Ikatan Cantik Shibori
Dikenal sejak abad ke-7 di Jepang, teknik menghias kain shibori kemudian menyebar ke seluruh dunia. Diduga, teknik ini justru berasal dari India dan tiba di ”Negeri Matahari Terbit” itu melalui jalur sutra.
Memperingati 60 tahun hubungan diplomatik Jepang-Indonesia, digelar Pameran Shibori Indonesia-Jepang. Pameran ini menampilkan karya-karya shibori yang merupakan koleksi Museum Shibori Kyoto. Pameran itu digelar pada awal September lalu di Plaza Senayan dan Jakarta Convention Center. Sempat pula digelar lokakarya dan konferensi di Museum Tekstil Jakarta.
Di Plaza Senayan, sejumlah karya terbaik dipamerkan. Misalnya, karya berukuran panjang 6,5 meter dan tinggi 3 meter yang diberi judul Spring: Night Cherry Blossom in full Bloom. Karya yang terdiri atas beberapa potong panel shibori ini bak lukisan yang bercerita tentang ekspresi tiga jenis bunga sakura (cherry blossom) yang tengah menangis.
Setidaknya tiga teknik digunakan pada kain itu, yakni yang disebut dengan ko-boushi dan kasamaki shibori serta gabungan teknik keduanya, kasa-boushi, yang digunakan untuk membuat ratusan kelopak bunga sakura.
”Ada puluhan teknik shibori yang dikenal di Jepang,” kata Masakatsu Tozu, Ketua pameran The Japang-Indonesia Shibori Exhibition, yang juga Direktur Asia Textile Culture Institute.
Lukisan ini dihiasi gambar bola api yang lidahnya memanjang. Menurut Tozu, pada zaman dulu, sebelum masuk listrik, orang- orang yang ingin menikmati suasana malam di hutan memanfaatkan nyala api yang dalam lukisan shibori ini diberi warna oranye dengan tambahan sorot cahaya bulan.
Lukisan ini dibuat oleh 50 orang selama dua tahun. Setiap hari, mereka membuat ribuan ikatan. Shibori adalah teknik ikat celup untuk menghias kain. Kain diikat dengan berbagai teknik lalu dicelup ke dalam pewarna. Bagian yang diikat nantinya tidak akan terkena zat warna sehingga memunculkan motif.
Tekstur
Lukisan shibori berukuran besar lainnya yang juga sempat dipamerkan adalah Autumn: Light up Autumn Leaves. Berbahan sutra, tepatnya tango crepe, lukisan berukuran panjang 6 meter dan tinggi 2,5 meter ini memperlihatkan suasana musim gugur dengan pohon-pohon shirakaba (birch perak) yang terlihat dari kejauhan. Lukisan terbagi dalam enam panel yang membentuk gambaran utuh ketika disandingkan.
Lukisan lainnya menampakkan suasana Borobudur kala senja. Berbagai lukisan berukuran lebih kecil juga dipamerkan. Tidak hanya memperlihatkan permainan warna dan motif yang sangat kaya, karya-karya shibori ini juga menampilkan berbagai tekstur dari hasil ikatan. Tekstur yang membentuk karya menjadi tiga dimensi ini membuat karya itu semakin indah dan memikat untuk dipandangi berlama-lama. Karya-karya ini menawarkan detail, hasil kejelian, ketelitian, dan ketekunan dalam bekerja.
Selain dalam bentuk lukisan, shibori juga ditampilkan dalam bentuk kimono serta baju bernuansa etnik yang digarap oleh desainer Indonesia, Wignyo Rahadi. Baju-baju ini menggunakan wastra Indonesia yang dipadu dengan shibori.
Panitia juga menyediakan shibori yang bisa dibeli dalam bentuk baju, dompet, potongan kain shibori, kalung, dompet, dan lainnya. Pameran yang berlangsung di atrium ini menampilkan karya-karya shibori dari Jepang.
Ikat celup
Digelar pula bazar, menampilkan ”shibori” yang dibuat para perajin Indonesia. Di Tanah Air, teknik serupa yang juga dikenal di sejumlah daerah ini memiliki nama sendiri-sendiri. Misalnya, jumputan dan sasirangan. Teknik ikat celup (tie dye) itu dikenal antara lain di Yogyakarta, Solo, Banjarmasin, Palembang, dan Toraja.
”Ini menunjukkan bahwa Jepang dan Indonesia memiliki basis budaya yang hampir sama,” tambah Tozu yang juga Ketua Japan-Indonesia Custom Culture Association.
Di matanya, shibori Indonesia memiliki kekhasan tersendiri dan dekat dengan pemakainya karena harganya yang lebih terjangkau. Di Jepang, karya shibori harganya tergolong mahal. Sebuah kimono yang penuh shibori bisa dihargai hingga lebih dari Rp 1 miliar. Meskipun demikian, karena kualitasnya, kimono ini bisa awet hingga 50 tahun lebih.
”Di Jepang, shibori itu teknik perintang warna yang paling tua. Kalau di sini, mungkin batik. Dulu, orang tua di Jepang punya tradisi memberikan kimono shibori kepada anak perempuannya yang mulai dewasa. Anak-anak sekarang tidak mau lagi diberi kimono karena tidak lagi memakainya. Sebagai gantinya, mereka minta dibelikan mobil atau jalan-jalan ke Paris,” ungkap Tozu.
Meski dikenal kuat dan lekat dengan tradisi shibori, rupanya sudah tidak banyak lagi yang mengerjakan shibori di Jepang. Kebanyakan hanya tinggal orang- orang tua. Menurut Direktur Museum Shibori Kyoto, Kenji Yoshioka, kerajinan shibori kini hanya ditemukan di Nagoya dan Kyoto. ”Sudah tidak banyak lagi yang mau mengerjakan shibori,” ungkap Yoshioka.
Pihaknya sengaja membawa shibori yang indah-indah agar masyarakat bisa menikmati shibori berkualitas tinggi. Ia merasa senang melihat perkembangan shibori di Indonesia. Di sini, lebih banyak ditemukan perajin yang mau mengerjakan shibori.
Tozu menimpali, dalam hal ini Jepang dan Indonesia bisa bekerja sama. Indonesia dapat mengekspor shibori ke Jepang karena di sini lebih banyak tersedia sumber daya manusia pembuatnya. ”Di Jepang, tidak ada tukangnya. Kalau tekniknya kami pindah ke Indonesia, Indonesia bisa bikin sendiri dan ekspor ke Jepang,” kata Tozu.
Sebelum ini, pernah digelar pameran shibori serupa pada 2013 hasil kerja sama Museum Shibori Kyoto dan Museum Tekstil Jakarta yang merupakan sister museum. Ketika itu, banyak desainer tekstil dan perajin shibori dari Indonesia berpartisipasi dalam pengajaran dan lokakarya shibori yang digelar sebagai rangkaian pameran. Kerja sama juga sempat dijalin oleh Museum Shibori Kyoto dan Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo berupa kuliah bagi para mahasiswa, selain pertukaran karya shibori antarkedua pihak.
”Kombinasi teknik dan desain antara kedua negara diharapkan dapat menghasilkan dampak besar di kemudian hari,” kata Yoshioka.