Dialog di Sungai Seine
Kearifan lokal menjadi titik berangkat banyak karya seni. Nilai-nilai lokal itu menjadi semangat universal yang dengan leluasa dapat ditularkan.
Hal ini antara lain dapat dibaca dalam peragaan busana bertajuk ”La Mode Sur La Seine a Paris” di Paris, Perancis, Sabtu (1/12/2018). Pergelaran ini diselenggarakan oleh Indonesian Fashion Chamber (IFC) bekerja sama dengan berbagai pihak seperti Kementerian Perindustrian, Djarum Foundation, Viva Cosmetics, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Paris.
Acara ini mengusung 16 desainer Tanah Air untuk menampilkan busana di atas kapal Boreas yang menyusuri Sungai Seine selama sekitar empat jam.
Perhelatan itu dibarengi dengan peluncuran International Muslim Fashion Festival oleh kementerian Perindustrian. Ini adalah pameran busana muslim yang akan digelar pada 2019. Acara ini akan menghadirkan para desainer dan pembeli dari sejumlah negara, terutama negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).
Untuk peluncuran International Muslim Fashion Festival, Kementerian Perindustrian secara khusus mempresentasikan busana muslim karya dua desainer, yakni Lia Mustafa dan Lisa Fitria.
Lokal, tapi universal
Lia Mustafa menampilkan sembilan busana yang seluruhnya perpaduan antara warna gelap dan putih. Gelap yang tidak benar-benar hitam. Kadang juga diberi aksen warna kecoklatan. Di setiap busana rancangan dia terdapat aksen atau ornamen seperti topeng atau imaji mega mendung.
Aksen itu berangkat dari penelitian Lia tentang tari topeng atau panji di Cirebon selama tiga bulan. Dari penelitian tadi, Lia menginsafi bahwa dalam kehidupan ini tidak ada yang benar-benar hitam atau benar-benar putih secara tegas. Semua adalah spektrum. Tak ada yang absolut. Benar atau salah kadang hanya masalah perspektif yang berbeda.
Maka, kata Lia, penting untuk berdialog. Berdialog membuat orang dapat saling memahami dan tidak mudah menghakimi.
Lewat busana, Lia mengajak kita berdialog dan saling memahami. Dengan dua kunci itu, sangat mungkin terbentuk harmoni sebagaimana perpaduan warna dan potongan (cutting) dalam busana garapan Lia.
Dialog itu berlanjut hingga taraf fungsi. Lia secara sadar merancang busana dua hingga tiga lapis yang cocok untuk kawasan empat musim seperti Eropa ataupun dua musim seperti Indonesia. Dengan kata lain, rancangan Lia sangat dialogis terhadap beragam musim.
Warna-warna tak mutlak (non-absolut) juga terpancar jelas dalam busana rancangan Rosie Rahmadi. Sebanyak delapan bajunya berwarna teduh dan lembut, seperti biru laut, coklat pantai, atau abu-abu. Ada juga warna biru samar seperti permukaan laut yang tertimpa cahaya matahari.
Baju-baju tadi dirancang nyaris tanpa motif, kecuali garis-garis lembut pada beberapa baju. Saking lembutnya garis tadi, sampai-sampai nyaris terabaikan keberadaannya.
Warna-warna tadi terinspirasi dari Selat Gibraltar, tempat bertemunya air dari dua samudra berbeda. Samudra Atlantik dengan air biru terangnya dan Mediteranian yang warna airnya biru gelap. Tatkala ombak bergulung atau permukaan laut tertimpa matahari, Gibraltar memberi spektrum warna-warna lembut sebagaimana busana Rosie.
Ciri khas rancangan Rosie adalah busana berlapis dengan tekstur bahan berbeda antara dalaman dan luaran. Luaran biasanya lebih tipis atau menerawang. Kadang dia memainkan detail-detail dengan masih menggunakan laut sebagai inspirasi, seperti kerang simping yang dibungkus organza.
”Busana ini menyasar target yang tidak ingin mencolok di keramaian,” begitu kata Rosie saat ditanya tentang pemilihan warna lembutnya.
Novita Bachtiar menyajikan satu busana muslim yang terdiri atas dua lembar. Karya Novita lebih ramai motif meskipun tetap terkesan lembut. Ada kesan androgini pada atasan. Baju ini menggunakan bahan tenun Nusa Tenggara Barat dipadu dengan batik pewarna alam, lembaran kain katun, dan wol. Ciri kuat dalam busana ini adalah peleburan di antara warna monokrom hitam, abu-abu, dan putih.
”Bahwa kegelapan dan cahaya adalah bagian dari kehidupan manusia yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dan bertahan dalam beragam kondisi. Kebenaran dan kesalahan menjadi sesuatu yang relatif dan abu-abu,” kata Novita menjelaskan filosofi bajunya.
Kampanye damai
Lisa Fitria masih membawa koleksi bertajuk ”Hope”, yakni busana yang terinspirasi dari pakaian paramedis di rumah sakit. Rancangan ini muncul tatkala Lisa kerap mengantar ibunya yang diserang kanker ke rumah sakit. Dia menilai baju-baju paramedis itu dingin dan sepi. Dari sana dia membuat sesuatu yang lebih berwarna dan ramai.
Masih menggunakan warna dasar putih, Lisa memadukan dengan warna merah menyala sebagai simbol darah. Kain-kain baju itu dia hiasi dengan imaji detak jantung sebagaimana yang kerap terdapat dalam mesin pengukur detak jantung. Dengan imaji itu, baju-baju muslim rancangan Lisa terkesan lebih hidup dan berani.
Inspirasi rancangan Lisa barangkali lebih global dibandingkan sumber inspirasi desainer lain. Meskipun demikian, mereka telah mencoba menunjukkan bahwa nilai-nilai lokal sangat cocok untuk kehidupan global. Dalam hal ini, busana menjadi alat kampanye paling damai.
Menggenjot ekspor
Paris menjadi tempat peluncuran International Muslim Fashion Festival karena memiliki nilai strategis. Paris adalah salah satu pusat mode dunia. ”Kami mau menarik yang luar masuk ke dalam, tetapi mesti ada pancingan. Karena itu, kami langsung ke Paris. Ini untuk memperlihatkan potensi Indonesia,” kata Direktur Jenderal Industri Kecil dan Menengah (IKM) Kementerian Perindustrian Gati Wibawaningsih sembari menegaskan bahwa Indonesia akan menjadi pusat busana muslim dunia (center of world muslim fashion) pada 2020.
Komitmen itulah yang antara lain ditunjukkan melalui kerja sama dengan IFC untuk membawa para desainer Indonesia ke Paris. Meskipun tidak semua menampilkan rancangan busana muslim, lebih dari setengah merupakan busana muslim.
Dua label lain yang juga membawa busana muslim antara lain Reborn29 dan Zelmira by SMK NU Banat Kudus. Desainer dan label lain yang juga terlibat dalam acara ini adalah Ali Charisma, Deden Siswanto, Irma Susanti (Identix), Lenny Agustin, Sofie, Lia Soraya, Khairul Fajri #Markamarie, Shanty Couture, dan Instituto di Moda Burgo Indonesia.
Peragaan busana yang dihadiri sekitar 400 orang ini juga untuk meningkatkan ekspor busana Indonesia. Laju pertumbuhan ekspor mode mencapai 3,7 persen. ”Nilai ekspor sampai Agustus 2018 mencapai 9,5 miliar dollar AS,” kata Koordinator Fungsi Penerangan Sosial Budaya dan Pariwisata KBRI Paris saat membacakan sambutan.
Pertumbuhan nilai ekspor busana ke Eropa, juga nilai ekspor busana muslim ke negara-negara peserta OKI, perlu digenjot. Hal ini sejalan dengan target Kementerian Perindustrian, yaitu Indonesia menjadi kiblat mode muslim dunia, selain juga eksportir mode muslim ke negara-negara OKI.