Peragaan busana Teatum Jones X Sean Sheila mengisyaratkan bahwa panggung peraga bukan hanya milik mereka yang tinggi, langsing, atau cantik. Karena baju digunakan oleh semua orang, termasuk oleh para difabel. Mereka pun berhak tampil modis dan menarik dengan segala keunikan, termasuk di atas landas peraga atau ”runway”.
Salah satu pesan yang terselip dalam panggung Jakarta Fashion Week (JFW) 2019 adalah tentang keberagaman yang diusung desainer Rob Jones, Sheila Agatha Wijaya, dan Sean Loh lewat label masing-masing. Dalam peragaan busana yang didukung British Council di Indonesia ini, tampil lima difabel dengan kondisi istimewa, yakni berkursi roda, tunadaksa, bisu tuli, dan down syndrome. Semuanya tampil bak model dan peragawati profesional, berjalan penuh percaya diri.
Rob Jones adalah desainer asal Inggris yang mengibarkan label Teatum Jones bersama Catherine Teatum. Adapun, Sean Loh dan Sheila Agatha Wijaya adalah desainer pasangan suami istri yang memilih membesarkan label mereka, Sean Sheila, di Purbalingga, Jawa Tengah.
Rob pernah mengentak pencinta mode ketika menampilkan dua model difabel dalam pembukaan London Fashioin Week tahun lalu. Sementara Sheila dan Sean seluruh pegawainya adalah difabel bisu tuli. Latar belakang ini yang membuat British Council memilih kedua label untuk ditampilkan pada panggung JFW tahun ini.
”Kami ingin menampilkan sesuatu yang beda dan memberi impact yang bagus di industri fashion,” kata Camelia Harahap, Manajer Senior Program Seni dan Industri Kreatif British Council di Indonesia.
Rob, Sean, dan Sheila sepakat untuk menampilkan model difabel untuk membawakan baju-baju mereka. Dari kuota empat difabel yang diberikan British Council, ketiganya kemudian memutuskan memilih lima dari 20 orang yang mengikuti audisi. ”Kami bertiga rela patungan membayar honor yang satu orang,” ungkap Sheila.
Ketiganya berkeras menghadirkan lima difabel untuk menampilkan keberagaman yang menurut mereka perlu dipahami masyarakat luas. Kelima difabel terpilih karena memancarkan rasa percaya diri yang kuat ketika diminta berjalan. ”Misalnya, saya memilih Echi yang menggunakan kursi roda karena, ketika pertama kali bertemu, dia mengajak salaman dengan penuh percaya diri dan kepala tegak,” kata Rob.
Inspirasi kekuatan
Baik Sean, Sheila, maupun Rob mengungkapkan, mereka tidak perlu menyesuaikan baju yang dikenakan para difabel. Paling-paling hanya penyesuaian minor, seperti sedikit mengecilkan ukuran. Dengan begitu, para desainer ini sekaligus ingin menyampaikan bahwa baju mereka bisa dipakai oleh siapa saja, termasuk oleh difabel.
”Baju yang dipakai Echi itu dulu dipakai model berjalan saat London Fashion Week. Saya tidak perlu mengubahnya. Ia perempuan kuat dan membuat baju yang dipakainya terlihat kuat,” tutur Rob.
Rob kemudian mengungkapkan latar belakang ketertarikannya melibatkan difabel. Saat itu, ia melihat anaknya yang masih berusia lima tahun menonton pertandingan Olimpiade dan Paralimpiade. Sang anak ternyata tidak melihat perbedaan antara atlet Olimpiade dengan atlet Paralimpiade. Ia hanya melihat keberagaman.
”Ini tidak saya lihat di fashion. Akhirnya kami ketemu tim Paralimpiade Inggris dan ngobrol dengan 6-7 atlet. Pertanyaan pertama yang kami sampaikan bukan soal kondisi fisik mereka, melainkan warna apa yang mereka suka, fashion, dan bahan apa yang mereka senangi. Hal-hal seperti itu,” ungkap Rob.
Teatum Jones kemudian berfokus pada satu atlet, yakni Natasha Baker. Perempuan peraih dua medali emas dan tiga medali emas pada Paralimpiade 2012 dan 2016 itu belajar berkuda sebagai terapi untuk memperkuat otot-ototnya. Oleh karena otot kakinya lemah, Baker melatih kudanya agar responsif terhadap suara dan gerakan di sadel sebagai perintah.
”Kami menghabiskan waktu selama setahun untuk merancang koleksi Spring/Summer 2018 yang semua berinspirasi pada Natasha Baker. Bukan pada kecacatannya, melainkan pada figurnya sebagai atlet berkuda. Kami mulai dari hubungan antara keduanya, Natasha dan kudanya. Bagaimana kebebasan dan trust antara keduanya,” tutur Rob.
Ini pertama kalinya Sean dan Sheila menggunakan model difabel di atas landas peraga. Keduanya bukan sedang membangun sebuah citra, karena hal itu adalah perpanjangan dari praktik sehari-hari. Pegawai Sean Sheila yang berjumlah sembilan orang semuanya bisu tuli. Ketika ditanya apakah keduanya yakin jika hampir semua bajunya harus dibawakan oleh model difabel, keduanya menjawab dengan mantap yakin.
“Tentu saja tidak semua karena baju kami untuk semua orang, termasuk para difabel. Jadi, semua orang harus terwakili,” kata Sean.
Bagi keduanya, peragaan busana ini merupakan kesempatan untuk menunjukkan potensi para difabel di bidang yang selama ini masih kurang ramah terhadap kehadiran mereka. ”Mereka, tuh, sama seperti kita, meski tetap ada keterbatasan. Selama ini, mereka dipandang tidak mampu. Padahal, kalau diberi kesempatan, mereka juga bisa,” kata Sheila.
Dorong semangat
Salah satu model difabel, Echi Pramitasari (27), sangat senang bisa tampil sebagai peragawati di ajang JFW. Ini kedua kalinya pengguna kursi roda ini tampil sebagai model di atas landas peraga setelah sebelumnya tampil dalam Jakarta Modest Fashion Week.
”Saya suka fashion dan make-up. Jadi, ketika ada kesempatan audisi, saya coba ikut. Selama ini kalau kita lihat di majalah, model itu hanya yang putih, tinggi, dan cantik. Dengan kesempatan ini, difabel bisa menunjukkan bahwa kami juga punya ketertarikan di bidang ini dan punya hak sama untuk tampil menarik dan terjun ke dunia fashion jika berminat,” kata Echi yang sehari-hari bekerja sebagai staf Litbang SDM pada sebuah kementerian.
Ke depan, ia berharap para difabel beroleh kesempatan lebih luas di bidang mode, tidak hanya di belakang, tetapi juga di depan panggung. Dengan keterlibatan tersebut, diharapkan akan terjalin pemahaman lebih dalam terhadap kehadiran difabel.
Selain berjalan di atas landas peraga, Echi dan teman-teman juga menjalani sesi pemotretan. Foto-foto ini jika dilihat oleh para difabel lain diharapkan dapat mendorong semangat dan kepercayaan diri mereka.
”Jika gerakan ini membesar, kelak kita tidak perlu proyek khusus lagi seperti sekarang karena kehadiran mereka adalah keniscayaan,” kata Rob.