Tren Pemandu Arah
Tren mode membantu perancang busana mengenali minat pasar yang diperkirakan akan muncul. Prediksi itu ketika dipadukan dengan kreativitas dan idealisme diharapkan dapat membantu sang perancang menaklukkan pasar.
Tren mode sesungguhnya bukan sekadar upaya memprediksi minat pasar yang akan timbul, melainkan juga usaha membentuk dan menciptakan minat konsumen ke arah tertentu melalui kampanye terus-menerus.
Selama dua tahun terakhir, upaya menyusun tren ini terlihat, antara lain dilakukan Indonesia Trend Forecasting (ITF) yang didukung Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf). Prediksi tren mencakup empat subsektor ekonomi kreatif, yakni mode, desain interior, desain produk, dan kriya.
Jika tahun lalu prediksi tren diberi tema besar ”Greyzone”, tahun ini adalah ”Singularity” yang menjadi trend forecasting 2019. Tema besar ”Singularity” dibagi lagi menjadi empat subtema, yakni exuberant, neo medieval, svarga, dan cortex. Tren yang disusun ini dikatakan telah melalui proses riset, diskusi, pengamatan terhadap perkembangan gaya hidup, dan tetap memperhatikan prediksi tren dunia.
”Prediksi tren dunia diikuti oleh pelaku-pelaku yang sangat kuat ekonominya. Mereka mengampanyekan trendforecasting itu besar-besaran sehingga lama-lama memengaruhi pikiran kita dan menjadi arus utama,” kata Ali Charisma, Ketua Umum Indonesian Fashion Chamber yang juga terlibat dalam tim penyusun ITF.
Pihaknya merasa Indonesia perlu menyusun sendiri prediksi trennya agar dapat memasukkan elemen budaya Nusantara ke dalam karya. Misalnya, dalam bidang mode berupa penggunaan kain-kain tradisional. ”Mimpi kami suatu saat Indonesia juga bisa jadi pusat mode dunia. Untuk itu, kita harus punya ciri khas atau identitas. Ini harus ada yang mengarahkan, ya lewat trend forecasting Indonesia,” katanya.
Menjelang tutup tahun, pihaknya bersama Bekraf menggelar peragaan busana dan bincang-bincang tentang prakiraan tren ini di Jakarta dan sejumlah kota lain, seperti Jakarta Fashion Trend 2019. Ada 25 desainer yang menampilkan enam karya mereka masing-masing, baik baju modest maupun konvensional, dalam kegiatan yang berlangsung di Hotel Gran Melia, Jakarta, pekan lalu.
”Tiap daerah menyampaikan trennya beda-beda. Misalnya, di Jakarta lebih bergaya urban dan street wear. Di Surabaya lebih ke arah gaya cocktail dan seterusnya,” tambah Ali yang dalam kesempatan ini juga turut menampilkan koleksi terbarunya yang mengambil subtema gabungan antara svarga dan neo medieval.
Svarga mengusung konsep sebagai jembatan dari berbagai perbedaan untuk menjadi satu harmoni. Sementara neo medieval mengangkat unsur romantisme dari abad pertengahan dengan palet warna-warna yang netral dan membumi.
Ali menggunakan tenun troso dari Jepara dan batik cap dari Pekalongan untuk koleksi yang diperuntukkan bagi musim dingin dan gugur. Kedua jenis kain itu dipilih karena mempertimbangkan kesiapan untuk produksi massal. Selama ini, kendala pelibatan kain tradisional adalah pada proses reproduksi yang tidak mudah karena merupakan buatan tangan yang butuh waktu lama dan tidak bisa sama persis.
Inspirasi rumah sakit
Lain lagi dengan pilihan Lisa Fitria yang mengambil subtema exuberant sebagai napas koleksi terbarunya. Subtema ini ia kawinkan dengan inspirasi rumah sakit. Lisa berangkat dari pengalaman pribadinya saat menunggui sang ibu yang terkena penyakit kanker payudara.
”Setiap ke rumah sakit kok rasanya dingin, tidak enak, sunyi. Kemudian kepikiran bikin sesuatu, yakni baju-baju yang fun dan ceria untuk membunuh kesan dingin dan kaku di rumah sakit,” ungkap Lisa tentang koleksi terbarunya yang berjudul ”Hope”.
Baju-baju berpotongan baju lab dibuat dari bahan-bahan bermotif dari paduan warna hitam, putih, dan merah. Motif-motif hasil cetak digital itu berupa visual denyut jantung dan hati. Penampilan koleksinya di atas landasan peraga menarik perhatian dengan aksen berupa stetoskop merah yang dijadikan hiasan kepala.
Desainer muda Risa Maharani dan Raegita Zoro juga mengambil subtema exuberant sesuai dengan gaya desain mereka yang dinamis, ceria, dan optimistik. Hal ini terlihat dari pemilihan panel warna yang berwarna-warni dengan gaya urban yang sporty dan edgy.
Koleksi terbaru Risa yang bernuansa sporty-feminine merupakan kelanjutan dari koleksi sebelumnya, Ikatten. Dalam koleksi terbaru berjudul ”Gittinger” ini, Risa menambahkan warna-warna pada konsep sebelumnya, Ikatten, yang lebih bernuansa retro dan vintage. Menurut Risa, Ikatten yang berarti ikat-mengikat adalah istilah yang dipopulerkan seorang tokoh bernama Dr Zein pada tahun 1990 yang merujuk pada tenun ikat.
Ia juga menambahkan tas daur ulang berbahan plastik terpal pada tampilan keseluruhan. Tas biru ini diberi tali panjang berwarna kuning sebagai bagian dari kampanyenya agar masyarakat mengurangi pemakaian plastik.
Bagi Risa, adanya trend forecasting sangat membantunya sebagai perancang busana pemula. Risa baru satu tahun lulus dari SMK NU Banat, Kudus, Jawa Tengah, di bidang tata busana. Ia kemudian memenangi lomba yang memberinya kesempatan untuk mengikuti pameran dagang dan peragaan busana Asia’s Fashion Spotlight 2018 di Hong Kong. Ia juga mendapat kesempatan magang di Zoya dan IFC.
”Sangat membantu buat desainer seperti saya, jadi tidak hanya meniru gambar, melainkan bisa membuat inovasi baru dengan panduan trend forecasting. Selain itu, kita bisa mengikuti tren baru dunia,” katanya.
Koleksi terbaru Raegita juga masih menyisakan jejak koleksi sebelumnya, terutama dalam hal warna-warna neon yang ia aplikasikan pada baju-baju sporty oversize-nya yang berjudul Cyclone Summer. Bahan-bahannya dari sifon, wol, dan kaus.
Warna-warna neon memang menjadi ciri khas Raegita yang selalu ingin menyebarkan aura positif lewat koleksinya. Raegita juga merasa terbantu dengan adanya trend forecasting yang informasinya bisa diakses dengan mudah.
”Aku selalu ingin ada hal positif yang bisa diambil dari desain aku. Kalau waktunya mencukupi, sebenarnya aku ingin menambah dengan tempelan kata-kata positif, seperti winner never quit. Supaya semua orang tidak fokus pada masalah, melainkan pada solusi,” kata Raegita.