Sepenggal Kenangan Masa Kecil
Perias wajah dan rambut para pesohor, Dido Dihardjo, yang juga pemilik Salon Dido, sangat pemilih jika soal pengaturan desain rumah. Ia tak mau memiliki rumah yang banyak kembarannya. Berbekal latar pendidikan arsitekstural, rumahnya lantas didesain sendiri dengan konsep etnik. Lalu, hadirlah rumah ala tradisional Jawa yang sudah dikontemporerisasi di hiruk pikuk kota.
Gending Jawa terdengar mengalun dari pemutar musik begitu memasuki rumah samping yang justru menjadi sentra kegiatan sehari-hari bagi Dido. Gebyok ukir-ukiran dari jati tua menjadi penyekat ruangan di rumah joglo itu. Interior rumah juga didominasi jati, termasuk hiasan lampu dari kayu bekas luku atau bajak sawah hingga lemari dari kayu bekas gebyok di sudut dapur.
”Enggak mau punya rumah yang kodian dikembari orang. Maunya limited dengan konsep sendiri. Ini aslinya bukan rumah untuk usaha jadi pengin yang jauh dari bisingnya kendaraan dan asap, serta ada pohon besar. Dulu ini lapangan bulu tangkis,” kata penata rias Cherrybelle, Smash, 7 Icons, dan Aura Kasih ini memulai perbincangan.
Di ruang makan yang terletak di sudut joglo, Dido menyuguhkan menu makan siang yang didominasi sate ayam dan sate kambing yang dibelinya dari tetangga seberang rumah. Lokasi rumah memang sengaja dicari di tengah perkampungan penduduk sehingga masih mengesankan nuansa pedesaan.
”Tiap hari, otakku diperas, dituntut kerja kreatif terus. Penginnya rumah yang rileks. Nuansanya seperti pertama kali aku melihat dunia. Suasana kampung,” tambahnya.
Lahir dari keluarga juragan batik di Karanganyar, yang merupakan lumbung padi Jawa Tengah yang kental dengan suasana pedesaan, Dido lantas memberi sentuhan batik pada interior rumah. Alas piring makan di meja makan dilapisi dengan batik lawasan Solo. Sebagian dindingnya, sarung bantal hingga plafon kamar mandi pun dihiasi dengan sentuhan batik-batik tulis.
Soko guru atau tiang penyangga utama joglo sengaja dibuat dari kayu jati berusia di atas 50 tahun yang didatangkan dari Hutan Wonogiri sedangkan gebyok jati berasal dari Solo. Kehadiran kayu-kayu jati tersebut menonjolkan kesan natural. Apalagi, warna asli kayu memang dipertahankan alamiah dengan proses pemolesan memakai gerinda, tanpa pelitur.
Untuk mengurangi debu yang biasanya masuk lewat kisi-kisi atau celah genting joglo, bagian atap ditutup dengan bilik bambu yang juga berfungsi sebagai peredam suara. Konon, bilik bambu juga mampu meredam radiasi. Semua bagian rumah akhirnya kental warna coklat yang natural. ”Karakterku alami etnik klasik,” tambahnya.
Kesan agraris
Hiasan berupa ukiran kayu sengaja diminimalkan agar tidak memperumit proses perawatan. Gebyok polosan dipasang supaya tidak memberikan kesan terlalu heboh. Hanya gebyok pemisah dengan halaman yang sengaja ada ukiran tiga dimensi yang sekaligus berfungsi sebagai ventilasi udara. Kesan agraris dimunculkan dari hiasan kendi hingga periuk nasi dari tanah liat yang dipajang di bubungan atap.
Di balik sekat gebyok jati yang memisahkan ruang tamu, Dido menghabiskan hari-harinya lebih banyak di kamar tidur yang nyaman. Ruangan dengan dinding yang batu batanya sengaja ditonjolkan tanpa disemen atau dicat ini menyatu dengan kamar mandi. Dari kasur, kamar mandi tampak transparan karena hanya dibatasi kaca tipis. Kamar mandi tampil elok dengan hiasan beragam tanaman hidup.
Semua bagian rumah dibersihkan secara menyeluruh setiap sebulan sekali untuk menghalau debu dan kotoran. Awalnya, rumah di Kawasan Bintaro ini sengaja didesain untuk tempat tinggal, sedangkan Salon Dido berlokasi di Kemang, Jakarta Selatan. Namun, seiring waktu semakin banyak pelanggan yang datang dan meminta dilayani di rumah tersebut. Akhirnya, Dido mengalah dan membuka salon di rumahnya hanya setiap hari Minggu dan Senin.
Untuk mewadahi pelanggan, ruang salon dibuat di samping ruang tamu di rumah joglo. Memangkas rambut atau merias diri di rumah yang bernuansa etnik memberikan kesegaran berbeda. Apalagi, pelanggan bebas bersantai di ruang tamu di bangku- bangku kayu jati bekas lelangan galeri seni yang dilapisi karpet bulu dan bantal-bantal empuk.
Anak-anak juga betah bermain memandangi akuarium atau berlarian di halaman yang rindang oleh pepohonan. Saat ini, pohon durian montong di halaman itu sedang berbuat sangat lebat menjanjikan panenan yang bakal menggiurkan selera. Pepohonan besar sengaja dihadirkan sebagai penyaring udara dan peneduh yang menyejukkan rumah.
Jika pelanggan bosan di dalam joglo, masih ada pilihan ruangan salon di teras depan yang menghadap kolam ikan. Salon di teras ini dilengkapi dengan lemari rias dari kayu kuno. Ada pula, ruang salon di lantai satu di bangunan utama dua lantai yang terpisah dari joglo samping. ”Bebas karena ini rumah sendiri. Konsepnya rumah keluarga. Tamuku, ya, keluargaku. Kita jual jasa harus welcome,” ujar Dido.
Rumah murai
Lebih sering beraktivitas di rumah joglo, Dido sangat jarang mampir ke bangunan utama. Ia bahkan mengaku sudah lebih tiga bulan tidak menginjakkan kaki ke lantai dua bangunan utama yang kini ditempati asisten rumah tangga dan kemenakannya. Di lantai dua itu juga terdapat kandang bagi burung murai dan burung jenis lovebird.
Ruangan teras lantai dua disulap menjadi kandang raksasa untuk anakan burung murai. Beberapa pasang burung lovebird tampak asyik saling menyuapi makanan di kandang. Sebagian lainnya sibuk mengerami telur. Sepasang murai yang sengaja dilepas segera terbang menyambar ketika anak-anaknya didekati.
Hampir tiap sudut di rumah itu menjadi rumah bagi beragam jenis burung. Beragam jenis burung ini dihadirkan untuk memperkaya atau mengisi suara burung murai yang memang diternakkan secara profesional di rumah ini. Di halaman belakang rumah, ada setidaknya sepuluh kandang untuk ternak burung murai. Dari kandang-kandang itu, Dido bisa memanen minimal 5 anak murai per bulan. Setiap anakan murai laku Rp 2 juta-Rp 3 juta di pasaran.
Di sebuah kandang yang dihuni sepasang murai tampak pejantan murai bernama Slamet yang sempat ditawar Rp 60 juta. Namun, Dido enggan melepas karena Si Slamet tergolong pejantan hebat dengan anakan yang berkualitas baik. ”Dari murai, bisa belajar kesetiaan. Kalau enggak cinta, dimatiin dan enggak mau kawin. Lovebird malah ikut mati kalau pasangannya mati. Kalau stres, aku kalau enggak megang kanvas, ya, tanaman, atau mesin jahit. Burung hanya menikmati saja ada susternya,” kata Dido.
Berlatar belakang pendidikan arsitekstur, Dido sudah memiliki perusahaan pelayanan pengiriman kontainer barang ke Asia dan Eropa dari sejak sebelum lulus kuliah. Dua perusahaannya bangkrut dan pernah dibakar karena kerusuhan serta krisis moneter 1998. Hobi melukis lantas membawanya ke profesi sebagai perias wajah. Ia memenangi lomba melukis wajah manusia pada 2006 menjadi perias wajah di majalah yang membuka pintu relasi ke dunia artis. Beberapa perusahaan rekaman, seperti Nagaswara dan Sony BMG Music Entertainment Indonesia, memintanya mengonsep artis barunya.
Ketika menangani Cherrybelle, misalnya, ia mengonsep riasan agar mereka terlihat seperti 9 gadis kembar. Dari permintaan para artis pula, Dido membuka praktik salon di Kemang sejak 2006. Dalam sehari, minimal ada 40 pelanggan yang datang. Sebelum membuat konsep riasan, Dido terbiasa menganalisis struktur tulang wajah dan karakter personal klien.
”Sehari bisa ngonsep 2-3 grup artis. Manusia punya karakter, beda dengan mendesain rumah yang hanya butuh aspek mata dan keindahan. Bikin rumah kalau enggak sesuai bisa dibongkar. Kalau ngonsep manusia, mereka punya taste fashion dan karakter, bisa nangis kalau asal,” tambah Dido yang juga menekuni profesi sebagai desainer interior.