 yang hampir merenggut nyawanya.
”Bersyukur masih hidup setelah kecelakaan itu. Lebih bersyukur lagi karena masih bisa membela Indonesia di Asian Para Games,” kata Supriadi setelah kalah dari unggulan pertama asal Korea Selatan, Kim Jung-jun, 22-20, 8-21, 6-21, Kamis (11/10/2018), di Istora Senayan, Jakarta.
Supriadi tidak pernah berharap banyak setelah kecelakaan 12 tahun silam. Saat itu, dia yang sedang mengendarai motor tertabrak truk. Kaki kanannya terlindas ban truk. Saat itu juga, ia kehilangan kaki kanannya.
Karena kecelakaan itu, teman-teman dan tetangga di kampungnya di Boyolali, Jawa Tengah, sudah berkumpul untuk melayat. ”Waktu itu, saya kecelakaan jam satu siang. Jam tiga sorenya sudah ada yang mau melayat,” kenang Supriadi.
Seusai kejadian itu, Supriadi menjalani hidup dengan satu kaki. Meski begitu, ia bersyukur masih mendapat kesempatan kedua untuk menjalani kehidupan. Awalnya, dia menata kembali hidupnya di panti rehabilitasi penyandang disabilitas di Boyolali. Ia diajari menjahit dan memperbaiki barang elektronik.
”Setelah sekian lama menerima (permintaan) memperbaiki kulkas, saya akhirnya menemukan bulu tangkis Paralimpiade pada 2016. Saat itu, saya mulai menekuninya,” ujarnya.
Tidak punya modal, Supriadi pernah membuat kursi roda sendiri untuk berlatih. Dengan barang bekas yang dibeli senilai Rp 1 juta, ia menghasilkan sebuah kursi roda untuk berlatih ala kadarnya. Meski begitu, peluang Supriadi ke dunia bulu tangkis Paralimpiade semakin terbuka. Ia pun masuk seleksi Asian Para Games 2018 dan mengikuti pelatnas selama 10 bulan.
Meski kalah di Asian Para Games, mantan tukang las ini jadi pahlawan di Istora. Ribuan penonton terus meneriakkan dan memberikan tepuk tangan bagi Supriadi. Ia berhasil memenangi satu gim atas andalan pertama.
Kesempatan kedua untuk hidup juga dialami oleh Laura Dinda Aurelia (19), atlet renang Paralimpiade. Dahulu, Laura adalah seorang pelajar dan atlet umum yang sedang berjuang menjadi perenang nasional.
Namun, nasib tidak berpihak kepadanya. Sehari sebelum Pekan Olahraga Pelajar Daerah 2015, Laura terjatuh di kamar mandi dengan tulang belakang menghantam ke lantai. ”Setelah kejadian itu, aku masih biasa saja. Akan tetapi, setelah beberapa lama, aku baru merasakan sakit saat membungkuk,” ujar Laura.
Setelah menjalani serangkaian pemeriksaan medis, ternyata kaki Laura didiagnosis paraplegia atau kehilangan kontrol atas bagian tubuh. Ia sempat frustrasi dan merasa tak memiliki harapan hidup lagi.
”Sampai saat di titik terendah, aku sudah beberapa kali ingin bunuh diri. Karena aku masih memiliki mama yang selalu menemani, akhirnya niatku itu selalu batal,” kata Laura. Pada 2016, Laura menerima kondisi itu dan memutuskan kembali berenang. Kali ini, ia berkompetisi pada renang disabilitas. Debutnya berlangsung di Pekan Paralimpiade Nasional Jawa Barat 2016. Ia meraih medali perak saat itu.
Prestasi atlet kelahiran Pekanbaru itu terus menanjak. Di ASEAN Para Games 2017, ia membawa pulang dua emas. Pada Asian Para Games 2018, Laura kurang beruntung. Meski sempat ditargetkan meraih emas, ia tidak berhasil karena saat klasifikasi pindah dari S5 ke S6. Di kelas S5, atlet berenang tidak menggunakan kaki, sedangkan di S6 ada yang bisa menggunakan kaki.
Kendati demikian, Laura mendapat kebanggaan lebih karena menjadi pembawa bendera Merah Putih saat defile atlet di pembukaan Asian Para Games 2018. Kesempatan kedua itu diraih dan dimanfaatkan baik oleh Laura.
”Coba dulu aku memutuskan bunuh diri ataupun tidak mengalami kejadian itu, belum tentu bisa ada sampai di posisi ini sekarang, bisa membuat bangga Indonesia,” kata Laura.
Mukjizat
Muhammad Habib Shaleh (29) kehilangan keseimbangan saat memacu sepedanya di lintasan Velodrom Internasional Jakarta, Rawamangun. Habib yang memiliki keterbatasan koordinasi gerak dan keseimbangan tersungkur di lintasan.
Namun, insiden saat berlomba di disiplin trek nomor team sprint C1-5 putra itu tak seberapa dibandingkan dengan perjuangan hidup Habib. Ia pernah koma selama 28 hari pada akhir 2007 hingga awal 2008 karena perutnya tertendang kiper saat berlatih sepak bola di PPLP Jawa Tengah. Setelah siuman, striker muda itu kehilangan ingatan. Wajah yang pertama dia kenali adalah sosok ibundanya, Siti Istiqomah.
Habib seperti bayi lagi, belajar bicara dan berjalan. Bicaranya kini cadel, otot pipi tertarik, dan keseimbangan tubuh menurun drastis. Mimpinya jadi pemain sepak bola profesional hangus. Namun, ia menemukan dunia baru yang tak kalah menantang di olahraga Paralimpiade.
Dia pernah menjadi atlet sepak bola cerebral palsy, menekuni atletik, hingga meraih emas di Pekan Paralimpiade Nasional Jawa Barat 2016 di tim estafet 4 x 100 meter. Kini, di Asian Para Games 2018, dia berlomba di tim balap sepeda. Dia meraih perunggu di team sprint C1-5 putra. Semangat Habib tak pernah padam karena dirinya selalu bersyukur diberkahi kesempatan kedua oleh Tuhan setelah koma 28 hari.
”Itu mukjizat karena dokter memberikan pertimbangan untuk mencabut seluruh alat bantu hidup saya. Bapak dan ibu tidak mau. Mereka bilang, ’Nanti dulu, semoga ada mukjizat’. Doa mereka terkabul dan saya terbangun,” ujar Habib.
Saat di Peparnas 2016, Habib menegaskan, ”Saya sudah berdamai dengan kekurangan saya. Ini mukjizat, kesempatan hidup yang kedua. Saya ingin mengisinya dengan prestasi.”
Mukjizat yang sama dirasakan atlet menembak Paralimpiade Ahmad Ridwan (21). Dia pernah terkenal sebagai bocah ajaib di Blora, Jawa Tengah, karena selamat setelah tersengat listrik tegangan tinggi. Saat usianya 12 tahun, Ridwan terjatuh ke kabel listrik saat mencoba mengambil layang-layang yang tersangkut di pohon. Akibat sengatan listrik itu, kaki kanannya, dari paha ke bawah, hangus dan harus diamputasi.
Ridwan baru merasakan frustrasi saat pubertas di usia 16 tahun. Dia merasa berbeda dari kawan-kawannya sehingga tak pernah keluar rumah selama tiga bulan. Bahkan, di bulan keempat, ia tak lagi keluar kamar, malas makan, hingga tubuhnya ceking.
Ibunda Ridwan, Karni (41), tentu khawatir. Beragam upaya dilakukan, termasuk mengundang para ulama untuk silih berganti memotivasi Ridwan. Awalnya, kehadiran para ulama itu tidak mengubah kejiwaan Ridwan. Hingga suatu saat seorang ulama dari Demak, Jawa Tengah, menyadarkannya. ”Apa yang sudah terjadi biarlah berlalu. Sekarang, tatap masa depan. Lewat perkataan ulama itu, saya akhirnya tersadar dan mulai semangat lagi,” ujar Ridwan.
Ridwan kembali bersemangat. Namun, dalam hati kecilnya masih ada tanda tanya besar. Dalam lubuk hati kecilnya, ia tetap merasa tidak mempunyai masa depan cerah. ”Apalagi saya hanya lulusan SD Purwosari, Blora. Setelah insiden tahun 2009 itu, saya tidak lagi melanjutkan sekolah,” ujar Ridwan.
Jalan hidupnya berubah setelah bertemu dengan Saridi yang kelak menjadi pelatihnya di tim menembak Paralimpiade. Satu tahun delapan bulan dia dilatih Saridi. Dia menjadi atlet yang bisa keliling dunia mengikuti kejuaraan-kejuaraan internasional.
Kehidupannya pun menjadi lebih baik. Sebagai atlet baru di pelatnas, ia sudah mendapatkan honor sekitar Rp 7,5 juta per bulan. Dengan honor itu, ia bisa membantu ibunya di kampung yang berprofesi sebagai petani.
Menjadi atlet nasional benarbenar mengubah cara pandang Ridwan. Dia kini menemukan arah hidup. Ia bertekad terus melanjutkan karier sebagai atlet menembak. Ia pun punya mimpi ingin menjadi atlet top, minimal di skala Asia Tenggara. Ia ingin meraih medali, terutama medali emas, agar suatu hari nanti bisa mengibarkan bendera Merah Putih.
Dia pun berencana meneruskan sekolah dengan mengambil paket B (setara SMP) dan paket C (setara SMA). Ia pun mulai berpikir untuk berkeluarga.
”Menembak sungguh-sungguh mengubah hidup saya. Olahraga ini telah melatih saya untuk lebih tenang dan terus berpikir positif,” ujar si anak ajaib itu.
(Agung Setyahadi)