Batik yang Mempersatukan
Khazanah batik Nusantara kian semarak ketika batik Banyuwangi direspons oleh para desainer menjadi koleksi busana bernapas urban. Di Banyuwangi, sedikitnya kini berkembang 40 motif batik, salah satunya motif gedhegan yang menjadi simbol persatuan, kekuatan, kolaborasi, dan kesederhanaan.
Seperti halnya batik pada umumnya, di balik motif-motif batik Banyuwangi, ada makna filosofis yang menghidupinya. Makna filosofis tersebut disajikan dengan indah dalam Banyuwangi Batik Festival yang diselenggarakan di Gasibu Blambangan, Banyuwangi, Jawa Timur, November lalu.
Gedhegan berasal dari bahasa Jawa yang artinya ’anyaman bambu’. Tak ayal, rumah berdinding bambu biasa disebut omah gedheg. Motif gedhegan memiliki desain teratur yang berulang. Bentuk gedheg tampak dari garis-garis sejajar horizontal yang bertemu dengan garis-garis sejajar vertikal. Garis-garis sejajar horizontal dan vertikal tersebut saling berseling. Desain ini dibatik secara berulang merata di seluruh kain.
Di tangan para desainer, motif tersebut mendapat perlakuan berbeda-beda. Uniknya, para desainer tidak bekerja sendirian. Mereka berkolaborasi dengan pelaku industri kecil dan menengah (IKM) asal Banyuwangi. Hal ini dilakukan untuk memberi peluang tumbuhnya ekonomi kerakyatan di daerah asal batik gedhegan tersebut.
Ali Charisma yang berkolaborasi dengan The Using menghadirkan busana pesta dan busana kantor bagi perempuan bekerja. Jas kerja menjadi tampak kasual ketika diaplikasikan bersama batik gedhegan. Tampilan anggun juga tersaji ketika batik gedhegan menjadi sabuk dan memberi aksen mewah.
”Motif gedhegan bisa menyesuaikan dan cocok digunakan untuk segala jenis busana dan kondisi. Saat ditaruh di sutra atau viskose bisa digunakan menjadi pakaian pesta. Motif gedhegan juga lebih terasa urban sehingga juga cocok dipakai untuk keseharian,” ujar Ali Charisma yang juga Ketua Indonesian Fashion Chamber.
Hal senada disampaikan Pricilla Saputro yang malam itu berkolaborasi bersama Osing Ningrat. Motif gedhegan mudah diaplikasikan dengan busana apa saja untuk acara apa pun, termasuk untuk acara-acara spesial, misalnya pesta pada malam hari dan seremoni.
Lentur, tetapi kuat
Gedhegan yang erat degan nilai-nilai tradisional Banyuwangi malam itu dirancang oleh Pricilla dan Osing Ningrat menjadi busana dengan gaya Jepang. Batik gedhegan dirancang menjadi kimono yang dipadu dengan kain aneka warna.
”Kami sengaja menampilkan japanese style karena sudah saatnya batik diterima orang-orang asing. Dengan tampil dengan gaya asing, batik akan mudah diterima masyarakat di luar Indonesia,” ujarnya.
Malam itu desainer Isyam Samsyi juga menampilkan karya miliknya hasil kolaborasi dengan Batik Seblang. Isyam menampilkan busana dengan tema wadon atau perempuan dalam bahasa Jawa.
Melalui tema tersebut, ia ingin menampilkan salah satu sisi kepribadian perempuan Osing (suku asli Banyuwangi). Busana pesta, pakaian kerja, dan baju bergaya China hadir dengan gaya yang simpel, tetapi terkesan kuat, menunjukkan pribadi perempuan Osing yang pekerja keras dan pantang menyerah.
Motif gedhegan yang luwes membuat Isyam mampu mengombinasikan dengan motif lain. Kali ini ia mengombinasikan motif gedhegan dengan motif mawar kupu setegal.
”Motif gedhegan ini benar-benar menyimpan nilai filosofis yang sangat kuat. Motif ini sesuai arti katanya. Gedhegan ini seperti bambu yang lentur, tetapi kuat. Makna ini yang saya wujudkan dalam tema wadon, wanita Osing itu lentur, tetapi pekerja kuat, seperti bambu, gedhegan,” ujarnya.
Di tangan Wedha Gita yang berkolaborasi dengan Srikandi Batik dan Pendawi Batik, motif gedhegan dihadirkan dalam tema zenomadic. Tema ini menampilkan Zen yang dalam filosofi Jepang berarti ’keindahan dari ketidaksempurnaan’ dan nomaden yang berarti ’berpindah tempat untuk mencari ketenangan’.
Tema tersebut diwujudkan dalam gaya elektrik yang memadukan kultur Jepang dan Indonesia. Melalui rancangannya, Wedha ingin menonjolkan kolaborasi dengan cita rasa Asia.
Lebih cermat
Motif gedhegan membuat Wedha harus lebih cermat dalam proses merancang busana. ”Saya harus hati-hati saat memotong kain. Motifnya benar-benar saya perhatikan, jangan sampai potongan saya justru mengurangi keindahan motifnya. Motif horizontal yang bertemu dengan vertikal membuat saya harus lebih teliti. Saya harus memikirkan komposisi yang pas saat menempelkan warna dan motif,” ujarnya.
Percampuran budaya yang mewujud dalam percampuran motif dan warna menjadi proses yang harus dilalui Wedha. Dari proses tersebut, ia menemukan percampuran tersebut seperti gedheg yang dirajut menjadi satu sehingga kuat.
Gedhegan memang tumbuh dari akar budaya masyarakat Osing yang kental. Tahun ini tema tersebut dipilih untuk menggemakan rasa persatuan dari Banyuwangi untuk Indonesia, bahkan dunia.
”Gedhegan memiliki rajutan vertikal dan horizontal yang menunjukkan persatuan. Motif ini juga melambangkan bertemunya kekuatan vertikal dan horizontal. Ini merupakan gambaran masyarakat Banyuwangi saat ini, kekuatan pemerintah mendapat dukungan dari kekuatan masyarakat,” ujar Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah Banyuwangi Ipuk Festiadani.
Melalui gedhegan, semangat untuk mencintai alam juga digaungkan. Pasalnya, gedhegan dihadirkan dalam narasi yang erat dengan alam melalui pewarnaan alami dan motifnya yang didasari pada anyaman bambu.
Perhelatan Banyuwangi Batik Festival keenam kalinya tahun 2018 bagi Banyuwangi bukan hanya rutinitas semata. Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas menegaskan, festival tidak hanya untuk menarik wisatawan, tetapi juga wadah menyalurkan kreativitas.
”Tingginya jumlah kunjungan wisatawan juga memberi ruang bagi UMKM yang menjual kain-kain tradisional. Dengan demikian, tetesan ekonomi dari festival bisa dirasakan nyata oleh warga,” kata Anas.
Bagaikan gedhegan yang terajut, semangat mengembangkan daerah melalui usaha kreatif juga terikat dalam setiap perhelatan festival, terutama dalam Banyuwangi Batik Festival.