JAKARTA, KOMPAS — Orisinalitas dinilai masih menjadi preferensi masyarakat dalam memilih makanan dan minuman pada tahun mendatang. Bersamaan dengan itu, pelaku usaha kuliner juga dituntut untuk terus menciptakan inovasi produk.
Chief Operating Officer PT Eatwell Culinary Indonesia Bernt Hanlee Ramli mengatakan, orisinalitas atau otentisitas masih menjadi kata kunci dari tren bisnis kuliner pada 2019. Ia menilai, gaya hidup masyarakat yang senang bertualang mendorong tren tersebut.
”Masyarakat saat ini, kalau kita lihat, senang berwisata dan bertualang di lokasi yang menjual kuliner. Kita bisa menjadikan pengalaman-pengalaman mereka sebagai peluang untuk membuka usaha kuliner yang otentik,” tutur Bernt dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (7/11/2018).
Di lain sisi, salah satu pendiri jaringan bisnis kuliner yang memiliki restoran khas Jepang, Ichiban Sushi, tersebut juga melihat pentingnya inovasi untuk mengikuti tren ke depan.
”Inovasi produk ’kekinian’ juga harus ada supaya bisnis ini bisa menyesuaikan keadaan sekarang. Tidak heran kalau belakangan banyak pemain baru yang tren karena berani menawarkan konsep makanan baru,” lanjutnya.
Tidak hanya untuk menu, model penyajian dan distribusi kuliner juga harus berinovasi dalam menghadapi disrupsi digital. ”Konsumen milenial yang senang bertualang itu juga melek digital. Oleh karena itu, kita harus menawarkan baik pengalaman daring maupun offline dari sebuah restoran,” ujar Bernt.
Menurut dia, peran pemerintah dalam mendorong industri kreatif menjadi peluang. Berdasarkan data, kontribusi industri kreatif Indonesia di bidang kuliner signifikan.
Survei produk domestik bruto (PDB) ekonomi kreatif 2016 menunjukkan lebih dari 40 persen penyumbang PDB ekonomi kreatif berasal dari subsektor kuliner dengan kontribusi sekitar Rp 383 triliun.
Pertumbuhan positif
Meski kondisi ekonomi global saat ini tidak kondusif, Chief Executive Officer PT Eatwell Culinary Sumarno Ngadiman mengatakan, pertumbuhan bisnis kuliner tidak akan terganggu.
Ia menuturkan, pertumbuhan bisnis food and beverage (f&b) atau makanan dan minuman di Indonesia selalu melampaui pertumbuhan ekonomi negara secara keseluruhan.
”Perkembangan bisnis f&b selalu lebih besar dari pertumbuhan ekonomi Indonesia, yang hanya baru mencapai 5 persen per tahun. Bisnis kuliner bisa sampai 7 atau 8 persen,” kata Marno.
Menurut dia, potensi bisnis kuliner yang bisa digali di Indonesia sangat banyak. Salah satunya karena keragaman yang dimiliki.
”Pelaku usaha bisa cari peluang dalam keragaman. Semua produk punya ciri khas yang bisa dikembangkan atau ditambah. Jadi, tergantung bagaimana pengelola mau memodifikasi,” lanjutnya.
Selain itu, potensi meningkatnya masyarakat dengan ekonomi menengah ke atas turut mendongkrak bisnis kuliner. Berdasarkan data sejumlah lembaga riset, antara lain MARS Indonesia dan Nielsen, pasar terbesar produk makanan dan minuman di Indonesia ada di kelas menengah.
Masyarakat dengan pendapatan menengah-tinggi (Rp 2 juta-Rp 3 juta) menjadi pasar terbesar dengan persentase 40 persen dari total 258 juta penduduk Indonesia. Diikuti pasar dari masyarakat berpendapatan menengah-rendah (Rp 1 juta-Rp 2 juta) dengan persentase 29 persen.
Masyarakat berpenghasilan menengah-tinggi menghabiskan Rp 100.000-Rp 150.000 sekali makan dan memiliki kebiasaan makan di restoran 1,5 kali sampai 2 kali per bulan.
Mereka dengan pendapatan menengah-rendah mengeluarkan biaya Rp 20.000-Rp 100.000 sekali makan dengan aktivitas makan di luar sekitar 1 hingga 1,5 kali per bulan. (ERIKA KURNIA)