Elaborasi Pertentangan
Pertentangan tidak selalu berarti buruk atau negatif. Pertentangan yang diolah sedemikian rupa bisa pula menghasilkan harmoni yang menarik dan saling mengisi. Koleksi terbaru Studio 133 oleh Biyan menawarkan perkawinan pertentangan.
Bagi Biyan Wanaatmadja, sang desainer, pertentangan bukan hal yang menakutkan. Pertentangan yang konstruktif justru dapat saling memperkaya dan memberi perspektif baru terhadap definisi harmoni dan keindahan. Dalam koleksi terbaru lini siap pakainya, Studio 133, Biyan menabrakkan berbagai motif dan material dalam satu panel busana.
”Pertentangan itu bisa memperkaya. Bagi saya sendiri, merasa mendapat energi, excitement,” kata Biyan tentang koleksinya yang berbasis pada konsep juxtaposition.
Dirancang sebagai koleksi musim semi/panas, warna dan motif yang ditampilkan meriah dan ceria. Rok polkadot melambai berwarna oranye dipadukan dengan blus polkadot hitam lalu dibungkus dengan outer atau rangkapan luar bermotif floral. Koleksi lain, celana panjang bermotif buketan dipadukan dengan atasan dengan motif yang mengadopsi motif kilim, ornamen yang sering ditemukan pada karpet atau permadani Timur Tengah.
Motif kilim diolah kembali, disusun dalam format motif scarf. Sementara motif buketan yang biasanya tampil berwarna pastel nan lembut pada kain batik kali ini dibubuhi dengan warna yang kuat dan berani. Selain ditabrakkan dengan ornamen kilim, motif ini juga dipadukan dengan motif polkadot, garis, dan grafis. ”Tidak semua pertentangan itu harus diterus-teruskan menjadi pertentangan. Namun, dari pertentangan itu kita bisa mendapatkan semangat muda, seperti rejuvenating,” tegas Biyan kembali.
Dalam satu panel busana, ia juga mengawinkan beberapa jenis material dengan karakter dan tekstur berbeda, seperti katun, sutra, dan lace atau brokat. Berbagai model baju ditampilkan dengan keinginan menghadirkan semua yang dibutuhkan untuk keperluan sehari-hari.
Ada blus berpotongan kebaya, baby doll, piyama, kaftan, tunik, jaket, rangkapan panjang, hingga celana panjang dan rok plisket. Siluet longgar mewarnai potongan busana yang ditawarkan.
Selain koleksi busana wanita, Studio 133 juga mengeluarkan koleksi busana pria. Meski tidak seberani menabrakkan motif seperti pada busana perempuan, baju-baju pria juga menawarkan tabrak motif dan warna.
Atasan oversized atau gombrang bermotif garis-garis dihiasi dengan ornamen kilim. Kemeja disusun dari aneka motif yang tumpang tindih, garis-garis, polkadot, dan floral, dilapisi dengan coat dan celana pendek bermotif tartan.
Studio 133 adalah lini sekunder yang dibangun Biyan pada 1985. Angka 133 adalah nomor rumahnya di Surabaya yang digunakan sebagai studio kerja. Di rumah itulah kariernya sebagai perancang busana dimulai. Saat itu, ia masih membuat pola sendiri dengan dibantu seorang asisten. Pekerjaan ini terus digeluti hingga kini menempuh rentang waktu lebih dari 36 tahun.
”Saya bersyukur sekali setelah sekian lama menjalani siklus panjang ini masih diberi kesempatan bekerja dan berkreasi. Ini karunia yang luar biasa dan membuat saya tidak mau tinggal diam begitu saja. Seperti ada sesuatu, mungkin adrenalin, yang membuat saya seperti restless, bersemangat terus, dan rindu melakukan sesuatu,” papar Biyan.
Modern dan tradisional
Dua tiga tahun setelah pulang menimba ilmu mode di London, Inggris, Biyan yang saat itu sedang membangun lini utamanya ditawari mengisi gerai sebuah department store atau pusat belanja di Jakarta.
Dari sini, ia membangun lini keduanya, Studio 133, yang lebih mengarah pada baju siap pakai yang masih menampakkan ciri baju-bajunya di lini pertama. Pendek kata, Studio 133 adalah versi simpel dari lini pertamanya.
Percampuran antara tradisi dan modernitas adalah konsep dasar Biyan untuk Studio 133. Di tahun-tahun awal kariernya, Biyan pernah diminta beberapa kali berpartisipasi dalam Singapore Asian Designer Show. Ia dengan beberapa desainer asal Indonesia lainnya, seperti Ghea Panggabean dan almarhum Prajudi, tampil bersama desainer dari negara lain, seperti dari Filipina, Malaysia, dan Thailand.
Jika Prajudi dan Ghea mengusung konsep tradisional dan etnik, Biyan lebih ke arah kontemporer. Saat itu, Singapura sedang berambisi menjadi basis desainer di Asia. Meski menawarkan pasar besar, Asia tidak pernah dilirik sebagai negara mode. Padahal, wilayah ini menawarkan sumber daya manusia dan kreativitas yang kaya.
”Saat itu, saya dan beberapa desainer diundang presiden asosiasi mode di Singapura untuk bertukar pikiran. Bagaimana kita bisa melestarikan warisan budaya tradisi lewat karya masing-masing,” ungkap Biyan.
Baru saja lulus sekolah mode di luar negeri dan pulang ke Tanah Air untuk merintis karier, idealisme Biyan sedang menyala-nyala. Sebagai anak muda, tentu saja ia ingin membuat garis rancang yang muda dan segar. Masukan dari ajang di Singapura itu mendorongnya mengawinkan unsur modern dan tradisi yang dituangkan lewat label Studio 133.
”Modern tradisional itu cikal bakal atau DNA dari Studio 133,” kata Biyan.
Selama 36 tahun menunggangi gelombang pasang surut di bisnis mode, Biyan menyadari, kunci keberhasilan melewati tantangan setiap zaman adalah dengan beradaptasi.
Saat ini, di tengah era digitalisasi, ia dan tim juga mulai melangkah ke arah sana. Koleksi terbarunya kali ini dijual secara daring (online) di JD.id selain lewat butik-butik Biyan. Sebuah marketplace daring internasional juga menawarinya kerja sama pemasaran selain tawaran pemasaran konvensional di Thailand. Selama ini, selain di Tanah Air, baju-baju Studio 133 juga digemari di negeri jiran Malaysia.
Demikian pula dengan gaya hidup yang mulai bergeser. Kesukaan orang bepergian mendorong Biyan mengkreasikan busana yang bisa dipakai dalam berbagai kesempatan, mulai dari kasual hingga semiformal, bahkan formal.
Misalnya, jaket yang bisa digunakan untuk mengikuti rapat di pagi hari sekaligus bisa dipakai untuk menghadiri makan malam informal dengan hanya menambahkan selendang.
”Ini sesuatu yang tidak bisa kita hindari. Eranya sudah beda. Kita harus menyikapi dan berpartisipasi,” katanya.