JAKARTA, KOMPAS — Dua atau tiga unsur berbeda tak selamanya membawa pertentangan. Kalau dirajut dengan baik, tiga anasir berbeda itu justru menghasilkan harmoni. Harmoni dalam perbedaan didamba selalu di negeri yang rentan terkotak-kotak ini.
Pematung Gabriel Aries menunjukkan harmoni dalam perbedaan itu melalui pameran tunggalnya. Lima karya baru diberi tajuk ”Sela Sawala”, sedangkan sembilan karya lamanya yang pernah dipamerkan di Bandung, Jawa Barat, Mei 2018, dengan tema ”Kontras Materi”, juga turut ditampilkan. Pameran yang dilaksanakan di Rumah Miring, Pondok Indah, Jakarta, itu berlangsung pada 24 November-9 Desember.
Batu lonjong berwarna krem tua. Separuhnya tersambung dengan wadah transparan berwarna ungu. Dari wadah itu cahaya memendar. Batu dengan sambungan wadah transparan dari resin itu menghiasi dinding.
Berjarak 6 meter, tangga dari batu berwarna krem muda tergeletak di lantai. Tangga dari batu marmer yang setengahnya pecah dirangkai dengan material lempeng dari akrilik yang tampak menyerupai kaca agak gelap. Tangga dengan tiga anak tangga itu jadi utuh. Material akrilik ditopang dengan tabung berwarna agak putih dari bahan resin.
Di dinding bagian selatan ruang pameran, kepingan batu berwarna krem tua menghiasi kotak dari resin. Ada banyak kotak menempel di dinding. Potongan kecil batu marmer tersebut bak potongan kue di dalam stoples di rumah. Kotak-kotak gagah ditopang lembar akrilit.
Di lantai tiga di ruangan berukuran 5 meter x 3 meter, dua keping batu berwarna coklat cerah tertancap masing-masing pada lempeng dari resin. Keping batu itu runcing bagian atas dan bawahnya. Secara visual, dua keping batu tersebut seperti potongan tengkorak manusia.
Kurator pameran, Gumilar Ganjar, menyatakan pameran tersebut merupakan tonggak sejarah untuk Gabriel. Sejak pameran mini di Bandung pada Mei 2018, pematung tersebut tak hanya memakai batu sebagai materi seni, tetapi juga resin dan akrilik. Selama ini, Gabriel tampil sebagai sosok pematung dengan materi tunggal batu.
Batu dan resin, juga akrilik yang mirip resin, kontras tak hanya soal warna atau bentuk, tetapi juga hakikatnya. Batu bersifat alami (natural), sementara resin (dan akrilik) merupakan produk artifisial (pabrikan).
Batu yang dibentuk Gabriel merupakan batu lokal Nusantara. Ada yang didapat dari pengepul di Padalarang, Jawa Barat. Batu marmer diperoleh juga dari kawasan tambang.
Resin merupakan material pabrikan yang berbahan dasar getah, biasanya dari kelas pohon runjung. Adapun akrilik sejenis kaca, tetapi bersifat termoplastis (luluh jika dipanasi).
”Dari materi yang berbeda, saya membuat sawala atau negosiasi agar materi berbeda secara hakiki itu menjadi satu kesatuan,” kata Gabriel yang kelahiran Jakarta itu.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan sawala, serapan dari bahasa Sunda, berarti debat, bantah, diskusi. Gabriel memahaminya negosiasi, barangkali merujuk pada diskusi yang hasil akhir biasanya titik temu gagasan yang lahir karena negosiasi.
Gumilar menambahkan, karya kontras materi Gabriel mencerminkan harmoni. Harmoni itu justru lahir dari materi-materi berbeda.
Jika koleksi seniman tamatan Jurusan Seni Patung Institut Teknologi Bandung itu lepas dari dua kontras materi, karya seni tersebut barangkali monoton. Hanya batu atau resin atau akrilik. Namun, perpaduan batu dengan resin atau akrilik dalam berbagai bentuk wadah membuat koleksi tersebut enak dipandang mata.
Meski mengaku karya seni pematung sering tak menjadikan kondisi sosial sebagai refleksi, Gabriel menyatakan karya-karyanya releven dimaknai dalam konteks Indonesia. Bangsa-negara ini terdiri atas berbagai ”materi” perbedaan. Di tahun politik, perbedaan itu jadi sangat tajam karena setiap orang punya pilihan politik dan selalu ada potensi konflik di sana.
”Di Indonesia, konflik sering terjadi karena perbedaan. Di sini perlu saling menghargai atau mengalah. Itulah negosiasi dalam perbedaan sehingga menciptakan harmoni,” ujarnya.
Batu, resin, dan akrilik dalam koleksi Gabriel dirajut jadi harmoni alih-alih hegemoni. Indonesia yang kaya perbedaan ini harusnya juga demikian senantiasa.