Baca Buku Itu Keren, Kawan
Di tengah kesukaan kawan sebaya pada gim di gawai atau kiprah idola yang silih berganti, generasi milenial ini memilih membaca buku. Mereka terpana pada kedalaman pengetahuan dan keluasan imajinasi.
Menurut Izzan Khalish Permadi (15), membaca itu keren dan membuatnya jadi sosok yang anti-mainstream. Itu karena kebanyakan teman sebayanya lebih doyan bermain gim di gawai atau ”demam” segala hal serba K-Pop.
”Aku, sih, enggak benci K-Pop. Cuma kalau harus baca tentang itu-itu melulu, sementara semua orang sudah sama-sama tahu karena bacaannya sama, ya, aku enggak mau. Baca itu biar nambah tahu. Jangan cuma ikut-ikutan, lagi rame apa di medsos lalu ikut,” gugat siswa kelas X sebuah SMA di Jakarta Selatan ini.
Sejak duduk di sekolah dasar, Izzan memang gemar membaca. Ia kerap ”menghilang” di tempat favoritnya, Rimba Baca, perpustakaan mandiri yang dikelola perseorangan, tak jauh dari tempat tinggalnya.
”Waktu dulu masih SMP, setiap pulang sekolah rumah sering kosong. Bapak dan ibu kerja. Daripada bengong, cuma nonton televisi, ya, mendingan cabut ke sana (Rimba Baca). Suka lupa waktu, sih. Tahu-tahu sudah maghrib,” tutur Izzan.
Seperti Izzan, Riordan Azad Zen (14), murid kelas IX salah satu sekolah menengah pertama negeri (SMPN) di Bandung, juga merasa membaca buku itu menyenangkan. ”Tapi kadang aku juga suka diomongin. Misalnya, dikomentari, kamu baca buku bahasa Inggris memangnya ngerti,” ujarnya.
Baik Izzan maupun Riordan punya banyak buku favorit. Izzan, misalnya, menjagokan The Alchemist (1988) karya Paulo Coelho dan Goodnight Mr Tom (1981) karya pengarang Inggris, Michelle Magorian. Sementara Riordan fasih bercerita tentang novel serial Arc of a Scythe karya Neal Shusterman. Salah satu dari tiga judul seri ini, Thunderhead,sedang dia baca.
”Ini bercerita tentang masa depan, saat manusia bisa mengendalikan kematian. Ada sekelompok orang pilihan bertugas sebagai dewa atau dewi kematian demi mencegah overpopulasi. Buku ini bikin aku berpikir banyak hal, seperti etika, pilihan, dan sifat dasar manusia yang selalu ingin lebih walau sudah diberi banyak kekuasaan,” kata Riordan.
Nadine Bandini Hernazar (15) juga memilih mengisi setiap waktu luang dengan membaca buku. Saat dijumpai di Perpustakaan Nasional Jakarta, Kamis (3/1/2019), ia sedang duduk di lantai membaca novel berjudul My Psychopath Boy Friend karya Bayu Permana.
Izzan, Riordan, dan Nadine jelas tergolong generasi digital native yang lahir setelah adopsi teknologi digital meluas. Mereka akrab dengan gawai dan buku digital. Namun, ketiganya lebih nyaman membaca buku yang berwujud fisik.
”Saya pernah baca novel di atas motor ketika bonceng. Bagian yang saya baca konfliknya seru, jadi dibela-belain,” kata Nadine. Bahkan, saat libur sekolah, Nadine bisa nyaris tak beranjak dari kamar demi menyelesaikan buku bacaan.
Didukung lingkungan
Izzan, Riordan, dan Nadine tumbuh di lingkungan keluarga yang memang gemar membaca. Selain dari keluarga, minat baca ini juga, antara lain, terbangun dari lingkungan sekolah, misalnya melalui Gerakan Literasi Sekolah (GLS).
Salah satu sekolah yang aktif menggelar program GLS adalah SMPN 58 Jakarta. Setiap Selasa, Rabu, dan Kamis pagi, para murid diwajibkan membaca buku sebelum mulai waktu belajar, setidaknya selama 30 menit.
Menurut Farkhan Sultansyah, guru Bahasa Indonesia yang juga anggota Tim Literasi di sekolah ini, setiap murid dibebaskan memilih bacaan yang disukai. Namun, mereka terutama dibiasakan membaca karya sastra. Mereka juga diberi kesempatan berdiskusi setelah membaca buku. Siswa juga didorong membuat vlog berisi bedah buku yang mereka baca.
”Awalnya banyak siswa tidak baca, datang terlambat, dan lain-lain. Sekarang mereka sudah tertib. Malah mencari sendiri bahan bacaan. Bahkan, sekarang ada siswa bertanya buku tentang Nietzsche atau Bumi Manusia karangan Pramoedya,” papar Farkhan senang.
Sekolah ini juga menggelar program lain, Pojok Baca, berupa perpustakaan mini di setiap kelas. Buku-bukunya sumbangan dari siswa sendiri. Juga ada Jurnal Membaca yang mencatat perkembangan membaca harian siswa.
Kegairahan para remaja untuk membaca buku ini menerbitkan harapan di tengah beragam data yang menunjukkan rendahnya tingkat literasi di Indonesia.
Laporan Triwulanan Perekonomian Indonesia oleh Bank Dunia, Juni 2018, berdasarkan data Programme for International Student Assessment
(PISA) 2015 menunjukkan, lebih dari 55 persen orang Indonesia yang telah menyelesaikan pendidikan tergolong buta huruf secara fungsional.
Ini diartikan, mereka dapat membaca teks, tetapi tidak dapat menjawab pertanyaan terkait teks atau kesulitan dalam pemahaman. Karena keterbatasan kapasitas itu, mereka cenderung bekerja di sektor-sektor dengan produktivitas rendah.
Masih berdasar laporan Bank Dunia, warga yang digolongkan buta huruf secara fungsional di Vietnam, misalnya, jauh lebih sedikit dibandingkan dengan Indonesia, yakni 13,9 persen.
Penelitian Central Connecticut State University, Amerika Serikat, yang dirilis Maret 2016 bahkan menempatkan Indonesia di posisi peringkat kedua terbawah dari 61 negara dalam tingkat literasi. Posisi Indonesia itu hanya satu tingkat di atas Bostwana.
Pernah tertinggi
Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Muhammad Syarif Bando mengingatkan, perjalanan sejarah menunjukkan Indonesia sebenarnya pernah memiliki tingkat literasi tertinggi di dunia.
Hal itu, menurut Syarif, didukung fakta keberadaan lebih dari 200 jenis aksara yang pernah berkembang di Nusantara. Amat disayangkan, kini jumlahnya menyusut menjadi hanya tinggal 11 jenis aksara.
”Sampai sekarang yang masih eksis tinggal 11 macam aksara seperti Palawa atau ada juga aksara di Jawa, di Bugis, Batak, dan Bali. Kalau di Amerika Serikat, enggak ada begitu. Peradaban kita sudah mulai ditulis sejak abad ketiga Masehi, sementara Amerika baru ditemukan abad XIII,” jelas Syarif.
Belakangan, perkembangan ekonomi, berikut teknologi dan pendidikan di dalamnya, melejitkan Amerika Serikat menjadi negara maju. Akan tetapi, dikatakan Syarif, negara maju seperti Amerika Serikat pun pasti akan mengalami kehancuran jika masyarakatnya tidak lagi membaca.
Kini, langkah terpenting adalah membuat strategi yang tepat untuk kembali mendongkrak literasi bangsa Indonesia. Terkait itu, Perpusnas juga menggelar gerakan Ibu Bangsa Membaca.
Menurut Syarif, strategi itu berangkat dari pemahaman tentang pentingnya peran orangtua, khususnya ibu, dalam membudayakan kegemaran membaca buku. Dari gerakan ini, diharapkan dapat tercipta banyak sosok ibu yang gemar membaca. Nantinya, sang ibu akan menularkan kebiasaan dan kegemaran itu kepada anak-anaknya.
Selain itu, ibu juga punya peran besar dalam mengelola uang belanja rumah tangga, termasuk anggaran untuk membeli buku bagi anak-anaknya.
Syarif mengingatkan, sebaiknya seorang ibu tidak memilih untuk mengalokasikan uang dalam jumlah relatif besar kepada anaknya untuk membeli pulsa ponsel. Seharusnya sang ibu justru mengalokasikan dana bagi anak-anaknya untuk membeli buku-buku yang membangkitkan minat.
”Sekarang ini kita juga harus coba membiasakan bagaimana ibu-ibu bisa seimbang antara mengajak anak ke mal dan mengajak mereka ke tempat-tempat berbasis pengetahuan, seperti toko buku atau perpustakaan,” kata Syarif.
Baik ibu, ayah, guru, maupun semua pihak yang peduli pada bangsa ini sudah saatnya menyadari pentingnya mendorong minat baca. Masa depan Indonesia ada di tangan generasi muda yang mencintai buku.
(E22/NUR HIDAYATI)