Dengan Buku, Aku Bebas!
Anak-anak muda ini terlahir melek digital. Namun, bagi mereka, buku tetap menawarkan nilai lebih dan kedalaman di zaman serba instan ini. Mengikuti jejak proklamator Bung Hatta yang amat mencintai buku, mereka seolah berseru, ”Dengan buku, aku bebas!”
Midah, Si Manis Bergigi Emas, buku karangan penulis legendaris Pramoedya Ananta Toer, menjadi pilihan Fida Agustina (17). Dua buku lainnya, Macbeth karya William Shakespeare dan Kelana karangan Famega Syavira Putri, ia masukkan pula ke kantong belanjaan.
Kamis (3/1/2019) siang itu, Fida datang ke toko buku di Matraman, Jakarta, untuk mencari bacaan baru. Semua buku miliknya telah kelar ia baca. Fida pun ingin menambah beberapa bacaan sebelum liburan sekolahnya usai.
Kesukaan Fida membaca buku tumbuh seiring waktu sejak SMP. ”Semester lalu baca buku Pram, Anak Semua Bangsa,minjem kakak. Lebih suka baca cerita yang jujur kayak gini, cerita (berlatar) sejarah yang jarang ditulis,” katanya.
Siswi kelas XII SMA Wijaya Kusuma ini menyukai buku sastra karena buku-buku ini membuat pikirannya jauh lebih terbuka. Dia bebas mengikuti fakta sejarah bersama uraian si penulis. Alur yang sulit ditebak, fakta yang menggugah, serta cara bercerita yang tidak umum membuatnya keranjingan membaca buku sastra.
Buku yang tak jarang cukup tebal menjadi salah satu sebab keengganan Fida beralih membaca buku digital. Tentu lebih melelahkan jika harus membacanya dalam versi elektronik di layar gawai. Apalagi, saat membaca, buku juga lebih nyaman dipegang dan mudah ditandai.
Sesekali, ia juga membaca cerita ringan dari ponsel. Namun, kata Fida, ia mudah bosan karena alur dan jalan cerita yang tertebak.
Argumen hampir sama diungkapkan Chrisabelle (14). Selain letih menatap layar, remaja ini merasa waktunya banyak terbuang jika membaca buku digital. Waktu unduh, aplikasi ngadat, kehabisan daya, dan iklan yang mengganggu membuatnya makin tidak betah berlama-lama menatap layar gawai untuk membaca buku elektronik.
Selain lebih nyaman di mata, buku berwujud fisik juga mampu mengalihkan Chrisabelle dari godaan bermain gim atau sekadar menyusuri lini masa media sosial.
Sebelum berangkat berlibur beberapa pekan lalu, Chrisabelle membeli buku Dunia Anna karya Jostein Gaarder. Buku memang teman setia yang menemaninya ke mana saja.
Siswi kelas IX SMPN 58 Jakarta ini juga merasa mendapat banyak manfaat dari kegemarannya membaca. Menurut dia, buku sastra menambah pengalaman dan pengetahuan sekaligus membuat kosakatanya melimpah. Jika menemukan kata yang terasa asing, dia pun tak segan membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia dan mencatatnya.
Kebiasaan itu membuat imajinasinya meloncat jauh. ”Dengan membaca buku, kita lebih bebas berimajinasi, menyingkap dunia baru. Di dunia buku (kita) bisa ke mana-mana,” terang Isabel, panggilan akrabnya.
Tidak heran, dalam satu bulan, dia minimal membeli satu buku. Uang jajan harian pun ditabungnya untuk beli buku. ”Kalau Papa baik, bisa dibeliin dua atau tiga buku he-he-he.”
Dianggap gila
Buku pernah membuat Benediktus Fatubun (25) dianggap gila oleh kawan-kawannya. Novelet Rumah Kertas karya Carlos Maria Dominguez membuat pria asal Papua ini terobsesi menyusun ulang koleksi bukunya sesuai karakter si penulis.
”Buku Soekarno dan Tan Malaka kadang letaknya saya jauhkan. Dalam beberapa hal, kedua tokoh itu berbeda pandangan. Jadi, novelet Rumah Kertas itu sempat membuat saya memperlakukan buku sampai seperti itu,” ujar Benfa, panggilan akrabnya, sambil terkekeh.
Kamar kos mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, itu disesaki buku dan majalah. Ia juga terbiasa membawa-bawa buku yang sedang ia baca. Ia bisa membacanya saat ada waktu luang di kampus, di dalam bus, atau di perpustakaan.
Benfa juga mencoba membaca buku digital, tetapi ia kurang menikmatinya. ”Lebih nyaman membaca buku fisik. Kalau e-book, mata jadi mudah lelah,” ujar Benfa.
Kelana Wisnu Sapta Nugraha (22), mahasiswa semester 7 Jurusan Sastra Indonesia Universitas Padjajaran, Bandung, itu juga mencintai buku. Pemuda asal Blitar, Jawa Timur, ini kerap mengadakan diskusi buku bersama kawan-kawannya di kampus.
Ia sering mengunggah foto buku yang ia baca di media sosial berikut ulasan singkatnya di unggahan itu. ”Supaya tak lupa isi bukunya dan bisa berbincang dengan teman,” kata Kelana.
Saat masih duduk di semester 4, ia mendirikan penerbit buku bersama lima kawannya, yakni Jungkir Balik Pustaka. Mereka menerbitkan buku-buku kajian budaya dan sastra.
”Kami menerbitkan buku fisik karena penggemarnya masih banyak. Kalau e-book, kami masih ada ketakutan soal keamanan buku yang rentan dibajak,” kata Kelana.
Isabel, Fida, Benfa, ataupun Kelana tumbuh ketika teknologi digital sudah merajai berbagai aspek kehidupan. Mereka terbiasa memakai perangkat teknologi sehari-hari, mahir mencari informasi, dan akrab dengan bacaan digital.
Bukan digital
Namun, mereka memilih tetap membaca buku berwujud fisik ketika benar-benar hendak menyelami suatu bacaan. Salah satu alasan paling kerap disebut untuk tak berlama-lama membaca buku digital adalah faktor kelelahan.
Beragam studi menunjukkan, pencahayaan pada layar perangkat elektronik menyumbang terjadinya kelelahan visual. Hal ini kerap ditandai oleh mata yang lelah, gatal, dan serasa terbakar.
Membaca buku fisik dan digital juga memiliki dampak berbeda terhadap konsentrasi dan daya serap otak manusia.
Salah satu riset terkait hal itu dilakukan di Norwegia. Riset ini menunjukkan cerita yang dibaca di atas kertas meninggalkan jejak lebih baik pada ingatan dibandingkan saat cerita yang sama dibaca melalui Kindle di layar tablet. Hal ini antara lain karena respons emosi yang lebih kuat ketika membaca buku berwujud fisik (The Guardian, 19/8/2014).
Tren kembali ke buku berwujud fisik terjadi meluas dan berlanjut. Sebaliknya dengan buku digital. Mengutip laporan Nielsen, penjualan buku elektronik di Inggris pada 2015- 2016 justru mengalami tren penurunan. Pada periode yang sama, terjadi peningkatan penjualan buku fisik. Hal ini diduga menandakan, pembaca muda ingin mereguk ”jeda” dari kehidupan serba digital yang sibuk dengan kembali ke buku (The Guardian, 14/3/2017).
Di Indonesia, sebagian besar penyuka buku juga masih lebih terbiasa dengan dalam wujud fisiknya. Ikatan Penerbit Indonesia, Januari 2018, mencatat, meskipun bertumbuh, penjualan buku digital masih kurang dari 2 persen di pasar buku lokal.
Yuliono dari Goodreads Indonesia menuturkan pengamatannya, di komunitas yang beranggotakan sekitar 10.000 orang itu, sebagian besar masih membaca buku, bukan buku elektronik.
Penyebabnya? ”Kalau baca gawai enggak betah lama-lama. Letih, enggak bisa dipegang, dan lainnya. Kalau buku beda. Sebagian juga menganggap memiliki buku cetak, pride-nya beda, bahkan masih bisa dijual bekasnya,” kata Yuliono.
Buku, baik berupa fisik maupun digital, pada dasarnya saling melengkapi. Yang terpenting adalah tetap membaca buku. Dengan demikian, kapasitas diri terus berkembang dan imajinasi terus menyulut kreasi.
Seperti kata Isabel, ”Kalau enggak baca buku, gimana gitu rasanya….”
(E22/Saiful Rijal Yunus/Nur Hidayati)