Melirik Pustaka Herba di Kawasan Kota Tua
Manis, gurih, dan nikmat. Rasanya ingin terus meneguk saranti. Terlebih apabila ditambah es batu agar dapat menghilangkan dahaga selepas berjalan di bawah teriknya matahari. Tak pernah terbayang, kini jamu dapat disuguhkan untuk memanjakan lidah.
Campuran beras, kencur, susu, krimer, dan gula yang dimikser berhasil memberi kesan baru tentang jamu. Inilah saranti, salah satu cara baru yang ditawarkan kafe Acaraki untuk menikmati jamu. Tanpa khawatir ada rasa pahit yang menanti di tegukan akhir.
Memasuki kawasan Kota Tua di Jakarta, kafe Acaraki terletak terpencil di lorong Gedung Kertaniaga. Bukan tanpa alasan, Manajer Kafe Acaraki Johan Sihombing menyampaikan, seperti hidden gems, begitu pula rempah-rempah tersembunyi di kawasan bersejarah.
Mendatangi kafe Acaraki pada Selasa (9/10/2018) pekan lalu seperti berkunjung ke kafe kopi pada umumnya. Dari luar hanya terdapat siluet wayang memegang mangkuk dan alat penumbuk.
Ketika masuk ke dalam, tetap tak tampak jamu. Malah penggiling biji kopi, alat seduh atau V60, french press, dan rok presso yang berjejer rapi di meja bar. Namun, ketika dilihat lebih jauh, akhirnya tabung-tabung berisi beras, kencur, kunyit, dan asam menyadarkan bahwa ini kafe jamu.
Kafe memang identik dikenal sebagai tempat minum kopi. Memang tidak dimungkiri, kafe kopi saat ini bak jamur yang tumbuh subur di berbagi tempat. Tak hanya menjamur, kopi pun kian menjadi gaya hidup. Lantas, bagaimana nasib jamu?
”Pahit, kuno, dan kampungan. Inilah stigma tentang jamu yang masih melekat di pikiran masyarakat. Mereka tahu jamu, tetapi enggak mengonsumsinya,” kata Johan.
Pahit, kuno, dan kampungan. Inilah stigma tentang jamu yang masih melekat di pikiran masyarakat. Mereka tahu jamu, tapi enggak mengonsumsinya.
Inilah yang menjadi kerinduan, yaitu mengangkat derajat jamu. Sebagai pustaka rempah, Indonesia memiliki kekayaan rempah yang telah diakui bangsa-bangsa. Sekarang, tinggal bagaimana kita mengolahnya.
Meminum jamu kini tak perlu lagi terburu-buru. Rasa pahit yang selama ini membayangi memori masa kecil tak berlaku pada racikan jamu bergaya modern. Bahkan, jamu dapat menjadi teman untuk menghilangkan rasa bosan.
Gaya hidup
Baru sekitar tiga bulan berdiri sejak Juni 2018, kafe bergaya vintage modern ini diharapkan dapat menjadi magnet bagi kaum muda untuk mengenal jamu. ”Harapannya, nanti orang-orang akan mengatakan, ’Minum jamu yuk’, untuk nongkrong,” ujar Johan.
Meski tetap menjaga rasa tradisional dalam desain kafenya, perpaduan kayu dan besi di setiap kursi menceritakan hal berbeda. Ada kesan ”menabrak” tradisi yang ingin diceritakan. Mencampur jamu dengan bahan lain, seperti soda, susu, dan krimer, serta pengolahan dengan alat modern menjawab desain kafe ini.
”Bukan untuk meninggalkan atau menghilangkan kekhasan dari jamu tradisional. Kami hanya ingin menjembatani anak-anak muda agar tertarik menikmati jamu. Terlebih menjadikannya sebagai gaya hidup,” kata Johan.
Menyandang gelar ”jamu pertama dengan berbagai teknik penyeduhan” dari Museum Rekor-Dunia Indonesia, kafe Acaraki bertujuan memviralkan jamu agar kembali dilirik. Tak hanya itu, ada alternatif baru yang ditawarkan di dalamnya untuk menikmati jamu.
Tak sekadar obat
Acaraki sesungguhnya berarti orang yang meracik berbagai macam rempah untuk dijadikan jamu. Pada era Kerajaan Majapahit sekitar tahun 1.400 tak sembarang orang dapat memperoleh gelar ”Acaraki”. Sebab, mereka bertugas untuk mengobati penduduk Majapahit.
Dalam mengemban tugasnya untuk membuat obat dari jamu, seorang acaraki harus melalui beberapa proses. Doa, meditasi, bahkan berpuasa menjadi ritual sebelum membuat jamu. Tujuannya, mengumpulkan energi positif dan tetap mengakui Tuhan sebagai tabib utama.
Namun, jamu tak hanya untuk pengobatan. Berasal dari bahasa Jawa kuno, kata jamu terdiri dari jampi (doa) dan usada (ilmu pengobatan). ”Jamu seharusnya dipahami sebagai suplemen, bukan hanya obat,” kata Johan.
Jangan sampai, obat menjadi makanan sehari-hari kita. Lebih baik menjadikan jamu sebagai suplemen dalam menjaga daya tahan tubuh. Sebab, memang begitulah cara kerja jamu. Perlu diminum secara rutin untuk mendapatkan khasiatnya.
Seperti kopi yang pahit, demikian jamu. Tanpa ada informasi kesehatan yang dijanjikan para penjual, jamu seharusnya mendapat perlakuan sama dari penikmatnya. Jamu dapat menjadi pilihan menikmati waktu luang.
Menjaga kualitas
Mengadopsi cara memproses kopi, begitu pun acaraki menyajikan jamunya. Campuran beras kencur atau kunyit asam ditimbang sebelum akhirnya digiling. Melalui cara ini, jamu selalu hadir segar untuk memanjakan para penikmat.
Seperti kopi, jamu pun perlu diseduh secara tepat untuk mengeluarkan aroma yang akhirnya meninggalkan memori indah tentang jamu. Untuk mencapainya, tentu pemilihan rempah berkualitas menjadi poin penting.
”Kami menggunakan rempah yang langsung dibeli dari petaninya. Sebab, kami percaya, rempah terbaik berada di Indonesia. Namun, mengapa kekayaan rempah masih sering diabaikan?” tanya Johan.
Lebih dari itu, rempah yang langsung dibeli dari petani tentu lebih segar. Standar rempah pun dapat disesuaikan dengan kebutuhan kafe. Sejauh ini, rempah jamu di kafe Acaraki berasal dari Lampung, Solo, Wonogiri, Sidoarjo, dan Flores.
”Setiap daerah memiliki kekhasan rempah tersendiri, misalnya kencur dari Lampung dan Wonogiri memiliki aroma yang sama-sama kuat. Namun, untuk rasa, kencur Wonogiri lebih kuat,” kata Johan.
Ketika masyarakat kembali tertarik mengonsumsi jamu, kekayaan rempah Indonesia akan semakin banyak diproduksi dan dikenal.
Johan menyampaikan, saat jamu menjadi gaya hidup, efeknya akan seperti domino. Ketika masyarakat kembali tertarik mengonsumsi jamu, kekayaan rempah Indonesia akan semakin banyak diproduksi dan dikenal.
Namun, untuk menempatkan jamu pada level yang lebih tinggi, perlu bantuan acaraki lain yang juga tertarik dalam memajukan industri berbasis budaya ini. ”Butuh acaraki-acaraki lain agar gelombang jamu semakin besar,” kata Johan. (SHARON PATRICIA)