Harta Karun Lahan Gambut
Lahan gambut bukan hanya menyimpan kekayaan mineral masa depan. Hal yang lebih penting, ia menawarkan keanekaragaman hayati yang kaya dan khas. Warisan yang jika dikelola dengan baik dapat menghidupi anak cucu tak ada habisnya.
Tidak hanya sebagai penghasil oksigen dan pengelola air, lahan gambut juga menawarkan kekhasan keanekaragaman hayati yang tecermin pada keberadaan flora dan fauna endemik. Hal ini dipengaruhi karakter lahan gambut yang asam, miskin hara, dan selalu terendam air.
Jamuan Hutan Lahan Gambut yang digelar di Javara Culture, Jumat (21/12/2018) malam, menunjukkan sedikit dari kekayaan itu. Beberapa di antara menu yang tersaji diolah menjadi masakan khas Kalimantan yang mulai langka dijumpai.
Chef Meliana Christianty yang dikenal konsisten mengolah menu-menu Kalimantan kali ini memilih beberapa menu khusus yang berasal dari daerah lahan gambut di Kalimantan.
Untuk mengawali sajian, ia menyajikan lawa mentimun dan udang dari Kesultanan Bulungan, Kalimantan Utara. Rasanya otentik, menurut Meliana, karena resepnya diperoleh langsung dari keluarga kerajaan.
Paduan asam, asin, dan manis terasa jitu membangkitkan selera makan. Kombinasi rasa ini berasal dari parutan kelapa sangrai yang dicampur dengan air perasan jeruk nipis, garam, dan gula yang lalu dicampur dengan cacahan mentimun. Jejak rasa gurih berasal dari taburan capit udang galah.
Setelah itu, para tamu beranjak ke menu utama. Ada nasi sobot ubi kayu dari Samarinda, Kalimantan Timur. Nasi ini dibuat dari campuran nasi putih dan olahan ubi kayu alias singkong. Ubi kayu diparut, direndam air, diperas, lantas dikukus. Hasilnya dicampur dengan nasi putih sebelum disajikan. Campuran ini memberi tekstur kenyal pada nasi dan cocok sekali disandingkan dengan ayam cincane. Selain nasi sobot ubi kayu, disajikan juga nasi merah lahan gambut.
Menu ayam cincane, disebut Meliana, mulai tidak dikenal oleh generasi milenial ke bawah. Ayam ini dibumbui dengan 12 jenis bumbu rempah dan santan sebelum dibakar atau dipanggang. Menu ini populer pada generasi yang kini sudah beranjak menjadi kakek-nenek.
Tak kena es
Jika ingin yang berkuah, disiapkan juhu ujau atau rebung dari Dayak Kahayan, Kalimantan Tengah. Juhu ini bisa dicampur daging sapi, ayam, atau ikan air tawar. Jangan lupa untuk menambahkan sambal terasi daun kunyit dan ikan asin talang fermentasi yang rasanya pedas dan gurih dari Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah.
”Ikan talang fermentasi harganya tiga kali lipat ikan asin biasa karena harus melalui fermentasi khusus. Ikan ini tidak boleh terkena es sama sekali atau melalui pendinginan agar proses fermentasi alaminya berhasil,” ungkap Meliana.
Ikan ini biasanya ditangkap 5-6 bulan sekali oleh nelayan yang masih menggunakan alat tangkap kecil sederhana. Hal ini menyumbang semakin tingginya harga ikan asin talang fermentasi.
Jangan lupakan pula menu istimewa udang galah baubar dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Dagingnya yang lembut, mempur, dan tidak meninggalkan jejak amis berpadu dengan bumbu yang memberi cita rasa manis gurih.
Makanan penutup berupa bubur gunting dari Singkawan, Kalimantan Barat, mengantar rasa netral dan efek adem di perut. Bubur ini terbuat dari kacang hijau kupas yang kemudian ditambah air gula dan es. Agar semakin kaya rasa, oleh Meliana, bubur ini ditambahi jamur dan semacam irisan cakwe kering.
Panggung petani
”Saya bukan asli Kalimantan, tetapi tinggal di sana 14 tahun. Jadi, cukup paham dengan kekayaan di lahan gambut. Tugas kita untuk menyebarkan potensi lahan gambut kepada masyarakat,” kata Meliana.
Selain menghadirkan para tamu dari kalangan pencinta kuliner dan masyarakat umum, acara jamuan ini juga dihadiri 11 warga lahan gambut dari Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi; Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan; Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Selatan; dan Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat.
Ada lebih dari 1.200 desa di seluruh Indonesia yang berada di lahan gambut. Badan Restorasi Gambut mendatangkan warga lahan gambut ini untuk mengikuti Sekolah Seniman Pangan di Javara selama sepekan. Para peserta yang hampir seluruhnya perempuan ini membawa sampel komoditas dari lahan gambut masing-masing, seperti ubi kayu, labu kuning, buah mawang (cempedak), terung asam rimbang, buah kuini, buah hambawang, rambutan, jeruk, jeruk kalamansi, gula merah, bengkuang, jagung, kunyit, rebung, kopi liberica, nanas, nipah, dan daun sengkubak atau yang populer disebut daun vetsin.
”Kami membuat acara ini agar petani, nelayan, dan perimba punya panggung untuk komoditas mereka,” kata Helianti Hilman, CEO Javara Indonesia.
Menjelang kelas berakhir, dibuatlah jamuan ini agar mereka melihat sendiri bahwa bahan-bahan dari lahan gambut ini begitu berharga dan jika diolah dengan tepat dan menarik, dapat memberi keuntungan ekonomi. Terlebih, pengelolaan lahannya pun ramah lingkungan.
Lahan gambut tidak hanya cocok ditanami sawit, tetapi juga berbagai komoditas, termasuk padi. Karena tingkat keasaman tanah yang tinggi, produk tanaman yang dihasilkan lahan gambut memiliki cita rasa yang lebih kuat.
”Jamuan ini untuk memberi tahu kepada masyarakat tentang pentingnya lahan gambut,” kata Helianti.
Para petani dan ibu rumah tangga tadi diajari mengolah bahan-bahan yang dibawa jadi produk baru, seperti sambal, ”ikan asin” vegan dari membran buah cempedak, selai cempedak, selai labu kuning, tepung cempedak, serta buah kering rambutan, mangga, dan cempedak.
”Mereka diajari juga entrepreneurship, bagaimana packaging, sales, hingga personal branding. Pulang, mereka dibekali alat dan bahan kemasan agar bisa mulai berproduksi. Namun, semua kembali ke masing-masing, mau berusaha atau tidak,” ujarnya.
Para peserta juga diajak menggali nilai lebih dari bahan baku yang mereka miliki sehingga ke depan bukan lagi bicara tentang volume, melainkan nilai tambah.
Misalnya, daun sengkubak yang memberi rasa gurih pada masakan. Helianti mengatakan, pihaknya tengah berupaya membuat ekstrak daun ini. Jika berhasil, akan jadi produk yang diminati karena alami dan aman.