Melodrama Kaum Pinggiran
Jakarta adalah cerita tentang kesedihan. Cerita tentang kampung-kampung yang terjepit di antara peradaban kota yang gemerlap. Kekumuhan, kriminalitas, pertengkaran, perselingkuhan, dan orang-orang yang kasar serta norak bukan cerita baru. Ia bagian dari kisah melodramatik, yang hampir selalu berakhir dengan cucuran air mata.
Sutradara Teater Semut Universitas Darma Persada, Jakarta, Kukuh Santosa, merasa perlu menggiring para aktornya untuk menghayati kehidupan orang-orang pinggiran Jakarta. Sebelum mengikuti Festival Teater Jakarta, 19-29 November 2018, di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, ia menyebar aktor-aktornya di Kampung Gembrong, Kampung Prumpung, dan Kampung Cibinong di Jakarta Timur.
”Mereka harus merekam kehidupan orang-orang kampung mulai dari pukul 09.00 hingga pukul 12.00. Habis itu sharing di kampus sebagai markas teater,” kata Kukuh, Kamis (13/12/2018), di Jakarta.
Mereka bahkan sempat berlatih bersama di Kanal Timur selama beberapa hari. Latihan itu kemudian memperoleh simpati dari Pakdhe Bakmi, penjual mi yang setiap hari menjajakan dagangannya di Kanal Timur. Pakdhe Bakmi akhirnya disertakan dalam pentas dan menyumbang 500 mangkok bakmi kepada awak Teater Semut.
Prinsipnya, kata Kukuh, teater tak boleh mengingkari lingkungan tempat ia bertumbuh, tidak boleh menutup mata terhadap segala kekacauan yang terjadi di depan hidung sendiri. Kisah-kisah yang direkam, dalam pengertian sesungguhnya menggunakan media audiovisual, kemudian diracik menjadi fragmen-fragmen dalam kisah berjudul Repertoar Sabun Colek.
Lakon ini sebenarnya karya Edian Munaedi, penulis lakon dari Jakarta Barat. ”Kami menambahkan fragmen-fragmen adegan baru sesuai dengan observasi kami di kampung-kampung di Jakarta Timur,” ujarnya.
Observasi dan proses pelibatan para aktor dalam realitas keras Jakarta, menurut dia, dibutuhkan untuk menangkap segala persoalan yang selama ini menjadi beban hidup warga kota. Terkadang, katanya, soal pinjam-meminjam galon antartetangga bisa menjadi persoalan yang menghebohkan seisi kampung.
”Anak kecil bertengkar sesama anak kecil, tetapi ibunya kemudian memukulinya lagi,” kata Kukuh. Semua kisah yang direkam para awak Teater Semut kemudian direkonstruksi di atas panggung, bahkan nyaris persis seperti kejadian sesungguhnya.
Cara kerja serupa dilakukan pula oleh Sarah Oktaviani, yang menulis naskah Dag Dig Drugs untuk kelompok Teater Tema Gunadarma. Sarah selama beberapa bulan melakukan observasi di sebuah kampung di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Ia kemudian mewawancarai bekas pengguna narkoba di Balai Rehabilitasi BNN Lido, Jawa Barat. Bagaimanapun, kata Sarah, peredaran dan penggunaan narkoba di kalangan masyarakat Jakarta sudah menjadi masalah yang sangat serius. Di kampung yang ia observasi, lanjutnya, narkoba menjadi bagian dari hidup keseharian. Semuanya dilakukan dengan sangat terbuka. ”Bahkan oleh para ibu dan anak-anak. Bisnis narkoba menjadi sumber hidup mereka,” katanya.
Pementasan Dag Dig Drugs dari Teater Tema yang disutradarai Djunaedi Lubis kemudian menggunakan pendekatan yang benar-benar mengacu pada realitas aslinya. Meski cerita yang disusun Sarah tidak benar-benar ada, rangkaian peristiwanya direkonstruksi berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan sumber-sumber yang ia temui.
”Setidaknya teater ini merefleksikan sebagian dari wajah kota kita, Jakarta,” ucap alumnus Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Depok, Jawa Barat, ini.
Negara teater
Ketua Dewan Kesenian Jakarta Irawan Karseno dalam katalog Festival Teater Jakarta (FTJ) memberi ancang-ancang bahwa Jakarta sebagai sebuah kota adalah dramatisasi dari berbagai tragedi penggusuran, kebakaran, banjir, kemacetan, dan kebisingan. ”Apakah teater kita masih sibuk dengan dramatisasi?” tanyanya retoris.
Ancang-ancang ini boleh jadi satu penggambaran makro yang oleh antropolog Amerika Serikat, Clifford Geertz, disebut sebagai negara teater. Dalam penelitian tentang Negara Bali sejak tahun 1906 itu, Geertz memang memberi konteks pada ritual sebagai dramatisasi kekuasaan negara.
Konteks tentang ritual sebagai alat negara dalam memperkokoh kekuasaannya itu barangkali diperdalam oleh dua pelaku teater lain di Jakarta. Imam Widayat, saat menyutradarai pertunjukan Teater Hijrah berjudul Bulan dan Kerupuk, berupaya menarik pelakonan naskah pada konteks sosial politik mutakhir.
Naskah ini ditulis Yusef Muldiyana tahun 1998 tentang realitas orang-orang kecil di pinggiran kota. Kemiskinan bukan untuk diatasi, tetapi dirayakan dengan cara bermimpi. Manusia-manusia kelas kerupuk yang hidup di kampung-kampung kumuh bermimpi menggapai bulan yang jauh di ketinggian.
”Kemiskinan di sini memang harfiah, tetapi saya menambahkan dengan kemiskinan moral dan keamanan di Jakarta,” ujar Imam.
Alur berpikir ini agak berbeda dengan Joind Bayuwinanda, sutradara Teater Sindikat Aktor Jakarta yang menggarap lakon Endgame karya Samuel Beckett. Dia tak ingin penonton terlalu mengernyitkan dahi saat menonton. Makanya, dia menambahkan unsur humor atau parodi di dalamnya.
Parodi itu Joind ambil dari pengalaman hidup atau realitas yang ada sehari-hari. Misalnya tentang pengalaman dia yang saat bangun tidur langsung diminta mengantar anak sekolah. Bukannya sampai ke sekolah, dia malah ke kolam renang tempat biasa anaknya latihan renang.
Absurditas salah antar anak sekolah ini bagi Joind bukan soal daya ingat, melainkan tentang beban hidup. Bahwa semakin banyak beban yang dipikul seseorang, semakin banyak absurditas lahir. ”Warga Jakarta sangat absurd karena beban hidupnya berat. Itu yang saya masukkan saat berteater,” ujar Joind yang memadatkan lakon Endgame dari biasanya 3,5 jam tinggal sekitar 2 jam.
Saat membahas negara teater, Geertz sesungguhnya menyejajarkan negara sebagai entitas politik dan kultural dengan eksistensi sebuah kota. Pada konteks FTJ, Jakarta menjadi studi kasus dan peneropongan dari para seniman untuk kemudian dipanggungkan. Sebagian besar dari pemanggungan itu, kata Ketua Dewan Juri FTJ Benny Yohanes Timmerman, menjadi mimikri dari masyarakat pinggiran.
”Ini juga jelas menunjukkan bahwa kelompok-kelompok teater itu sendiri terpinggirkan keberadaannya dari sebuah kota,” katanya. Sebagai kelompok pinggiran, mereka tak berdaya melakukan advokasi, bahkan terhadap diri mereka sendiri.
Oleh sebab itu, ritual melodramatik yang digelar di panggung FTJ dan berulang dari tahun ke tahun bukan tidak mungkin menjadi ritual yang justru memperkokoh ”kekuasaan” rezim peradaban ketertiban, keamanan, dan politik kota, yang senantiasa membutuhkan korban demi korban.
Ritual orang-orang kecil di pinggiran, yang gubuk-gubuknya terjepit di antara cakaran gedung-gedung tinggi, dibutuhkan dan dikelola demi kelanggengan dan kelangsungan hidup sebuah kota bernama Jakarta.
Tanpa itu, kota jadi hambar dan mati kutu, bahkan tak memiliki gairah untuk terus bertumbuh dan berkembang....