Tak banyak seniman di Indonesia yang sekaligus membuat buku cerita fantasi, patung koleksi, hingga papan mainan dalam waktu berbarengan. Sembari memperkenalkan kisah peperangan dalam buku Grumantra of Dalhalla, Morfosic Studios juga memamerkan keindahan patung-patung layak koleksi. Uniknya, patung-patung karakter dari buku Dalhalla ini kaya sentuhan etnik khas Indonesia.
Buku Grumantra of Dalhalla menjadi semacam pedoman lahirnya karakter-karakter fantasi. Buku ini mengisahkan tentang perang antara tiga ras, yaitu Yaksha, Ashura, dan Vanarra. Ras Yaksha digambarkan memiliki senjata-senjata yang bisa dijumpai di kisah pewayangan dengan gending-gending gamelannya. Konsep mahadhipa yang merupakan pemimpin ras ini diwujudkan dalam karakter yang seluruhnya membawa gamelan.
Narada dari Ras Yaksha membawa enam kendang yang melingkari tubuhnya. Karakter lain yang masih sedang dalam proses pembuatan sengaja dibuat membawa rebab, sedangkan karakter lainnya membawa bonang, gunungan wayang, hingga gong.
Karakter dari Ras Ashura lebih kaya sentuhan budaya Bali dengan menghadirkan penggambaran barong. Sementara Ras Vanarra dengan salah satu karakternya bernama Anggada tampil menyerupai karakter hanuman sembari membawa perisai Dayak, Kalimantan.
Meski konsepnya terasa sangat tradisional, Morfosic Studios mampu menyajikan karakter-karakter ini jauh lebih modern sehingga memikat anak muda. Perwajahan setiap karakter dibuat amat detail dengan emosi serta garis wajah kuat.
”Sentuhan Asia-nya kuat. Jepang punya budaya samurai yang diangkat jadi ninja lalu Naruto. Kami mau menunjukkan bahwa Indonesia juga bisa,” kata Alvin Theardy, Arty Director Morfosic Studios yang berlokasi di Bandung.
Edisi terbatas
Ditemui di ajang Popcon Asia di Indonesia Convention Center (ICE) Bumi Serpong Damai pada 22-23 September lalu, karakter-karakter dari buku Grumantra of Dalhalla ini segera menyedot perhatian. Di tengah maraknya karakter fantasi yang lebih berkiblat ke komik Amerika Serikat atau Jepang, karakter Dalhalla tampil bercita rasa Indonesia dengan kekayaan sentuhan lokal, tetapi tetap modern. ”Kita bikin wayang, tetapi bukan berarti jadi tokoh Arjuna. Pengin merepresentasikan Indonesia dalam dunia fantasi,” tambah Alvin.
Tak mengherankan jika kemudian patung-patung dari karakter yang benar-benar masih baru dan dalam tahap perkenalan ini segera saja menemukan pasarnya. Setiap karakter sengaja dibuat edisi terbatas sebanyak 100 buah yang dilengkapi dengan sertifikat. Patung karakter koleksi premiumnya dijual dengan harga mulai dari Rp 3,9 juta hingga Rp 5,4 juta. Peminatnya terutama para kolektor mainan yang memajang patung-patung ini sebagai penghias ruang.
Sebagai konseptor pembuatan patung karakter, Alvin mulai belajar otodidak membuat patung karakter dari sejak awal 2000-an. Selain fokus membuat patung-patung koleksi dari buku Grumantra of Dalhalla, Morfosic Studios juga menerima pesanan patung karakter lain yang seluruhnya terbuat dari bahan baku risin. Sejak 2010, mereka juga membuat miniatur untuk boardgame.
Mantra terkuat
Salah satu seniman patung di Morfosic Studios, Wahyu Hidayat, menyebut proses awal pembuatan karakter dari risin ini membutuhkan waktu yang cukup panjang. Untuk setiap karakter baru, dibutuhkan waktu sekitar delapan bulan dari proses pembuatan rangka kawat untuk cetakan clay (bahan lunak) hingga proses akhir melukis patung dengan tangan.
”Semuanya secara manual dan sangat tergantung mood. Kalau cetak ulang karakter, prosesnya cukup dua pekan,” tambah Wahyu.
Untuk konsep buku Grumantra of Dalhalla yang bermakna mantra terkuat di dunia Dalhalla, Morfosic Studios sudah mulai membuatnya dari sejak 2007. Saat ini, buku setebal 120 halaman berbahasa Inggris yang dilengkapi kekayaan gambar animasi itu bisa dibeli secara daring lewat Instagram. Buku Grumantra of Dalhalla akan menjadi buku pertama dari seri tiga buku dunia Dalhalla.
Buku Grumantra of Dalhalla, menurut penulisnya, Rama Indra, bercerita tentang dunia Dalhalla. Buku itu mendongeng tentang kisah setiap ras, struktur sosial, tata kota, hingga karakter pemimpinnya. Buku selanjutnya akan lebih menyoroti para adhipa atau jenderal perang dari setiap ras.
Bahasa yang digunakan dalam buku itu lebih banyak terinspirasi bahasa sansekerta. ”Secara visual, kami ambil banyak dari motif lokal Asia. Karena wayang tak hanya milik Indonesia, tetapi juga dipengaruh India dan ditemukan di beberapa negara lain di Asia Tenggara,” ujar Rama
Ke depan, para seniman di Morfosic Studios bermimpi mengembangkan buku ini tak sebatas hanya pada patung koleksi dan miniatur papan mainan, melainkan juga mengangkatnya menjadi sebuah dunia baru dalam industri perfilman. ”Tapi untuk dibuat film animasi, budget terlalu mahal. Industrinya belum bagus. Kita pengin gedein ceritanya lewat buku dulu baru yang lain menyusul,” kata Alvin.
Jika pasar patung koleksi di negara lain seperti Selandia Baru, misalnya, sudah sangat menjanjikan—terutama dengan hadirnya buku dan film The Lord of The Rings, langkah yang diambil Morfosic Studios memang masih dalam tahap rintisan. Namun, mimpi besar mereka selangkah demi selangkah dihidupi dengan kreativitas tiada henti. Dan, mereka berpijak pada kecintaan pada budaya negeri sendiri.