JAKARTA, KOMPAS - Gudeg, makanan khas Yogyakarta, belum banyak diterima kaum millenial, meskipun sudah dibawa keluar daerah asalnya. Ini menjadi tantangan bagi usaha kuliner Gudeg B Djuminten yang sudah dikelola empat generasi sejak 1926.
Saat ini, penerus usaha Gudeg B Djuminten cabang Jakarta dan sekitarnya ada di tangan Herdinda Arum (21). Meski tampuk pimpinan sudah dipegang darah muda, penjualan gudeg dinilai masih sulit menembus pasar muda. Hal tersebut diakui sendiri oleh perempuan yang biasa disapa Arum tersebut.
"Kami belum menemukan inovasi untuk menarik selera anak muda," kata dia saat ditemui di stan Gudeg B Djuminten di Pameran Kuliner dan Pangan Nusantara Indonesia Convention Exhibition (ICE) BSD, Tangerang Selatan, Sabtu (27/10/2018).
Arum melihat, pembeli Gudeg B Djuminten di gerai yang ada di Jakarta Selatan dan BSD Tangerang Selatan lebih didominasi usia tua. Untuk menarik pengunjung muda, Arum mencoba menyediakan kebutuhan anak muda, seperti wifi dan tempat makan yang nyaman.
Persepsi rasa gudeg yang manis juga dinilai Arum menjadi alasan gudeg sulit diterima sebagian masyarakat. Untuk menyiasatinya, Gudeg B Djuminten yang dipasarkan di Jakarta mulai 1995 dibuat dengan mengurangi cita rasa manisnya.
"Ketika gudeg ini dibawa keluar Yogyakarta, kami mau tidak mau harus menyesuaikan selera masyarakat di sini supaya tetap diminati," jelasnya.
Kekhasan dapur
Meski sejumlah upaya penyesuaian dilakukan untuk mempertahankan usaha, kekhasan sajian gudeg dan cara memasak masih dipertahankan Gudeg B Djuminten.
Pada pameran tersebut, menu gudeg yang berbahan nangka, krecek dari kerupuk kulit, ayam kampung, dan menu pendukung lainnya dihidangkan di dalam kendi saji yang dilapisi pelepah pisang.
Adapun yang membedakan Gudeg B Djuminten dengan gudeg lainnya, menurut Arum, adalah siraman areh basah. Kuah areh yang terbuat dari kelapa asli menghasilkan gudeg yang terasa gurih.
"Areh basah itu lebih sehat daripada areh kering. Kalau gudeg areh kering itu benar-benar ampasnya yang dipakai. Walaupun lemaknya jadi lebih terasa tapi menurut kami itu kurang sehat," jelasnya.
Arum juga menjelaskan, usaha gudegnya masih mempertahankan teknologi memasak dengan kayu bakar, sekalipun untuk cabang di Jakarta. Penggunaan kayu bakar untuk memasak masih dipakai beberapa bahan baku.
Menurut Arum, ada bahan-bahan yang tidak akan sedap jika dimasak dengan kompor modern. Dengan alasan tersebut, teknologi tersebut masih dipertahankan. (ERIKA KURNIA)