Energi Besar di Kancah Global
Senyum mengembang di bibir Aditya Ahmad (29) saat memperlihatkan piala berbentuk singa hitam bersayap, beberapa waktu lalu. ”Singa” itu merupakan penghargaan tertinggi program kompetisi Orizzonti untuk film pendek dalam La Biennale di Venezia atau Festival Film Venesia 2018. Selama 15 menit, film ”Kado” karya Aditya memukau pemirsa di festival film tertua di dunia itu.
Kado menyisihkan 12 film pendek lain, antara lain, dari Iran, Belanda, Swiss, dan Argentina. Dari Venesia, Adit, sapaan akrabnya, tidak hanya membawa pulang kebanggaan, tetapi juga segudang pengalaman menjadi bagian dari perfilman global.
”Kemarin saya bisa punya kesempatan luar biasa, bertemu pembuat film dari berbagai belahan dunia yang karya-karyanya sudah diakui. Ada Alphonso Cuaron, Guillermo del Toro, Christophe Waltz, Taika Waititi, dan Willem Dafoe,” tuturnya saat pemutaran terbatas film Kado.
Adit mengungkapkan kepada Del Toro betapa ia menyukai film Pan’s Labyrinth karya pembuat film asal Meksiko itu. ”Juga sempat bilang ingin bikin film dengan konsep seperti itu. Dia kasih saya alamat e-mail. ’Silakan bagikan idenya ke saya,’ katanya. Kayak mau pingsan saya. Ha-ha-ha,” tambahnya.
Adit adalah satu dari sejumlah sineas muda Indonesia yang film pendeknya berhasil menembus festival film yang disebut-sebut kelas A dunia dalam beberapa tahun belakangan ini, yakni Festival Film Venesia, Cannes, dan Berlin. Sebelum Adit, film On the Origin of Fear karya Bayu Prihantoro Filemon (33) juga diputar di program yang sama, kompetisi Orizzonti 2016.
Tahun 2016 pula film Prenjak (In the Year of Monkey) karya sutradara Wregas Bhanuteja (26) meraih penghargaan tertinggi untuk film pendek dalam ajang Semaine de la Critique di Festival Film Cannes. Film lain karya Wregas, Lembusura (2015), juga diputar dalam program Berlinale Short di Festival Film Berlin atau Berlinale. Di Berlinale tahun 2014, film Sepatu Baru karya Adit diputar dalam sesi Generation.
Pada dekade sebelumnya, film pendek karya sutradara Edwin juga menembus sejumlah festival film internasional. Sebutlah Kara Anak Sebatang Pohon yang diputar di program Directors’ Fortnight Festival Film Cannes 2005 dan Trip to the Wound yang diputar di Berlinale Short 2009.
Di belahan Amerika bagian utara, film Ballad of Bloods and Two White Buckets karya sutradara Yosep Anggi Noen (35) diputar di Festival Film Toronto tahun ini. Tahun 2015, film Sendiri Diana Sendiri karya Kamila Andini (32) diputar di festival yang sama.
Peluang menapakkan kaki di tataran internasional pun kian terbuka lebar lewat partisipasi dalam festival film bergengsi karena banyak kesempatan membangun jaringan. Pertemuan dengan sosok-sosok ternama di jagat perfilman membuka pintu untuk proyek-proyek film garapan mereka berikutnya.
Sebenarnya festival film internasional itu bukan semata karpet merah yang serba glamor. Di balik itu, para insan perfilman bekerja untuk banyak agenda karena film pendek pun harus memiliki dampak ekonomi. Ada film market, forum kritik, seminar estetika sinema, pameran, pemutaran film, dan pertemuan dengan para pembuat film lain.
Banyak kritikus, jurnalis, agen, distributor, programmer festival lain, juga penonton yang akan menonton film dan memberi penilaian. Di situlah ”hidup” film pendek bakal ditentukan.
Uji gagasan
Di tengah keterbatasan ruang distribusi film pendek di Indonesia, keberadaan film pendek di kancah internasional ini memberi energi besar, baik bagi belantika perfilman Indonesia maupun bagi para pembuat filmnya. ”Buatku, film pendek itu platform yang paling tepat untuk memperkenalkan film pendek ke publik internasional. Semakin besar atau bergengsi festivalnya, semakin luas titik pertemuan antara film dan penonton,” ujar Bayu.
Diterimanya film pendek di festival film internasional menjadi semacam indikator bahwa gagasan atau cerita dari Indonesia diterima penonton global. Tidak perlu merasa inferior karena merasa dari Indonesia yang kurang dikenal. ”Masih banyak pembuat film yang berpikir, cerita dari Indonesia kurang menginternasional. Sebenarnya tidak juga. Kalau cerita kuat, ya, kuat saja. Film bagus, ya, bagus saja, enggak pakai tapi-tapi,” lanjutnya.
Bayu mencontohkan film On the Origin of Fear yang berlatar kisah tragedi 1965. Meski prosesnya cukup panjang, film berdurasi 15 menit itu hanya shooting satu hari pukul 08.00-20.00. Lokasinya di sebuah ruangan, aktornya cukup dua, dan kru adalah teman-teman dekat.
Film itu didaftarkan ke program kompetisi utama Cannes, tetapi tidak tembus. Bayu lalu mengirim ke Venesia dan diterima. Setelah diputar di Venesia, On the Origin of Fear lalu ”berkelana” keliling dunia, diputar di puluhan festival film di sejumlah negara.
”Yang menyenangkan buatku, ternyata film sederhana itu bisa diterima penonton yang sangat luas. Saat diputar di Venesia, respons penonton juga luar biasa. Di luar gedung bioskop, ada penonton yang tidak kami kenal, mereka bicara dalam bahasa Italia sambil memperagakan adegan mencekik leher seperti di film. Luar biasa,” kenang Bayu.
Sama seperti pengalaman Bayu, film Kado karya Adit setelah menang di Venesia langsung diminta diputar di 10 festival film, antara lain Vladivostok, Busan, dan Montreal. ”Jika bisa masuk festival besar, otomatis festival yang lebih kecil akan menghubungi kita. Exposure jadi semakin besar. Di tengah ruang putar yang terbatas, napas film pendek justru bisa lebih panjang. Bisa sampai dua tahun,” ujarnya.
Film A Lady Caddy who Never Saw a Hole in One karya Anggi Noen yang mulai dirilis tahun 2013 di Festival Film Internasional Busan di Korea Selatan masih menang di Short Shorts Film Festival di Tokyo tahun 2014. Tahun 2015, film ini masih diputar di sejumlah negara lain.
Lady Caddy bahkan memenuhi syarat untuk mendaftar di bursa Academy Awards atau Oscar. ”Berbeda dengan film panjang yang didaftarkan oleh negara ke Oscar, film pendek harus menang di salah satu dari banyak festival film mitra Oscar di seluruh dunia. Kalau menang, otomatis terdaftarkan. Namun, setelah itu harus dikampanyekan lagi di hadapan para juri agar mendapat suara. Meskipun sudah eligible to submit Oscar, jalan masih panjang. Biayanya tidak sedikit pula,” tutur Anggi.
Selektif
Didukung kemudahan memproduksi film pendek sekarang ini dan kemudahan mengirimkan karya ke festival internasional, gairah para pembuat film semestinya juga semakin bergelora. Wregas mengungkapkan, Prenjak dibuat dengan anggaran ”hanya” Rp 3 juta dan kru 12 orang. Adapun Lembusura didukung empat kru dan biaya Rp 35.000 untuk membuat topeng.
Kendati tidak tersurat, festival-festival film internasional itu memiliki karakter masing-masing. Berdasarkan pengamatan Wregas, festival film di Asia atau Asia Tenggara lebih mengutamakan cerita ketimbang teknis profesional. Di Eropa, terutama Cannes, penilaian kualitas gambar dan production value jadi salah satu pertimbangan selain tentu saja cerita yang kuat.
”Di Berlin, visinya memilih film pendek yang cenderung ada eksperimentasi. Ada kebaruan atau semacam eksplorasi bentuk dan artistik yang ditawarkan dalam film pendek. Itu sebabnya Lembusura bisa masuk Berlin. Tidak ada cerita, tidak ada skrip, tidak ada konflik yang harus diselesaikan. Murni eksperimental bagaimana saya merespons hujan abu vulkanik di Yogyakarta. Saya tidak menawarkan cerita, tetapi nuansa dan perasaan,” papar Wregas.
Walaupun label internasional selalu terlihat bergengsi, para sineas ini mengingatkan, festival film ada banyak ragam dan jenjangnya. Tidak sembarang festival film di luar negeri bisa disematkan di sebuah film agar terlihat keren. Festival besar tidak semata-mata menilai simbol populer, tetapi capaian estetik, kebaruan sinematik dalam penyampaian gagasan, atau kritik terhadap masyarakat dan geliat dunia hari ini.