Modal Mode Bandung
Pergelaran 23 Fashion District 2018 di Bandung, beberapa waktu lalu, memunculkan dorongan untuk makin mengukuhkan daerah ini sebagai kota mode, terutama di ranah street style atau mode modest. Dukungan sumber daya, seperti pabrik tekstil, garmen, dan konfeksi, ada. Bagaimana dengan sumber daya manusia?
Lima kampus terlibat dalam peragaan busana yang digelar Indonesian Fashion Chamber bersama 23 Paskal Shopping Center, Bandung. Empat di antaranya berlokasi di Bandung, yakni Institut Teknologi Bandung, Telkom University, Universitas Kristen Maranatha, dan Islamic Fashion Institute. Dari Jakarta, berpartisipasi Institut Kesenian Jakarta.
Kebanyakan mahasiswa yang terlibat memperagakan karya masing-masing yang merupakan hasil garapan tugas akhir, tugas studio, atau karya yang diikutsertakan lomba. Beberapa di antarnya memanfaatkan tren forecasting, sebagian sudah mulai menggabungkannya dengan idealisme dan inspirasi sehingga mulai membentuk konsep dan karakter garis rancang.
Tantangannya, meski cukup banyak jurusan mode, kelak lulusan jurusan ini tidak semua menetap. Selain tetap di Bandung, ada juga yang akan kembali ke kampung halaman. Paling banyak bersiap hijrah ke Jakarta karena dirasa lebih mendukung pengembangan karier.
Bandung sebagai pasar tetap dipandang menarik meski daya belinya belum sekuat ibu kota Jakarta. Lebih menarik dan nyaman di mata mereka, Bandung sebagai lokasi bengkel kerja.
Riztia Nilfarisa, mahasiswa Telkom University yang menampilkan delapan item koleksi berencana tetap di Bandung setelah lulus untuk merintis merek busananya. Mahasiswa asal Bangka Belitung ini sudah tiga tahun tinggal di ”Kota Kembang” dan merasa lebih menguasai kota ini ketimbang hijrah ke Ibu Kota dan mulai dari nol. Namun, sebagai pemula, ia tetap menemukan kesulitan, terutama modal. Meski material mudah diperoleh, keterbatasan modal membuatnya harus bersiasat.
”Saya belum mampu kalau harus beli kain satu dua rol sekalian. Jadi, saya akalin dengan membuat sampel lalu buka pre-order. Kendalanya, ketika mau beli lagi, sudah habis atau tidak mencukupi jumlahnya. Belum lagi penjahit suka molor, karena belum punya penjahit sendiri yang khusus kerja untuk saya,” tutur Riztia yang mengikutsertakan karyanya dari hasil keikutsertaan pada tiga lomba desain mode.
Untuk mengikuti setiap lomba, Riztia membuat konsep berbeda. Agar terlihat masih dalam satu garis rancang, Riztia memilih warna-warna senada untuk ketiga konsep, yakni warna-warni yang tegas. Untuk material, ia menggunakan baby kanvas, semi- wol, linen, dan semacam plastik mika.
Pilihan Riztia adalah street wear. Selain secara subyektif ia menyukainya, Riztia juga melihat potensi pasar untuk busana gaya tersebut. ”Tapi, saya masih menggali terus, kira-kira jati diri dan karakter rancangan saya di mana,” kata Riztia.
Pengolahan tekstil
Mode selalu menuntut hadirnya unsur kebaruan, antara lain melalui material. Elgana, mahasiswa Program Studi Kriya Tekstil Institut Teknologi Bandung, memanfaatkan teknik reka latar untuk mengolah inspirasi Dewi Sinta ke dalam bajunya yang bernuansa modern. Ia terinspirasi fragmen penculikan Sinta oleh Rahwana sehingga memilih warna ungu tua.
Ega, panggilannya, tidak ingin bajunya terlalu terlihat tradisional. Ia kemudian memilih warna-warna perak dan tembaga metalik untuk menciptakan kesan futuristik dan modern.
Untuk pengolahan tekstil, ia memanfaatkan teknik reka latar, seperti digital printing, embellishment, dan korsase. Untuk baju, utamanya yang berwarna tembaga metalik, ia menempelkan potongan-potongan bordir berbentuk bunga yang kemudian dipotong bagian tengahnya untuk menciptakan kesan seperti bulu-bulu.
Untuk bagian jubah luar, ia mengaplikasikan material bunga yang kemudian diberi embellishment berupa potongan lempeng tembaga. Pengetahuannya mengolah tekstil akan dimanfaatkan Ega yang bercita-cita menjadi desainer kostum. Selain baju karya Ega, ada juga tujuh rekannya yang juga tampil masing-masing dengan satu karya yang merupakan tugas akhir.
”Karena Bandung kota tujuan pendidikan, proporsi anak muda lumayan besar. Mereka tipe generasi yang senang mencoba-coba. Ini bisa menjadi pasar menarik yang digarap sendiri oleh anak-anak muda itu. Jurusan fashion juga banyak, ada juga Kriya Tekstil yang bisa menghadirkan unsur baru material tekstil. Saya kira cukup mendukung modal Bandung jika ingin menguatkan diri sebagai kota fashion,” kata Nadia Arfan, dosen Kriya Tekstil ITB.
Jessica Zefanya juga menyukai gaya jalanan (street style). Kesukaannya pada sesuatu yang etnik mendorongnya memasukkan nuansa etnik ke dalam rancangan. Mahasiswa Universitas Kristen Maranatha ini memilih sasando, alat musik dari Nusa Tenggara Timur sebagai inspirasi. Ia juga mengadopsi motif geometris dari kain NTT menjadi blus crop top dan celana panjang. Motif ini dituangkan ke atas bahan tafeta dengan teknik digital printing. Bentuk lengkung sasando dituangkan melalui pemilihan bahan organza yang kemudian di-plisket (pleats).
Jessica bersama tujuh rekannya yang lain menampilkan masing-masing satu karya yang merupakan hasil garapan tugas studio. Ini pengalaman pertamanya mengikuti peragaan busana. Ia mengaku termotivasi karena mempunyai kesempatan berinteraksi dan melihat karya-karya desainer lain, termasuk yang lebih senior. Ia menyadari, untuk mengembangkan merek sendiri, harus memiliki ciri khas.
”Setelah lulus pasti pengin punya brand sendiri, tapi kayaknya mau coba kerja dulu. Ada satu perusahaan garmen yang aku suka, semoga bisa di sana,” kata mahasiswa asal Bandung ini.
Tampilan urban
Terinspirasi Kampung Pelangi di Semarang, Evlyn Laurencia bermain tabrak warna, garis, dan bidang geometris. Mahasiswa Institut Kesenian Jakarta ini juga memadukan berbagai material dengan beragam tekstur.
Evlyn mengejar tampilan urban untuk karya-karyanya. Ia memanfaatkan tren forecasting yang dirilis Badan Ekonomi Kreatif sebagai panduan dalam membantunya merancang. Evlyn berkeinginan mengembangkan diri sebagai desainer, tetapi saat ini ia lebih fokus sebagai pengarah gaya (fashion stylist), pekerjaan yang telah digelutinya beberapa waktu terakhir.
Perkembangan zaman yang membuat dunia tanpa batas mendorong Fatia Rahmawati kembali ke kampung halamannya di Bojonegoro, Jawa Timur, selepas lulus dari Islamic Fashion Institute. Ia membuka butik dengan bantuan tiga penjahit. Bandung tetap menjadi lirikannya sebagai pasar.
Saat menampilkan karyanya dalam 23 Fashion District 2018, Fatia menggunakan batik Bojonegoro yang dipadukan dengan bahan lateks dan poliester fiber. Agar terkesan modern, ia memilih warna perak. ”Selain ingin mengangkat Bojonegoro lewat batik, juga agar terlihat unik,” kata Fatia tentang baju hasil tugas akhirnya itu.
Selain Fatia, ada tiga mahasiswa lain yang masing-masing menampilkan dua baju dalam peragaan ini. Fatia membeli bahan- bahan kebutuhan butiknya di Bandung yang lantas dikirimkan ke Bojonegoro. ”Yang hilang setelah tidak di Bandung adalah atmosfer saling memberi masukan dari teman atau dosen terhadap karya kita,” kata Fatia.