Mode untuk Kemanusiaan
Mode tidak hidup di ruang hampa. Meski terkesan eksklusif, sejatinya ia bisa dimanfaatkan untuk berbakti kepada sesama. Tidak sekadar menyerap tenaga kerja, tetapi juga membantu mereka yang papa.
Para pengungsi yang lari dari negaranya dengan berbagai alasan hidup di bawah ketakutan dan tanpa daya. Menjadi tanggung jawab komunitas internasional untuk memberi bantuan dan perlindungan kepada mereka.
Indonesia bisa dibilang bukan menjadi negara tujuan utama, melainkan negara transit sambil pengungsi menanti kepastian ada negara yang bersedia menerima mereka. Dengan banyaknya negara tujuan yang memperketat dan membatasi kuota penerimaan pengungsi, masa tunggu memperoleh suaka jadi tak terbatas.
Aturan hukum di Indonesia tidak membolehkan pengungsi bekerja. Namun, ketidakjelasan kapan para pengungsi bisa ”lompat” ke negara tujuan membuat mereka ”terdampar” dalam jangka waktu yang tidak bisa diperkirakan. Kondisi tidak produktif ini tidak jarang membuat mereka depresi. Akhirnya, berpotensi menimbulkan masalah di tengah masyarakat yang menampungnya.
”Pemerintah Indonesia sudah sangat baik memperlakukan pengungsi. Dari UNHCR juga ada bantuan keuangan atau asistensi. Namun, hanya bisa diberikan kepada 300-400 pengungsi dengan prioritas orang sakit, berkebutuhan khusus, ibu tunggal, orang cacat dan lansia, serta anak-anak di bawah umur,” kata Mitra Salima Suryono, Associate External Relations/Public Information Officer Komisi Tinggi Urusan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR) di Indonesia.
Bandingkan dengan jumlah yang bisa mendapat bantuan dengan total pengungsi di Indonesia mencapai 14.000 orang. Tidak sedikit yang sudah berada di sini hingga tujuh tahun. Menurut Mitra, pengungsi usia sekolah diberikan kesempatan belajar di sekolah-sekolah negeri sepanjang mereka bersedia belajar dalam pengantar bahasa Indonesia. Pihaknya juga memberi pelatihan bahasa Inggris kepada para pengungsi.
”Karena tidak mungkin kami tangani semua sendirian, kami juga menggandeng pihak lain, seperti Dompet Dhuafa, IOM, dan LSM lain untuk membantu mereka. Salah satunya #Markamarie untuk memberi mereka livelihood opportunity,” tambah Mitra.
#Markamarie, sebuah label mode baru, kemudian merekrut tujuh pengungsi berusia muda, baik pria maupun wanita, untuk ikut program pelatihan mode. Mereka dipilih dari hasil wawancara tentang latar belakang terkait dan motivasi mengikuti kegiatan.
”Saya mewawancarai 57 pengungsi. Penginnya, sih, ambil sebanyak-banyaknya pengungsi, tetapi finansial kami belum memungkinkan. Paling tidak setelah ini ada pihak lain yang juga tergugah berbuat serupa, turun tangan membantu pemberdayaan pengungsi,” kata Franka Soeria, pendiri dan pemilik label #Markamarie.
Dari hasil kerja sama yang dinamakan Benang Project, baju-baju yang diproduksi dari hasil kontribusi para pengungsi ini sudah diperagakan di ajang Jakarta Fashion Trend dan La Moda Sur La Seine a Paris di Paris, Perancis, pada awal November dan Desember lalu.
Baju-baju yang ditampilkan merupakan rancangan Steffy Wulanita, salah satu desainer #Markamarie. Ia mengambil subtema Cortex dari tema Singularity dalam Indonesia Trend Forecasting 2019/2020. Subtema ini mengeksplorasi bentuk abstrak terstruktur, tidak terduga, fleksibel, tetapi dinamis dalam siluet dan tekstur.
Butuh kesempatan
Para pengungsi yang terpilih umumnya punya latar belakang di bidang mode, make up, atau kerajinan tangan. Di #Markamarie mereka memasang payet, belajar membuat pola, memotong, menjahit, pemotretan, hingga mengarahkan gaya.
”Mereka antusias sekali pengin ikutan. Waktu saya wawancara, mereka bilang, please let me do anything. If you give me a chance, I will do anything,” ungkap Franka.
Antusiasme mereka juga tampak saat sesi pemotretan untuk pembuatan film pendek yang digarap tim UNHCR. Film yang menceritakan upaya pemberdayaan pengungsi di beberapa negara, termasuk di Indonesia, ini kemudian diputar dalam pertemuan UNHCR di Paris, Perancis, pertengahan Desember lalu.
Para pengungsi yang terlibat proyek ini berasal dari Afghanistan, Pakistan, Mesir, dan Somalia. Mereka tinggal tersebar di Rumah Detensi Imigrasi di Kalideres, Jakarta Barat, ada pula yang kos atau mengontrak rumah di Ciputat dan Bogor.
Salah satunya adalah Ali (20), bukan nama sebenarnya. Ia tiba di Indonesia tiga tahun lalu, artinya ketika dirinya masih berusia kanak-anak. Ali berangkat sendiri, sementara keluarganya masih di Afghanistan. Ia sempat mengikuti kursus mode singkat di Esmod, Jakarta, atas bantuan sebuah lembaga swasta. Di sana, ia belajar teknik membuat pola, memotong, dan menjahit. Ali bercita-cita memiliki label busana sendiri kelak.
”Saya cinta sekali pekerjaan ini. Kelak, saya ingin membuka usaha mode sendiri. Setelah itu membantu para pengungsi dan orang-orang miskin lewat bisnis ini,” kata Ali.
Ia merasa bahagia bisa terlibat kegiatan ini. Selain mengisi waktu, juga menambah pengetahuan dan pengalamannya di bidang mode. Hal serupa diungkapkan Fatimah (24) asal Afghanistan, juga bukan nama sebenarnya.
Fatimah sudah berada di Indonesia tiga tahun. Ia mengungsi bersama suami dan kedua anaknya. Semula mereka mengungsi ke Iran, tetapi kemudian didorong kembali ke Afghanistan. Akhirnya mereka melarikan diri dan tiba di Indonesia.
Terima pesanan
Ketika remaja, Fatimah belajar desain dan menjahit selama setahun. Di tempat pengungsian, kadang-kadang ia menerima pesanan baju dari teman-teman sesama pengungsi dengan bayaran seadanya.
Fatimah dan keluarga berharap mendapat suaka dari Australia, Kanada, Selandia Baru, atau Amerika Serikat. ”Senang sekali bisa ikut program ini karena biasanya kami tidak bisa mengerjakan apa-apa. Ini pekerjaan yang saya impikan,” kata Fatimah.
Di #Markamarie, mereka mendapat uang saku Rp 150.000 per orang per hari. Rata-rata satu baju butuh dua hari pengerjaan. Pengungsi adalah seseorang yang dipaksa meninggalkan negaranya akibat kekerasan, perang, dan persekusi. Dua pertiga pengungsi di seluruh dunia berasal dari lima negara, yakni Suriah, Afghanistan, Sudan Selatan, Myanmar, dan Somalia.
Menurut Mitra, tidak sembarangan orang bisa dinyatakan sebagai pengungsi. Ketika tiba di suatu negara, mereka akan diwawancara dan dikategorikan sebagai pengungsi atau pencari kerja semata.
Jika mencari kerja, mereka akan dipulangkan kembali ke negaranya. Sementara bagi yang dinyatakan sebagai pengungsi, akan dibantu mendaftarkan permohonan suaka ke sejumlah negara.
”Mereka ini yang butuh program livelihood opportunity, mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang menguntungkan orang Indonesia. Misalnya, membantu masak, menjaga toko roti, atau seperti di sini, membantu membuat baju,” kata Mitra.