Kisah Para Penjaga Tifa
Visi kemanusiaan para pembuat tifa mempunyai andil besar dalam melahirkan generasi baru pembuat alat musik tabuh itu. Mereka tidak berpikir untuk mengakumulasi keuntungan, hanya tergerak menjaga eksistensi warisan nenek moyang. Berkat tangan mereka, tifa lestari sampai kini.
Bunyi tak-tek-tok terdengar dari belakang rumah Carolis Rehatta (53), pemilik Sanggar Seni Wairanang, di Wairangan, Negeri Soya, Kecamatan Sirimau, Kota Ambon, Senin (1/10/2018). Rupanya Marten (26) dan Rendi (26) sedang bahu-membahu melubangi balok kayu untuk dibuat menjadi tifa di belakang rumah Carolis yang difungsikan sebagai studio.
Dalam studio berukuran sekitar 20 meter persegi itu, Carolis membimbing anak-anak muda membuat tifa. Mereka juga diajak memainkan tifa di bawah naungan Sanggar Wairanang. ”Mereka saya didik untuk memahami pentingnya tifa sebagai warisan nenek moyang. Juga memahami pentingya persatuan,” ujar Carolis.
Carolis merupakan generasi keempat pembuat tifa. Dia belajar dari mendiang ayahnya, Williem Rehatta. Semula, tatkala ayahnya masih hidup, Carolis bekerja sebagai tukang perbaikan barang-barang elektronik, seperti televisi dan pemutar cakram padat. Akan tetapi, hasilnya tidak pernah mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. ”Sebab banyak saudara sendiri, tho, yang servis. Jadi, tidak bisa kasih bayar. Gratis saja, he-he-he.”
Ketika ayahnya berpulang, dia meneruskan usaha ayahnya membuat tifa. Rupanya Carolis menikmatinya. Bahkan, dia juga menyediakan peminjaman tifa kepada warga yang hendak melakukan upacara adat atau pernikahan.
Sikap yang sama dilakukan Jonas Silooy (43), pemilik Sanggar Booyratan di Negeri Amusu, Kota Ambon. Sejak kecil dia mengenal tifa dari mendiang ayahnya yang merintis berdirinya Sanggar Booyratan.
Sanggar itu semula berada di bawah naungan Negeri Amusu dan hanya bisa diakses oleh keluarga Silooy. Kini, sanggar itu menerima siapa saja untuk belajar seni tradisi Maluku. ”Sanggar ini jadi terbuka setelah kami daftarkan ke Dinas Pariwisata Kota Ambon tahun 1989,” ujar Jonas.
Jonas mengabdikan seluruh hidupnya untuk tifa. Bahkan, keempat anaknya pun dia ajak ikut mendalami tifa. Malam itu, Sabtu (29/9), tiga dari tujuh anak yang belajar tifa adalah anak Jonas. Salah satunya adalah Josina Fricillia Silooy (11) yang sudah mahir menabuh tifa sejak usia 6 tahun.
Belakangan, Josina juga mahir memainkan seruling, tahuri, dan tari lenso. Ia meyakini bermain musik itu sesuai dengan firman Tuhan karena dapat memperkuat persatuan antarteman meskipun berbeda agama. ”Bermain tifa menyenangkan karena banyak teman,” kata Josina yang bercita-cita menjadi pendeta.
Semangat persatuan itu selalu disuntikkan Jonas kepada anak didiknya yang berasal dari beragam latar belakang agama. Dia selalu memberikan ilustrasi bahwa nenek moyang Booyratan ada tujuh saudara, semuanya Muslim kecuali Booyratan. Selama hidup, mereka selalu berdampingan dengan damai, menari, menyanyi, dan bermain tifa bersama.
Semangat serupa menjadi bingkai Sanggar Wairanang asuhan Carolis. ”Pada dasarnya, kami tidak pernah bermasalah meskipun berbeda agama. Lewat tifa, saya dan kawan-kawan ingin menguatkan persaudaraan itu.”
Sejarah
Semangat yang digaungkan Carolis dan Jonas senapas dengan perdamaian seiring kelahiran tifa. Pemuka agama Islam sekaligus dosen Institut Agama Islam Negeri Ambon, Abidin Wakano, menjelaskan, tifa yang ada saat ini tidak luput dari pengaruh budaya Arab, Melayu, dan Portugis.
”Kebudayaan Maluku tidak tunggal karena dipengaruhi kebudayaan lain. Multikultural.”
Apabila menilik sejarah sebagaimana tertulis dalam banyak literatur, Islam masuk ke Maluku pada abad ke-15. Ini diperkuat pengakuan Tome Pires, penulis berkebangsaan Portugis, yang pernah berkunjung ke Maluku. Dia mengatakan, Islam sudah masuk Ternate, Hitu, Banda, Makian, dan Bacan setidaknya 50 tahun sebelum Portugis datang (Thalib, 2012). Daerah-daerah tersebut berada di Maluku.
Abidin menambahkan, para saudagar dari Melayu, Arab, serta Jawa tidak hanya datang untuk kepentingan dagang dan agama. Mereka juga membawa alat musik yang kemudian berakulturasi dengan budaya setempat.
Itu menjawab adanya variasi alat musik, seperti rebana, tifa, dan totobuang. Totobuang ini hampir tak ada bedanya dengan bonang dalam orkestrasi gamelan. Hanya saja, tatakannya lebih tinggi karena dimainkan sambil berdiri. Berbeda dengan bonang yang dipukul sambil duduk.
Pengaruh barat lewat kedatangan Portugis sekitar abad ke-16 juga terasa dalam ekspresi seni tradisi Melayu. Dansa ola-ola dan kemunculan alat musik hawaian adalah dua di antaranya.
Dua kutub pengaruh itu kemudian memunculkan ekspresi berkesenian yang berbeda. Kelompok Islam cenderung memainkan sawat atau hadrat yang lebih dekat dengan kultur Arab dan Melayu, tentu dengan melibatkan tifa. Adapun tifa totobuang identik dengan kelompok Kristen.
Itu semata sebagai bentuk politik identitas. Belakangan, identitas tersebut coba dilebur dalam semangat persatuan melalui musik kolaborasi Salam Sarane, nama hibrida dari Islam dan Kristen.
Sanggar-sanggar di Ambon, termasuk milik Jonas dan Carolis, berulang kali memainkan Salam Sarane. ”Ini panggilan hati. Musik harus diarahkan untuk persatuan,” kata Jonas yang berketetapan hati mengabdikan hidup untuk tifa.
Rezeki tifa
Setiap hari, kecuali hari Minggu, selalu ada pembuatan tifa di rumah Carolis. Tifa dia jual seharga Rp 100.000 sampai Rp 6 juta. Tifa produksi Sanggar Wairanang tersebar di banyak tempat dan negara sampai Australia, Belanda, dan Amerika. ”Dari tifa, hidup saya lebih tenteram,” kata Carolis.
Sementara itu, selain membina sanggar, Jonas membuat tifa di saat ada waktu luang. Dalam sebulan dia bisa menyelesaikan sampai 30 tifa berbagai ukuran. Tifa itu dijual mulai Rp 200.000 sampai Rp 3,5 juta. Tifa buatan Jonas dibeli banyak orang sampai Belanda.
Jonas juga menerima pesanan totobuang yang dibuat di Jawa Tengah. Peran Jonas menjadi penting karena dia yang dapat menentukan nada pada totobuang tersebut. ”Banyak yang langsung pesan ke Jawa, tetapi pasti nadanya fals, tidak sesuai. Nadanya harus do rendah sampai do tinggi. Kromatis,” ujarnya.
Penghasilan lainnya, Jonas memperoleh uang dari setiap pertunjukan tifa. Dalam sebulan bisa sampai 15 kali pertunjukan. Pada Sabtu akhir September lalu, anak-anak Sanggar Booyratan tampil di tiga tempat dalam waktu hampir bersamaan. Jonas membantu membagi anggota.
Dia mematok tarif Rp 2,5 juta sekali tampil. ”Masuk ke beta Rp 1 juta. Ini nanti sebagian untuk operasional sanggar. Anak-anak mendapat Rp 150.000 sekali tampil,” papar Jonas.
Motif ekonomi tak pernah tebersit di benak Jonas ataupun Carolis. Mereka menilai penghasilan itu ”bonus” semata dari upaya mereka melestarikan tifa.