Belum Ada Kepastian terkait Hak Konsumen Meikarta
JAKARTA, KOMPAS -- Harapan para pembeli apartemen Meikarta untuk memiliki hunian baru sulit terwujud cepat akibat perlu proses panjang dan waktu yang lama. Belum adanya kepastian dari pihak Meikarta untuk segera memenuhi hak konsumen semakin menambah pelik persoalan ini.
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, mengatakan, 33 persen dari total pengaduan yang datang ke YLKI pada 2018 hingga kini adalah tentang Meikarta. Menurutnya, pengaduan yang telah ditangani YLKI tidak mendapat respons yang baik dari Meikarta.
"Tentu saja kami berharap Meikarta dapat tetap memenuhi hak konsumennya secara profesional. Namun, sepertinya ada sesuatu yang disembunyikan. Pengaduan yang kami ajukan sama sekali tidak mendapat respons. Malah suratnya dibalikkan lagi ke kami," kata Tulus di Jakarta, Rabu (24/10/2018).
Pengaduan yang masuk ke YLKI umumnya adalah ketika pembeli sudah membayar lunas. Menurut Tulus, persoalannya adalah pembeli tidak mendapat jawaban yang jelas ketika bertanya ke pihak manajemen soal kapan serah terima kunci. "Pembangunan harusnya terukur, dapat diprediksi dan dihitung mengenai bulan dan tahun serah terima kunci," paparnya.
Tulus mengatakan, persoalan ini termasuk dalam kasus wanprestasi perdata atau ingkar janji. Dalam hal ini, Meikarta telah mengingkari janjinya karena kenyataan tidak sesuai dengan iklan dan apa yang dijanjikan dalam kontraknya.
Menanggapi persoalan ini, Kuasa Hukum PT Mahkota Sentosa Utama (MSU), perusahaan yang mengerjakan proyek pembangunan Meikarta, Denny Indrayana, mengatakan, pihaknya tetap mengupayakan agar proyek Meikarta dapat dilanjutkan kembali.
"Terkait persyaratan, termasuk perizinan yang harus dipenuhi, akan tetap kami proses sesuai aturan hukum yang berlaku," kata Denny.
Jika dilihat dari kontrak perjanjian, target serah terima pertama akan dilakukan pada Desember 2018. Denny menyatakan bahwa batas waktu pemenuhan hak konsumen akan dilakukan secepatnya sesuai perjanjian yang telah dibuat.
"Kalau pun ada penyesuaian karena dinamika kasus yang sedang terjadi di Komisi Pemberantasan Korupsi, Meikarta tetap akan bekerja keras agar tidak bergeser jauh dari jadwal penyelesaian yang ada," ujar Denny.
Sementara Direktur Informasi Publik Meikarta, Danang Kemayan Jati, enggan memberikan komentar ketika ditanyai soal yang membelit Meikarta. Danang menyampaikan, semua keterangan tentang proyek Meikarta diwakili Denny.
Risiko pembeli
Jika ada pembatalan sepihak dari pembeli, hal ini bisa sah, namun ada risiko yang akan ditanggungnya. "Apakah akan ada denda pemotongan sekian persen atau bisa juga hangus. Ini satu hal yang menjadi risiko bagi pembeli apalagi jika ia tidak membaca perjanjian atau kontrak dengan teliti," kata Tulus.
Untuk kasus Meikarta, Tulus menyampaikan, seharusnya ada pertimbangan lain. Sebab, pembeli yang memutuskan untuk tidak melanjutkan cicilan, bukan karena tidak ingin membayar. Namun, mereka khawatir atas kasus megaproyek pembangunan apartemen yang telah dijalankan sejak Mei 2017.
Keluhan seperti ini datang dari Serevina Falerina, salah satu pembeli unit apartemen Meikarta. "Intinya kita nggak mau nerusin pembayaran, bukan karena tidak ingin membayar, tapi proyeknya nggak jelas," kata Vina, panggilan akrabnya.
Menurut Vina, awalnya ia berencana untuk membeli apartemen tipe 47 meter persegi. Dia juga telah membayar uang tanda jadi pada 2017 senilai Rp 2.343.000 yang harus dibayarkan sebanyak lima kali sebelum mencicil apartemennya.
"Awalnya, manajemen Meikarta mengatakan, pembayaran cicilan apartemen dimulai setelah ada pembangunan fisik 80 persen. Tapi pas saya bayar cicilan DP pertama, perjanjian itu berubah. Saya diharuskan membayar cicilan apartemen setelah melunasi DP. Padahal bangunan fisiknya belum ada," tutur Vina.
Sebagai karyawan di salah satu perusahaan swasta di Jakarta Pusat, Vina tertarik membeli apartemen Meikarta karena relatif murah. Selain itu, Meikarta juga menjanjikan fasilitas yang lengkap termasuk mudahnya akses transportasi.
Pada akhirnya, setelah Vina mendengar pendapat dari teman-temannya yang juga mencurigai proyek ini sejak awal, ia memutuskan untuk tidak meneruskan cicilannya. Ia pun tetap berharap agar Meikarta benar-benar bertanggung jawab atas kasus ini.
Regulasi lemah, perlu direvisi
Apa yang dialami Vina merupakan satu dari ribuan pembeli lainnya yang juga menanti kepastian kemana uang mereka. Tulus mengatakan, hal ini bukan yang pertama kali.
"Regulasi kita dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun membolehkan apa yang disebut dengan preproject selling atau menjual tapi belum ada fisiknya asal ada minimal 20 persen yang siap huni. Ini yang menjadi titik lemah kita," kata Tulus.
Dalam UU ini khususnya Pasal 16 Ayat 2 memang dijelaskan bahwa pelaku pembangunan rumah susun komersial wajib menyediakan rumah susun umum sekurang-kurangnya 20 persen dari total luas lantai rumah susun komersial yang dibangun. Menurutnya, UU ini perlu direvisi sebab jika terus begini, pembeli seperti membeli kucing dalam karung.
"Kita harusnya belajar dari aturan rumah susun yang diterapkan di Australia. Di sana, pengembang dari apartemen atau rumah susun baru boleh menjual kalau bangunan sudah ready stock atau siap huni," kata Tulus.
Menurut Tulus, praktik selama ini, mayoritas pengembang ingkar janji terhadap apa yang diiklankan dan terjadi inkonsistensi dalam membangun apartemennya. Saat pembeli melakukan serah terima, hasilnya pun tak sesuai perjanjian awal.
Jika terus begini, Tulus menyampaikan, risiko bagi pembelinya akan terus meningkat. Data pengaduan YLKI sejak 2014 - 2017, ada 450 pengaduan soal konsumen apartemen yang tertipu. Dalam hal ini, mayoritas pengembang tidak konsisten terhadap apa yang ditawarkan di dalam iklannya.
"Ketika diiklankan, bangunan itu begitu indah dengan beragam fasilitasnya. Namun, ketika sudah jadi dan konsumen sudah membayar lunas, konsumen menjadi seperti tidak berkutik. Makanya, jika bangunan belum ada, konsumen jangan mau membayar bahkan melunasinya," papar Tulus.
Tulus mengingatkan, konsumen harus lebih kritis ketika mempertimbangkan untuk membeli apartemen. Konsumen perlu usaha lebih untuk melihat track record dari pengembang mengenai bagaimana reputasinya selama ini. (SHARON PATRICIA)