Denim Lokal Menuju Pasar Global
Kecintaan mereka pada denim tak berhenti sebatas menjadi pemakai loyal. Energi itu bertransformasi secara produktif hingga produk denim yang mereka buat menjangkau mancanegara.
Pengunjung mengerumuni tumpukan celana jins yang diletakkan di meja sepanjang 3 meter itu. Stan itu hampir selalu disinggahi pengunjung yang melintas. Tak hanya menjamah yang dipajang di meja, pengunjung yang rata-rata anak muda itu pun terpana pada jins yang digantung di sisi dinding.
Pemandangan tersebut terlihat di stan NBDN, salah satu peserta pameran denim yang berlangsung pekan lalu di Jakarta. Pameran diselenggarakan Komunitas Denim Indonesia (Indigo)-Darahkubiru. Dari 60 peserta pameran, 30 peserta merupakan produsen jins lokal berbahan denim. Tahun ini, pameran denim genap satu dekade. Kali ini pameran diberi tajuk ”Wall of Fades”.
Denim merupakan kain kaku yang terbuat dari katun twill. Sementara celana yang menggunakan bahan denim kerap disebut sebagai celana jins. Merek jins legendaris antara lain Levi Strauss, Lee, dan Wrangler. Di Indonesia ada Lea Jeans yang cukup populer.
Jins yang dijual NBDN, kependekan dari Nobranded On, umumnya masih mempertahankan corak dasar, yakni jins berwarna biru tua dan hitam. Desainnya mengikuti mode umum, yakni model yang ke bawahnya tidak terlalu jumbo, juga tak terlalu mengecil (skinny).
NBDN memproduksi jins yang bahannya kaku, tetapi lebih banyak juga yang lembut. Kekakuan jins biasanya ditunjukkan dengan beratnya. Semakin besar bobotnya, jins makin kaku. Di stan NBDN, pengunjung bisa memilih jins dengan tingkat kekakuan bervariasi, mulai dari berat 16 ons hingga 25,6 ons.
Ciri khas jins NBDN terletak di tulisan pada bagian pinggang celana. Pada jins umumnya, elemen ini terbuat dari kulit (leather). NBDN memodifikasinya dari kain halus. Jins yang dipamerkan di stan ini sudah menjamah pasar luar negeri. Sejak 2014, jins dari Bandung, Jawa Barat, itu sudah dipakai pencinta denim di Thailand, Nepal, Malaysia, Taiwan, dan Belanda.
”Pasar luar negeri kami malah lebih besar, sekitar 70 persen dari produksi,” kata Co-Founder Relation & Marketing Division NBDN, Hamzah Nashiruddin, Jumat (30/11/2018). Dari produksi 500 jins per tiga bulan, 50 potong dikirim ke ritel ke lima negara tersebut. Skemanya jual-putus.
NBDN meluncur di dunia denim berawal dari ”keisengan”. Hamzah dan Arian, partner yang mengawali produksi pada 2011, bergabung di Darahkubiru, komunitas yang dibentuk Indigo. Sejak pameran dimulai 2009, mereka aktif di dalamnya. Arian mengakui sebagai pencinta fanatik denim.
Awalnya, Arian membuat jins pada 2011 sebagai bentuk terima kasih kepada Rudi Career, pencinta denim asal Swiss. Rudi selalu hadir saat Indigo menggelar pameran dan berbagi pengalaman serta visi terkait denim.
Jins ucapan terima kasih itu dikirim ke Rudi. Lalu Rudi mengunggahnya di Instagram. Dengan banyaknya respons positif orang di platform media sosial itu, jins NBDN melambung. Arian pun bersemangat memproduksi jins.
Sebelum Hamzah bergabung, merek yang dipakai Nonbranded. Nama itu mengilustrasikan produk itu ”harus tahu diri” dibandingkan dengan merek lain yang lebih dahulu berkibar. Seiring waktu dan minat pasar yang bertumbuh, merek diubah menjadi Nobranded on, disingkat NBDN. ”Penambahan kata on menunjukkan kami terus ada, terus memproduksi,” kata Hamzah.
Setiap bulan, NBDN meraup omzet Rp 100 juta. Saat ini, NBDN ”dirajut” enam kawan sebaya. Keenamnya berbagi tugas di bagian produksi, kreatif, pemasaran, dan foto.
NBDN tak punya toko untuk menjual jins. Mereka mengandalkan penjualan daring untuk pasar domestik. ”Untuk saya, secara ekonomis sangat terasa usaha ini ngangkat,” tutur Hamzah yang sebelumnya bekerja di perusahaan minyak.
Aye & Co, peserta pameran lain, juga menjual 30 persen produknya ke luar negeri. Penjualan secara daring pun menjadi andalan mereka. Jins Aye & Co beredar di Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Singapura, dan Malaysia. Pembelinya perorangan.
Aye & Co yang berproduksi sejak 2011 menawarkan jins yang bernapas kekinian. Jenis kaku masih ada, tetapi jins yang lembut dibuat dengan warna dan desain yang keluar dari pakem denim (biru tua dan hitam). Model skinny juga diproduksi. Harga jins Aye & Co Rp 500.000-Rp 1,4 juta per potong.
Usaha yang dipelopori tiga sekawan yang pernah sama-sama aktif di Darahkubiru itu kini menghasilkan 2.000 jins per tiga bulan. Omzet usahanya Rp 100 juta-Rp 150 juta per bulan.
”Dari denim, kami hidup berkecukupan. Cukup untuk cicil rumah, cukup untuk beli kendaraan (roda empat),” ujar Co-Founder Aye & Co, Randi Pratama. Aye & Co juga bermitra dengan toko di sejumlah kota. Selain di Jakarta, mereka juga punya mitra di Yogyakarta, Surabaya, dan Makassar.
Antik
Jika NBDN mengolah denim yang kaku dan lembut sekaligus, Old Blue Co mempertahankan konsep klasik denim, Americana Workware. Jins yang dihasilkan kaku dan tahan lama, dengan warna biru pekat dan hitam tua. ”Kami memang masuk di pasar denim vintage,” kata pemilik Old Blue, Ahmad Hadiwijaya.
Menandakan karakter antik (vintage) itu, produk Old Blue menggunakan gambar petambang dan cowboy bercelana jins pada tag mereknya. Dengan muatan antik itu, jins Old Blue dijual dari Rp 1,7 juta hingga Rp 2,3 juta per potong.
Jins memang kostum yang identik dipakai petambang pada 1990-an di AS. Jins juga ”seragam” montir dan cowboy di negeri itu, sebelum diminati secara universal.
Old Blue juga menjual sekitar 40 persen produknya ke luar negeri dalam lima tahun terakhir. Old Blue yang bermarkas di Cipete, Jakarta, itu memproduksi 300 jins per tiga bulan. Operasional usaha ini hanya dijalankan oleh 10 orang.
Ahmad yang memiliki Old Blue juga jebolan Darahkubiru. Dia aktif sejak pameran pertama denim pada 2009. Baru pada 2010 dia memproduksi jins.
Co-Founder Darahkubiru, Dilez, menyampaikan, pameran denim jadi ajang berbagi pengalaman dan pengetahuan bagi para pelaku usaha dan pencinta denim. Dari forum itu, anak muda lalu berkarya. Forum ini juga jadi kesempatan memperkuat pasar. ”Dua hal itu tercapai dengan terus bertumbuhnya usaha dan pasar jins denim lokal,” katanya.
Pada tahun pertama pameran, hanya lima produsen denim yang ikut. Tahun ini jumlahnya 30 usaha dari 150 pendaftar. Penyelenggara menyeleksi peserta pameran dengan kriteria orisinalitas karya, kualitas, dan konsistensi.
Sayangnya, persoalan bahan baku denim masih menjadi kendala bagi produsen celana jins lokal yang rata-rata berskala kecil ini. Bahan denim terutama diimpor dari AS dan Jepang. Tantangan ke depan adalah bagaimana memproduksi sendiri bahan denim itu.