Belajar Keindonesiaan dari Giri Wijaya
Di bayang Gunung Salak, Gunung Pangrango, dan Gunung Geulis berdiri Giri Wijaya. Giri Wijaya berarti gunung (milik) Wijaya Karya. Giri Wijaya merupakan jantung dari Wikasatrian, pusat pelatihan kepemimpinan yang awalnya untuk mendidik pegawai BUMN karya, Wijaya Karya.
Dilihat dari sisi barat, Giri Wijaya sungguh merefleksikan bentuk gunung. Wujudnya semakin tegas terlihat karena di hadapan Giri Wijaya sengaja dihamparkan lapangan hijau.
Berada di lahan seluas 10 hektar di ketinggian 570 meter di atas permukaan laut, Wikasatrian dapat dijangkau hanya satu jam dari perempatan Cawang, Jakarta. Tepatnya di Desa Pasir Angin, Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Persepsi orang terhadap wujud Giri Wijaya pun dapat berubah seiring lokasi berdiri. Dari sisi utara, misalnya, ”tubuh” Giri Wijaya justru berbentuk kapal.
Terdapat tujuh dek atau sirip yang melambangkan tujuh layar pada pinisi. Selain ingin memasukkan unsur gunung, ternyata Giri Wijaya juga ingin mengingatkan jati diri bangsa sebagai bangsa maritim.
Kemudian, tapak Giri Wijaya yang dirancang arsitek Yu Sing dari Studio Akanoma ini terinspirasi dari tokoh Semar. Bentuk raga Semar yang asimetris itu memang kerap dianggap sebagai perwujudan akan jagat semesta yang esa.
Tapak Giri Wijaya terinspirasi dari tokoh Semar.
Semar pun dipilih karena merupakan sosok punakawan yang berwatak sederhana, rendah hati, bijaksana, dan matang. Semar juga tidak pernah menonjolkan diri sebagai pemimpin, tetapi selalu dihormati dan disegani sebagai pamong utama.
Beberapa ruangan mengisi Giri Wijaya, di antaranya ruangan Giri Budaya, auditorium Giri Sasana, dan Giri Pustaka yang berisi koleksi buku pendidikan budaya dan sejarah bangsa.
Uniknya, ruang pertemuan Giri Budaya tidak dilengkapi satu pun kursi. Pertemuan dilakukan dengan bersila, duduk di lantai bersama-sama. Dengan duduk sama rendah, dengan lebih guyub, demikianlah dulu pertemuan demi pertemuan digelar leluhur kita.
Adapun auditorium Giri Sasana didesain dengan berbagai simbol. Ketika memasuki ruangan, sepasang pintu kayu suar langsung menyambut.
Permukaan kayu dibiarkan kasar, tidak diamplas dan didempul, sebagai gambaran perjalanan hidup manusia yang tidak selalu mulus.
Didesain menyerupai amphitheater, kursi di Giri Sasana disusun bertingkat lima sebagai lambang dari Pancasila. Total jumlah kursi mencapai 90 buah yang terinspirasi dari Wali Songo.
Panggung Giri Sasana dihadapkan pada Gunung Salak. Namun, pandangan dari ”tamu” justru sengaja ”digeser” lima derajat. ”Kemewahan” pemandangan itu sedikit diganggu. ”Untuk mengingatkan bahwa manusia tidak ada yang sempurna,” ujar Tonny Warsono, pamong utama Wikasatrian, Rabu (10/10/2018).
Mendiskusikan arsitektur Giri Wijaya dengan Tonny Warsono akhirnya seolah membicarakan Indonesia. Mengapa berwujud gunung? ”Kita ini hidup di kawasan Pacific Ring of Fire. Gunung itu, ya, juga Indonesia,” ujar Tonny.
Material Indonesia
Tonny menambahkan, telah terlalu sering orang Indonesia membangun properti yang terinspirasi dari luar negeri. Seolah tak ingin menjilat ludah sendiri, material Giri Wijaya diambil dari bumi Indonesia. Tidak ada marmer dari Italia, misalnya, sebaliknya lantai menggunakan batu basalto hitam dari Padalarang. Batu paras Yogya pun melapisi dinding bangunan.
Mengapa tapaknya didesain Semar, misalnya? ”Mengapa tidak? Jangan lupa, Semar dan wayang telah pula diakui UNESCO sebagai warisan mahakarya dunia,” ujar Tonny yang pernah 11 tahun menjadi Direktur Sumber Daya Manusia dan Pengembangan Wika.
Mendiskusikan Giri Wijaya akhirnya memang tidak cukup hanya dengan secangkir kopi. Kebetulan, Giri Boga, salah satu bangunan di dalam kompleks Wikasatrian, juga menyimpan berbagai kopi asli Indonesia. Kopi dari luar negeri, tak mendapat tempat.
”Roh” Indonesia juga sungguh ditiupkan untuk menghidupi Giri Wijaya dan aktivitas di Wikasatrian yang mulai digunakan pada 11 Maret 2013.
Peserta kegiatan di Giri Wijaya, misalnya, selalu ditawari penganan tradisional. Bahkan, teh yang disajikan ”diimpor” dari Solo, yakni teh Nyapu dan Sintren, lengkap dengan rasa sepetnya. Rasa sepet ini juga untuk mengingatkan betapa kehidupan ini terdiri dari berbagai rasa.
Wewangian di Wikasatrian tidak digantungkan pada produk industri, tetapi dihadirkan dari alam sekelilingnya. Cacahan daun pandan dan bunga yang dipetik dari taman sungguh menyegarkan udara.
Ketika peserta pelatihan Wikasatrian memainkan gamelan yang disimpan di Giri Budaya, sebagai bagian dari pelatihan kepemimpinan, lengkaplah pengalaman dalam mencecap Giri Wijaya. Seluruh indera seolah dimanjakan saat berkegiatan di Giri Wijaya.
Seluruh indera seolah dimanjakan saat berkegiatan di Giri Wijaya.
Dukungan alam
Giri Wijaya juga tidak dibiarkan berdiri sendiri untuk melatih calon-calon pemimpin Wika dan beberapa perusahaan yang kemudian memanfaatkan fasilitas Wikasatrian. Namun, hutan dan alam ”dimurnikan” untuk mendukung Wikasatrian.
”Setiap kali ke Wikasatrian, terasa betul hutan semakin lebat,” ujar Yuliana Triwijayanti, pegawai Good Corporate Governance Wika.
Hutan di Wikasatrian, dalam lima tahun terakhir, terus dimurnikan. Dihijaukan tidak dengan ditanami secara serampangan, tetapi dengan memperhatikan kehidupan tanaman endemis lokal.
Tadinya, Wikasatrian memasukkan berbagai jenis anggrek dari seluruh Nusantara, tetapi akhirnya direlokasi demi mempertahankan kemurnian hutan setempat.
Hasilnya positif. Hutan semakin lebat. Elang jawa kembali singgah di Desa Pasir Angin, burung raja udang terus berkembang biak di bebatuan di sela-sela tanaman suplir yang endemik asli Desa Pasir Angin. Kehidupan pun dimurnikan di Wikasatrian.
Tonny pun melarang intervensi apa pun terhadap hutan Wikasatrian. Tidak ada satu pun pohon yang boleh ditebang, bahkan sehelai daun pun yang gugur tidak boleh disapu. Hutan itu pun memasok oksigen berkelimpahan bagi Wikasatrian dan para ”satria” yang ditempa di Giri Wijaya.
Bahkan, sehelai daun pun yang gugur tidak boleh disapu.
Peserta pelatihan kepemimpinan di Wikasatrian juga diminta bermalam di kemah. Tujuannya supaya kelak cakap dalam memimpin dengan berpegang pada tiga fondasi utama khas Indonesia, yakni ketuhanan, kemanusiaan, dan alam.
Pelatihan kepemimpinan dengan tiga fondasi yang berbasis kearifan Nusantara itu, selain fasilitas dari Giri Wijaya, telah menarik perusahaan lain untuk menimba ilmu di Wikasatrian, antara lain BNI, Airnav, BCA, Kementerian Keuangan, serta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Dari Giri Wijaya pada akhirnya kita belajar bahwa sebuah properti berkualitas dapat semakin berkualitas lagi ketika ada roh yang menghidupi bangunan tersebut. Giri Wijaya juga makin mengilap ketika alam di sekeliling kawasan Wikasatrian memberinya dukungan.
Dari Giri Wijaya kita juga belajar tentang keindonesiaan.