Bebenah Mengubah Hidup
Merapikan barang alias bebenah bukan cuma membuat rumah, kantor, atau lingkungan sekitar menjadi rapi. Aktivitas ini bahkan dipercaya bisa membuat pelakunya seakan terlahir kembali. Namun, urusan bebenah ini juga butuh komitmen tinggi.
Sekitar 10 orang sejak pagi sudah duduk menghadap layar yang menayangkan tentang bebenah, mulai dari filosofi hingga teknik beres-beres, dalam lokakarya ”The Art of Cluttering and Organizing”. Pada Minggu pagi itu, mereka tekun menyimak penjelasan Aang Hudaya, salah satu pendiri Komunitas Gemar Rapi, yang menyelenggarakan lokakarya ini bekerja sama, antara lain, dengan Project Semesta.
Komunitas yang dirintis sejak setahun lalu ini berawal dari pengalaman beres-beres Aang Hudaya dan istri, Khoirun Nikmah. Keduanya merasakan betul dampak dari bebenah rumah yang mengubah hidup mereka menjadi lebih simpel dan membahagiakan. Keduanya beres-beres menggunakan metode beres-beres KonMari yang dikembangkan Marie Kondo, perempuan asal Jepang. Nikmah bahkan menulis buku KonMari Mengubah Hidupku.
”Saya baca bukunya Marie Kondo, praktik, bahkan ikut kelas online-nya. Setelah itu saya sharing lewat media sosial,” kata Nikmah.
Mendapat respons positif, ia kebanjiran peminat yang ingin ikut belajar beres-beres lewat grup Facebook KonMari Indonesia. Nikmah kemudian membentuk grup-grup Whatsapp untuk menampung mereka yang tertarik belajar lebih privat.
Hingga kini, ada 1.500 orang yang pernah bergabung. Semula gratis, grup ini kemudian menetapkan biaya terjangkau untuk keanggotaan setahun agar anggota terdorong untuk praktik. Kini, selain Facebook, informasi tentang teknik beres-beres juga diunggah lewat akun Instagram. Nama Komunitas KonMari Indonesia lalu diganti menjadi Komunitas Gemar Rapi.
Selain Aang dan Nikmah, komunitas ini juga diampu beberapa rekan keduanya yang kemudian menjadi tim inti, seperti Wanginingastuti Mutmainnah dan Bambang Achmadi, yang juga pasangan suami istri, serta Putriana Indah Lestari.
”Kami, sih, belum sukses-sukses amat beberes. Justru kami bergabung karena ingin terus belajar. Mungkin karena rumah masih mengontrak,” kata Wangi, panggilan Wanginingastuti, di sela-sela acara di Kantorkuu Citywalk, Jakarta Pusat.
Wangi, Bambang, dan Nikmah dulu teman satu kampus di Surabaya. Wangi dan Bambang pernah kuliah di Jepang. Ketika hendak kembali ke Tanah Air, mereka dihadapkan pada begitu banyaknya barang yang tidak mungkin semuanya dibawa.
”Kebiasaan di Jepang, selesai sewa, kita juga harus mengembalikan kondisi rumah seperti sedia kala saat masuk. Jadi, tidak boleh ada satu barang pun tertinggal dan harus bersih seperti saat masuk,” ucap Bambang.
Padahal, saat itu keduanya punya banyak barang yang dibeli di Jepang dan sayang untuk dibuang. ”Terjebak nostalgia” menjadi kendala keduanya memilih barang. Wangi sempat mengunggah masalah ini di akun media sosialnya. Nikmah yang membaca unggahan ini lalu menyarankan Wangi mempelajari KonMari.
”Akhirnya waktu itu kami dibantu 15 orang untuk beres-beres. Enggak selesai juga. Sampai enggak sempat tidur sehari sebelum pulang. Bahkan, sampai mendekati waktu ke bandara, masih beres-beres juga. Sampai teman-teman harus mendorong kami untuk segera berangkat,” kata Bambang.
Kembali ke Tanah Air, mereka terdorong mempelajari lagi cara beres-beres. Beruntung beberapa kebiasaan di Jepang yang dipelajari mendukung usaha ini, seperti cara melipat dan menata baju di lemari.
”Bebenah itu butuh perubahan mindset, misalnya dalam memandang barang. Apakah benar-benar masih kita pakai atau lebih bermanfaat jika berada di rumah orang lain sehingga kita tidak sayang memberikannya. Kami jadi benar-benar menimbang sebelum beli barang,” kata Wangi.
Bukan dibuang
Komunitas ini memang menyarankan mengurangi kepemilikan barang, bukan dengan cara dibuang, melainkan diberikan kepada orang lain agar tetap berguna dan tidak sekadar jadi sampah. Pemberian barang juga hendaknya dilakukan sendiri agar bisa melihat ekspresi bahagia penerimanya.
”Benda-benda ini, kan, pernah berjasa dalam hidup kita. Namun, suatu hari mungkin dia akan lebih bahagia di rumah orang lain yang membutuhkannya daripada cuma teronggok di lemari kita,” kata Aang kepada peserta lokakarya saat itu.
Salah satu peserta, Imelda, menuturkan, dirinya tertarik belajar beres-beres karena ingin membiasakan diri dan keluarga hidup rapi. Selepas lokakarya, ia sudah berhasil mengurangi pakaiannya hingga tiga karung. ”Enjoy, sih, enggak pelihara sampah lagi,” kata Imelda.
Komunitas Gemar Rapi mengusung semboyan ”menata diri, menata negeri”. Membenahi ke arah yang lebih baik, idealnya dimulai dari diri sendiri, meluas ke rumah, lingkungan sekitar, dan masyarakat. ”Banyak yang ingin jadi agen perubahan. Namun, mulainya dari mana? Bagi saya, kita bisa mulai dari membenahi diri sendiri, rumah, lanjut ke masyarakat luas,” kata Nikmah.
Saat lokakarya, peserta belajar filosofi perlunya beres-beres. Proses itu dimulai dari membenahi kelompok pakaian, buku, kertas dan dokumen, item nostalgia, hingga komono atau barang selain kelompok sebelumnya.
”Beres-beres bisa dilakukan setiap akhir pekan, sehari maksimal lima jam. Paling lama enam bulan agar tidak membuat malas. Semua anggota keluarga juga perlu dilibatkan merapikan barang masing-masing,” kata Aang.
Memilah barang bisa dimulai dengan kategorisasi dalam benda yang masih digunakan, yang punya nilai kenangan, yang akan diberikan ke orang lain, dan yang akan didaur ulang. Peserta juga diajarkan prinsip menata pakaian, buku, dokumen, komono, dan seterusnya. Setelah acara, peserta diundang bergabung dalam grup Whatsapp atau Telegram sebagai anggota komunitas.
Komunitas ini berganti nama dari Komunitas KonMari Indonesia menjadi Komunitas Gemar Rapi dengan menambahkan metode lain selain KonMari, yakni 5R (ringkas, rapi, resik, rawat, rajin) dan K3 (keamanan, kesehatan, dan keselamatan) yang diadopsi dari tradisi industri dan prinsip zero-waste sesuai latar belakang keilmuan setiap anggota inti tim komunitas.
Selain bertemu langsung lewat seminar dan lokakarya, komunitas ini juga membimbing anggotanya via grup Whatsapp atau kunjungan ke rumah berbiaya yang digunakan untuk menghidupi kegiatan komunitas.
Aang yang paling sering mengajar langsung, sudah diundang ke sejumlah daerah. ”Beberes itu bisa memengaruhi kondisi finansial kita. Sering kita beli barang berulang kali karena lupa punya barang itu akibat menaruhnya sembarangan. Belum lagi gaya hidup membeli berlebihan. Dengan gaya hidup rapi, kita bisa menata neraca keuangan kita,” kata Aang.