Kebun di Batas Kaca
”Home sweet home”. Itulah yang dirasakan ahli bedah saraf Prof dr Padmosantjojo (80). Dokter yang selama 40 tahun mengemban tugas sebagai dokter kepresidenan—dari era Presiden Soeharto hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono—ini merasa mereguk manisnya hidup setiap kali pulang ke rumah.
Karena itu, Prof Padmo memilih merancang sendiri rumah di kawasan Bangka, Jakarta Selatan, ini. ”Dulu daerah ini sepi sekali. Ini rumah satu-satunya. Listrik dan jalan khusus dibikin buat rumah ini. Sengaja cari tempat sepi,” kata Prof Padmo, Sabtu (24/11/2018), tentang rumah yang ditempatinya sejak 1973 itu.
Ruang paling muka yang dirancang untuk ruang tamu berubah fungsi menjadi gudang penyimpanan lukisan karyanya. Dinding ruangan disesaki lukisan beragam tema, mulai dari penari jaipong hingga suasana dugem.
Beberapa karya berupa rangkaian bunga sengaja dilukis sebagai hadiah untuk diri sendiri memperingati pesta ulang tahun pengambilan sumpah kedokteran. Prof Padmo disumpah sebagai dokter pada 14 September 1963.
Sebuah dipan kecil menjadi tempat pembaringan jika lelah melukis dan akhirnya tertidur di antara lukisan. ”Melukis adalah satu-satunya hiburan kalau sedang buthek. Capek mengoperasi, operasi kurang bagus, jam 12 malam enggak bisa tidur. Jengkel. Melukis sampai ngantuk jam 4 lalu tidur. Ini obat,” ujar dokter yang dikenal luas publik pada 1987 karena berjasa memisahkan kembar siam Yuliana-Yuliani itu.
Selain tumpukan lukisan yang semakin banyak setelah pensiun, ruang ini juga disesaki buku ilmu melukis berbahasa Inggris, Jerman, dan Belanda. Sehari-hari, Prof Padmo juga bercakap-cakap dalam bahasa Belanda dengan istrinya, Thea Tarek, dan anak tunggalnya, Mutiara Padmosantjojo. Seperti umumnya rumah bergaya Belanda, toilet diletakkan di bagian depan rumah.
Ruang tamu kemudian digeser ke samping gudang lukisan. Pada pojok ruang tamu, tergeletak seikat padi sebagai simbol rezeki. Bukan sembarang padi, ikatan padi itu diambil dari acara pesta pernikahan. Di dekatnya, ruang tengah menjadi pusat aktivitas keluarga. Ruang tengah dengan sofa empuk ini menyatu dengan ruang makan.
Kebun kesayangan
Di gudang melukis, peralatan melukis Prof Padmo diletakkan di sudut anak tangga. Sembari melukis di sudut itu, pemandangan kebun terhampar dari dinding pembatas kaca tembus pandang.
Duduk di sofa, hijaunya kebun menjadi hidangan bagi mata. Aneka tanaman hias tumbuh subur bersanding dengan pohon buah-buahan dan gemericik air di kolam. Suasana semakin segar dengan hamparan kolam renang.
Sempat satu tahun belajar di Fakultas Pertanian Universitas Indonesia, yang kini menjadi Institut Pertanian Bogor, Prof Padmo terus menghidupi kecintaan pada dunia tanam-menanam. Kegemaran berkebun itu semakin menjadi setelah pensiun. Tak tampak sehelai pun gulma atau rumput liar.
Pohon-pohon yang sudah besar, seperti pohon rambutan, mangga, dan sukun timor, rajin berbuah. Buah-buah yang matang menjadi makanan bagi tupai hingga luwak liar. Beberapa tupai berlompatan di dahan mencari buah rambutan yang mulai ranum. Burung-burung liar pun tak mau kalah.
”Ini modelnya kayak hutan. Hutan yang bisa dinikmati. Enggak simetris, tetapi rapi semua. Alamiah tumbuhnya,” kata Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini.
Teras belakang rumah ini dihiasi aneka tanaman paku-pakuan yang rajin beranak pinak. Halaman belakang juga diramaikan beragam jenis burung peliharaan, mulai dari jalak hongkong, jalak suren, hingga nuri dan lovebird.
Saking senangnya berkebun, jika sedang bepergian ke luar negeri, tempat utama yang dituju untuk rekreasi adalah botanical garden. Di sela kesibukan ketika masih aktif mengoperasi pasien hingga ke pelosok-pelosok penjuru Tanah Air, Prof Padmo sering kali berkunjung ke perkebunan melihat areal pertanaman teh, kopi, atau tebu.
”Dulu, aku kuat naik pohon. Sekarang enggak boleh. Kalau jatuh bagaimana? Sebagai ilmuwan, guru besar, aku masih tetap membimbing S-3. Sebagai dokter masih tetap operasi. Masih ikut di perhimpunan bedah saraf. Masih tetap melukis dan menyanyi keroncong. Enggak berubah. Yang berubah hanya tenaganya,” kata Prof Padmo.
Sembari menyuguhkan earl grey tea yang wangi, Prof Padmo bercerita tentang pengalaman puluhan tahun melakoni profesi dokter bedah saraf, kebanggaan sekaligus keprihatinannya.
Profesi
Berkeliling Indonesia karena pengabdian, jika tidak berbesar hati, dokter seperti dirinya justru bisa sakit hati.
Namun, kehidupannya sejak masih kecil, sebagai anak dari direktur jawatan perkerataapian zaman Belanda, sudah lebih dari cukup. Dari kecil, ia tak pernah kekurangan sehingga bisa memberi lebih dengan menggratiskan biaya bagi banyak pasiennya. Sampai sekarang, ia masih diminta operasi pasien di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Bukan hanya mengoperasi bayi kembar siam Yuliana-Yuliani, Prof Padmo juga
membiayai pendidikan mereka. Kini keduanya sudah berusia 31 tahun. Yuliani telah lulus sebagai dokter dari Universitas Andalas, Padang, sedangkan Yuliana tengah menempuh program doktoral di IPB.
Tidak hanya pemisahan Yuliana-Yuliani yang dianggap menjadi prestasi hebat dunia kedokteran Indonesia, hampir semua kasus bedah saraf yang ditangani Prof Padmo tergolong kasus berat.
Sempat belajar dan kerja khusus untuk bedah saraf di Rijk Universiteit, Groningen, Belanda, Prof Padmo memilih pulang ke Tanah Air karena kelangkaan dokter bedah saraf di Indonesia.
Ia pernah harus mengoperasi pasien luka bacok di kepala tanpa bius karena ketiadaan dokter anestesi. Pernah pula menggunakan senar untuk benang operasi. Ketika harus mengoperasi tanpa CT-scan ataupun teknologi MRI, ia benar-benar mengandalkan ilmu pengetahuan manual dalam mendiagnosis dan mengoperasi pasien-pasiennya.
Di tengah kesejukan kebun di rumahnya, Prof Padmo masih menyimpan mimpi terwujudnya pelayanan kesehatan merata di seluruh Indonesia.