Ruang dalam Sketsa
Dari beragam latar belakang profesi, mereka disatukan oleh kegemaran menggambar sketsa. Tak berhenti sebagai hobi individual, para penggambar sketsa ini berkomunitas dan menghasilkan banyak kelompok penggemar sketsa. Para pembuat gambar sketsa Indonesia ini juga cukup diperhitungkan di kancah dunia.
Tingginya minat pada sketsa bisa dilihat di ajang 101 Travel Sketch yang digelar pada 3-4 November 2018 dan diikuti 450 orang. Diselenggarakan oleh Panorama Group bekerja sama dengan Sketchwalker, ajang itu melibatkan banyak komunitas, seperti Indonesia’s Sketchers, KamiSketsa Galeri Nasional, Bogor Sketchers, Maluku Sketchwalk, Bandung Sketchwalk, Urban Sketchers Surabaya, Urban Sketchers Semarang, Urban Sketchers Singapore, dan Urban Sketchers Shanghai.
LK Bing dari Urban Sketcher Surabaya, misalnya, menjadi satu-satunya orang Indonesia yang menjadi mentor di simposium urban sketcher internasional.
Dalam ajang yang digelar tiap tahun sekali tersebut, Bing sudah tiga kali menjadi pengajar. Tahun ini, ia pun sudah mendaftarkan diri sebagai pengajar pada simposium urban sketcher internasional yang kali ini digelar di Portugal.
Dari foto-foto dokumentasi, tampak Bing mengajar di sudut-sudut kota di Manchester dan Chicago. Di Chicago, ia dikerubungi banyak pencinta sketsa yang menimba ilmu membuat sketsa dengan pendekatan townscape. Dari penataan bangunan, jalan, hingga ruang yang menghiasi perkotaan, Bing mengajarkan tentang teknik pembuatan sketsa. ”Saya melengkapi lebih ke bagian suasana kota. Atmosfer kotanya,” kata Bing yang sebelumnya berprofesi sebagai dosen arsitektural.
Sebagai seorang arsitek, Bing sebenarnya sudah lama mengakrabi sketsa. Namun, begitu menekuni dan terjun lebih dalam ke dunia gambar sketsa, ia malahan pengin meninggalkan profesi arsitek.
”Supaya bisa melengkapi sketsa, saya harus meninggalkan karakter arsitektur saya. Saya meninggalkan garis-garis dan lebih ke arah artistiknya. Lebih ke arah fotografis. Saya lebih mementingkan cahaya, bukan garis,” katanya menambahkan.
Karya-karya sketsa Bing kemudian lahir tanpa garis-garis yang tegas, bahkan lebih menyerupai bayangan. Suasana yang dihadirkan pun menjadi lebih dramatis. Karya sketsanya merekam suasana, bukan kebenaran garis. Ada nilai personal yang ingin dibagikan. Ia misalnya membuat sketsa untuk setiap tempat yang ditujunya ketika keliling Eropa.
Nilai personal
Nilai personal pula yang ditempelkan oleh Krishna A Prajogo dari Urban Sketchers Bali. Ketika membuat sketsa tentang kota terlarang di Beijing, China, Krishna menempelkan tiket masuk seharga 60 yuan hingga tiket monorail.
”Sebagai visual journalism. Enggak nyari kesempurnaan. Saya merekam lewat sketsa: ramai, cuaca bagus. Ada ceritanya,” kata Krishna yang berprofesi sebagai arsitek dan fotografer.
Semakin mengakrabi goresan sketsa, Krishna melihat dunia fotografi menjadi terlalu biasa saja. Kini, ia cukup jepret sekali dengan kamera, lantas menghabiskan waktu lebih banyak untuk menggambar sketsa. Pada saat merekam matahari terbenam, misalnya, hanya lima menit waktu yang dihabiskan dengan kamera.
Sebanyak 15-30 menit digunakan lebih banyak untuk menyerap perasaan yang tumbuh menyaksikan keindahan sembari membuat sketsa. Dengan demikian, jiwa dan otak akan menyimpan lebih banyak. Bukan sekadar mata yang bekerja.
Tak sekadar gambar, sketsa yang merupakan goresan spontan dilakukan dengan cepat ternyata bisa merekam curahan perasaan. Sketsa bisa merekam semua informasi. Tak hanya apa yang dilihat mata, tapi juga perasaan yang melingkupinya.
”Merupakan momen penting untuk tubuh dan jiwa. Jadi, kayak meditasi. Duduk sejam di halte bus, ada bus yang nyemprotin debu, klasik. Harus fokus menyelesaikan gambar kayak meditasi. Terapi untuk happiness,” ujar Krishna.
Sketsa pula yang menemani saat harus menunggu sesuatu. Membuat sketsa menjadikan waktu berjalan lebih cepat dan tak membosankan. Kekuatan sketsa terletak pada spontanitasnya. Sketsa dimulai dan diselesaikan pada waktu itu juga, tanpa harus menunggu pergantian waktu atau hari.
Ketika bepergian lantas membuat sketsa perjalanan biasanya waktu yang tersedia sangat terbatas. Pembuat gambar sketsa harus memaksimalkan keterbatasan waktu dan kertas untuk membuat karya yang bisa dikenang. Ke mana pun pergi, pencinta sketsa pun terbiasa membawa alat gambar dan buku sketsa.
Minat tinggi
Setiap penggemar sketsa bebas mengekspresikan gaya masing-masing tanpa harus mengikuti teknik dari orang lain. Karya yang unik pula yang membuat gambar sketsa begitu spesial.
Karya-karya sketsa Bing laku terjual di tangan kolektor. Demikian pula sketsa karya Krishna. ”Secara ekonomi sangat bagus. Pengin fulltime di artis sketsa,” tambah Bing.
Kegemaran pada sketsa pun telah merambah luar Jawa. Sejak 2016, penggemar sketsa bermunculan di Maluku hingga lahirlah komunitas seperti Maluku Sketchwalk yang kini memiliki anggota hingga 40 orang. Mereka terpusat terutama di Ambon dan Banda.
”Saya dari dulu melukis. Bedanya karena harus cepat itu tantangannya. Merekam suasana yang ada dalam bentuk sketsa. Ada observasi ketika melihat suasana. Beda dengan foto,” kata Embong Salampessy yang berlatar belakang sarjana perikanan dan tergabung di Maluku Sketchwalk.
Embong tertarik mengikuti ajang 101 Travel Sketch karena kebetulan sedang bertugas di Jakarta dan ingin belajar dari workshop yang digelar. Dari pengajar asing seperti Don Low, misalnya, ia antara lain belajar teknik menggambar sketsa figur manusia. ”Biasanya ngandalin feeling. Kita jadi tahu proporsi pembagian tubuh orang,” katanya.
Selain bangunan bersejarah seperti benteng, masjid, dan gereja tua, kehidupan keseharian masyarakat Maluku juga menjadi obyek sketsa yang sangat menarik. Maluku juga memiliki keindahan pantai tiada tara.
Keberagaman obyek sketsa itu pula yang membuat ajang international sketch-walk baru-baru ini digelar di sana.
Berpegang pada moto bahwa ”sketching unites us”, sketsa terbukti telah mempersatukan banyak profesi dan golongan. Semua orang bisa dan boleh membuat sketsa. Para penggemarnya ada yang berprofesi sebagai arsitek, desainer interior, animator, komikus, penulis, bloger, dan seniman.
Tak hanya untuk kepuasan pribadi ataupun merekam keindahan, beberapa komunitas pencinta sketsa juga memiliki ketertarikan untuk melestarikan dan mempromosikan budaya serta warisan setempat melalui sketsa.
”Perkembangan sketsa di Indonesia sangat pesat. Ke depannya sketsa bisa menjadi suatu kebiasaan, seperti orang membuat foto pada saat bepergian,” kata Artyan Trihandono, koordinator komunitas di ajang 101 Travel Sketch.