Anak Muda Sasaran Penyebaran Informasi Palsu di Media Sosial
Pesatnya perkembangan internet di dunia menyisakan persoalan maraknya penyebaran konten informasi palsu dan pengabaian perlindungan data pribadi. Permasalahan tersebut turut mendera generasi muda.
Hujan deras tidak meredupkan semangat Koordinator Gerakan Bijak Bersosmed Enda Nasution untuk menyampaikan tips bijak mendistribusikan konten di media sosial kepada 30-an pelajar sekolah menengah atas, Sabtu (24/11/2018), di lapangan parkir tenggara kompleks Gelora Bung Karno, Jakarta. Acara ini menjadi satu rangkaian literasi digital Siber Kreasi 2018 yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo).
Enda menyebutkan tujuh tips. Tips pertama, pengguna wajib memahami ketentuan yang dikeluarkan oleh penyedia media sosial. Kedua, pengguna harus paham cara berinteraksi. Karena pengguna berasal dari berbagai latar belakang, metode komunikasi harus berbeda satu target dengan lainnya.
”Berhati-hatilah dalam mengeluarkan komentar. Setiap komentar kita menghasilkan jejak digital. Jadi, pahami bahwa komunikasi di dunia nyata dan maya itu berbeda,” ujarnya.
Ketiga, dia menyarankan pengunjung pelajar mengerti hukum dan etika bermedia sosial, misalnya Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE). Selain hukum negara, pengguna juga harus paham adanya sanksi sosial yang biasanya dikeluarkan seenaknya oleh warganet.
Saat emosi bergejolak, sebaiknya tidak menulis status ataupun mengunggah posting negatif di media sosial.
Tips keempat berkaitan dengan emosi. Menurut Enda, saat emosi bergejolak, sebaiknya tidak menulis status ataupun mengunggah posting negatif di media sosial.
”Siapa tahu ada orang-orang tertentu di media sosial yang justru memanfaatkan situasi emosi kita itu,” ujarnya.
Hal kelima adalah pengguna perlu paham perbedaan fakta dan opini. Keduanya mendesak untuk dipahami sedini mungkin. Apabila terdapat berita palsu, pengguna semestinya mengecek kebenaran dan disarankan tidak emosi ikut mendistribusikan berita tidak benar.
Sementara tips keenam berkaitan dengan data pribadi. Enda menyarankan agar sejak usia muda tidak gampang mengumbar data pribadi di internet, seperti alamat rumah, nomor ponsel, dan tanggal lahir.
Tips terakhir ialah membangun kesadaran bijak bersosial media dari diri sendiri dulu. Ini membutuhkan ketekunan dalam melatih diri.
”Sebenarnya titik tekan kami dan juga Kemkominfo adalah menyikapi berita palsu. Konteks sekarang adalah tahun politik, begitu pula tahun 2019 mendatang. Kami mengamati penyebaran hoaks paling banyak bertema politik dan menyerang pengguna muda di ranah media sosial,” kata Enda.
Berangkat dari kekhawatiran itu, lanjut dia, literasi bijak bermedia sosial pun mengutamakan sasaran pelajar sekolah menengah atas. Apalagi, ketika Pemilu 2019 berlangsung, mereka termasuk dalam porsi 40 persen pemilih muda dan pemilih pertama.
Menurut dia, pendidikan politik melalui media sosial itu penting. Hanya saja, mayoritas bentuknya masih ”kampanye” diikuti konten palsu untuk menjatuhkan lawan politik.
Enda menambahkan, tren seperti itu tidak hanya dialami oleh Indonesia. Di negara penganut paham demokrasi lainnya, seperti Amerika Serikat, India, dan Brasil, kini justru menguat pendistribusian hoaksdan fake news.
”Indonesia tergolong masyarakat komunal. Selain melalui media sosial, penyebaran hoaksataupun fake news dilakukan melalui Whatsapp group serta aplikasi pengiriman pesan serupa,” imbuh dia.
Kebebasan berinternet
Propaganda, disinformasi daring, dan pengumpulan data pribadi tak terkendali semakin mewabah di ranah digital menjadi benang merah laporan Kebebasan Berinternet 2018 yang dikeluarkan oleh Freedom House pada awal November 2018. Hal ini tentunya senada dengan pernyataan Enda.
Freedom House merupakan organisasi nirlaba yang berkantor pusat di Washington DC, Amerika Serikat. Organisasi ini bergerak di isu kebebasan berserikat dan berpendapat.
”Tren tersebut terjadi sejak delapan tahun terakhir dan menyebabkan kebebasan internet secara global menurun. Pada 2018, temuan riset kami membuktikan bahwa internet dapat digunakan untuk mengacaukan demokrasi,” ujar Direktur Riset Bidang Teknologi dan Informasi Freedom House Adrian Shahbaz dalam pernyataan resmi di laman Freedom House.
Laporan Kebebasan Berinternet (Freedom on Net) adalah studi komprehensif tentang kebebasan internet di 65 negara. Negara-negara yang dipilih itu telah mencakup 87 persen pengguna internet dunia. Negara tersebut juga dianggap sudah mewakili beragam karakteristik geografis dan rezim.
Lebih dari 70 analis berkontribusi pada laporan edisi tahun 2018. Studi menggunakan metodologi penelitian 21 pertanyaan yang membahas akses internet, kebebasan berekspresi, dan masalah privasi. Selain memeringkat negara dengan skor kebebasan internet mereka, studi menawarkan peluang unik untuk mengidentifikasi tren global serta dampaknya terhadap kualitas informasi dan komunikasi warga.
Temuan utama Laporan Kebebasan Berinternet 2018 adalah 26 negara mengalami kemerosotan skor dalam kebebasan internet. Hampir setengah dari mereka yang mengalami penurunan skor berkaitan dengan pemilu.
Adrian mengatakan, istilah ”berita palsu” telah dikooptasi oleh para pemimpin otoriter untuk membenarkan tindakan keras terhadap perbedaan pendapat. Konten yang dipalsukan atau menyesatkan adalah masalah nyata, tetapi beberapa pemerintah menggunakannya sebagai alasan untuk meningkatkan kontrol mereka atas informasi. Pada tahun 2017, setidaknya 17 negara menyetujui atau mengusulkan undang-undang yang akan membatasi media daring dengan tujuan melawan ”berita palsu” dan manipulasi data secara daring.
Ketika pemerintah menyadari pentingnya data yang mengalir masuk-keluar dari negara, mereka menetapkan aturan dan hambatan baru atas nama kedaulatan nasional. Kebijakan ini memungkinkan para pejabat untuk mengontrol dan memeriksa informasi tersebut sesuka hati.
”Pemerintah di 18 dari 65 negara telah mengeluarkan undang-undang atau arahan baru untuk meningkatkan pengawasan sejak Juni 2017,” katanya sambil menjelaskan temuan penting lainnya dalam Laporan Kebebasan Berinternet 2018.
Sorotan terakhir yang tak kalah penting ialah beberapa negara responden sekarang mengharuskan perusahaan-perusahaan teknologi menyimpan data warga mereka di server lokal. Tujuannya adalah memudahkan badan keamanan nasional mengakses dan melindungi data warga negara dari potensi pencurian ataupun eksploitasi.
China, Rusia, Vietnam, Nigeria, dan Pakistan telah melembagakan persyaratan lokalisasi data. Pemerintah di India, rumah bagi populasi pengguna internet terbesar kedua di dunia setelah China, sudah mengusulkan aturan serupa dengan alasan utama melindungi privasi.
Perlindungan anak
Masih di acara Siber Kreasi 2018, pendiri Yayasan SEJIWA Diena Haryana menyebutkan, secara global, sekitar 65 hingga 80 persen anak muda terpapar perundungan digital. Jenisnya beragam, mulai dari penghakiman atas komentar hingga penilaian bentuk fisik tubuh.
”Anak muda, kan, biasanya belum terlalu lihai membedakan situasi dunia nyata dan dunia maya. Perundungan digital bisa berdampak ke psikologi anak,” ujarnya. Selain perundungan digital, anak muda juga rentan menjadi sasaran penyebaran hoaksdan fake news.
Diena menganggap, literasi digital memerlukan keterlibatan orangtua. Oleh karena itu, orangtua terlebih dulu harus melek digital.
Melek digital yang dimaksud mencakup hal-hal teknis ponsel pintar, internet, dan dampak positif-negatif konten digital bagi anak-anak. Dengan melek digital, orangtua akan mudah memberikan pemahaman kepada anak.
”Bukan melarang, tetapi berikan pemahaman. Diskusi dua arah,” ucapnya.
Head of Facilitator Young Interfence Peace Community (YIPC) Jakarta Yuniar Dwi Setiawati mengatakan, konten hoaksataupun fake news sering kali negatif dan berusaha memecah belah suku, agama, ras, dan antargolongan. Cara menghadapinya adalah memperbanyak konten-konten berbau perdamaian.
YIPC merupakan komunitas anak muda lintas agama. Tujuan utama komunitas ini adalah mengajarkan pesan perdamaian. Setiap tahun komunitas ini mengadakan kemah anak muda yang salah satunya diisi materi dialog antaragama.