Dipandu Rasa Kemanusiaan
Misi menyelamatkan nyawa, membantu tanpa pamrih, juga kesenangan bermotor adalah fondasi awal komunitas ini. Bermula dari mengawal ambulans agar keselamatan pasien tidak terhadang polah pengendara lain di jalan, komunitas ini bertumbuh, meningkatkan kemampuan demi misi kemanusiaan lainnya.
Kabut belum sepenuhnya hilang di Desa Sirnaresmi, Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Jalan setapak selebar 3 meter ramai dilalui berbagai jenis kendaraan.
Ambulans, mobil bak terbuka milik Basarnas, juga truk bermuatan aparat kepolisian bergantian menanjak menuju lokasi longsor yang tercatat merenggut puluhan jiwa.
Sabtu (5/1/2019) pagi itu, aparat dari sejumlah institusi, sukarelawan, dan warga masih bahu-membahu untuk menemukan sembilan korban longsor di wilayah itu.
Di sisi jalan menuju lokasi longsor, sejumlah sukarelawan sibuk mengurus obat-obatan. Obat merah untuk luka, obat diare, obat asma, vitamin untuk bayi, dan beragam obat lain diatur rapi. Beberapa orang lainnya mengatur logistik.
Sebagian dari mereka memakai jaket motor berwarna merah terang. Di bagian belakang tertulis besar-besar, Indonesian Escorting Ambulance (IEA).
Jonathan (25), salah seorang sukarelawan, memang berprofesi perawat. Sebuah panggilan masuk, seorang warga meminta diperiksa kesehatannya. Dia memakai rompi hijau terang bertulis medis di bagian belakang. Bersama tiga rekan, dia menyiapkan perlengkapan dan menuju lokasi rumah warga.
Sebelumnya, sekitar 30 warga datang untuk memeriksakan kesehatan. Warga korban longsor yang luka mendapat jahitan luka. Sebagian yang mengalami sakit pascabencana juga diberi obat.
Jonathan adalah salah satu dari puluhan anggota komunitas IEA yang turun membantu saat bencana longsor terjadi di wilayah itu. Sejak Rabu, bersama beberapa rekannya dalam Tim Reaksi Cepat IEA, dia berangkat lebih dulu dari Jakarta menuju Sukabumi.
Anggota yang memiliki kemampuan medis disiapkan di posko medis. Sebagian anggota lainnya, yang mempunyai kemampuan evakuasi saat diturunkan ke lokasi longsor, ikut membantu dalam pencarian warga yang masih tertimbun. Sisa anggota diarahkan untuk membantu menyalurkan logistik yang terkumpul.
”Di sini, kami fokus utama di medis. Kami nyiapin obat dan logistik sejak Selasa dan teman-teman turun sejak Rabu,” kata Ketua IEA Yudhicahyadi.
Tak sekadar memandu
Bishma, panggilan Ketua IEA itu, mengemukakan, visi awal komunitas ini adalah menyadarkan masyarakat untuk memberikan jalan pada ambulans. Visi itu diwujudkan lewat praktik memandu ambulans setiap hari. Lambat laun visi itu berkembang sesuai realitas di lapangan.
Pada kasus kecelakaan di jalanan, misalnya, masyarakat kerap mengerubungi korban tanpa tahu apa yang harus diperbuat. Sebagian lagi lebih sibuk memotret ataupun memvideokan kejadian dengan ponsel.
”Kalau anggota kami kebetulan di lokasi, dan punya kemampuan medis dasar, bisa memberikan pertolongan yang tepat. Baru setelahnya memandu ambulans ke rumah sakit,” kata Bishma.
Menjelang akhir tahun lalu, pelatihan medis mulai dilakukan, utamanya terkait dengan bantuan hidup dasar. Anggota diarahkan untuk mengikuti pelatihan yang difasilitasi komunitas bekerja sama dengan instansi kesehatan.
Mereka diajari cara menangani orang yang kecelakaan atau terluka. Dari menanyakan titik sakit, mengobati luka, hingga cara mengangkat korban yang luka atau patah.
Tidak hanya itu, mereka juga diajari teknik memberikan pertolongan cardiopulmonary resuscitation (CPR ). Setiap anggota juga disarankan membawa peralatan medis sederhana di motor masing-masing.
Pelatihan medis menjadi hal penting, seperti halnya mengikuti program safety riding yang sifatnya wajib untuk anggota baru. Pelatihan medis ini telah dilakukan di beberapa wilayah, termasuk Jakarta dan Bogor.
”Kami harapkan semuanya bisa ikut secara bertahap. Ke depannya, mengawal ambulans tentu akan tetap dilakukan, tapi kemampuan rescue akan ditingkatkan,” kata Bishma. ”Saat ini, jejaring komunitas yang tersebar di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi mulai mengarah ke sana,” ucapnya.
Komunitas IEA tersebar di lebih dari 80 wilayah. Meski belum memiliki data lengkap anggota, jumlahnya diperkirakan lebih dari 500 orang.
Nova Tri Widyatmoko, pencetus IEA, mengungkapkan, banyak hal yang baru dia dapatkan setelah komunitas ini berjalan. Hal itu mulai dari cara berkendara yang aman hingga penanganan korban kecelakaan.
”Yang dilakukan pertama kali kalau ada orang luka adalah memberikan obat merah. Ternyata seharusnya disiram dengan NaCL dulu. Belum lagi kalau asal-asalan ngangkat korban yang tergeletak di jalan,” kata Nova.
Tidak hanya pengetahuan medis, mereka juga diharapkan mengikuti pelatihan penyelamatan hingga kebencanaan. Beberapa anggota juga ikut dalam penyelamatan korban kebakaran, korban tenggelam, serta evakuasi dalam bencana.
Kaya pengalaman
Komunitas IEA terbentuk pada Maret 2017. Awalnya, komunitas ini lahir dari keresahan Nova melihat seringnya ambulans terjebak macet di jalan. Orang-orang juga seakan tidak peduli untuk memberikan jalan meski sirene ambulans telah meraung dari jauh.
Dia lalu mencoba mengawal sendiri ambulans yang ditemuinya di jalan. Berikutnya, dia menyebarluaskan ide itu melalui jejaring media sosial. Ide ini mendapat tanggapan luas. Kopi darat dilakukan dan IEA pun terbentuk. Sejak Oktober tahun lalu, komunitas ini resmi menjadi organisasi yang berbadan hukum.
Pada kegiatan memandu ambulans, mereka berkomunikasi dengan sopir ambulans, pihak rumah sakit dan puskesmas, juga mengenalkan diri ke polres setempat. Setiap ambulans yang akan menjemput pasien, informasi kecelakaan, ataupun beragam kejadian diinformasikan ke komunitas lewat telepon, grup Whatsapp, atau handy talkie.
Anggota yang kebetulan sedang lowong dan berada dekat lokasi segera melakukan pengawalan. Mereka harus memakai perlengkapan keamanan standar, seperti helm, jaket komunitas, celana panjang, dan sepatu.
Siska Mustikawati (21), anggota IEA wilayah Cianjur, Jawa Barat, menuturkan, dirinya tertarik bergabung karena komunitas ini memiliki misi sosial tinggi. Dia juga hobi bermotor. ”Awal bergabung, kalau ngawal ambulans, saya di belakang saja. Nggak boleh di depan. Setelah ikut safety riding baru bisa di depan,” katanya.
Siska, yang bekerja harian sebagai karyawan swasta, selalu menyempatkan waktu pada akhir pekan untuk berkumpul. Saat mengawal ambulans, beragam pengalaman ia alami. Tidak sekali dua kali dia ditanggapi negatif oleh pengendara lain.
Banyak pengendara merasa kehadiran mereka tak perlu, tetapi juga tidak sadar diri untuk membuka jalan. Beberapa kali juga dia terjatuh saat mengawal ambulans.
”Tetapi, kalau sampai rumah sakit, terus orangnya selamat, itu bahagia. Beberapa kali keluarga korban mau kasih duit, tapi terima kasih saja sudah cukup,” ujarnya.
Rheno Firmantara (25) yang bergabung sejak Oktober 2017 berpendapat senada. ”Escorter itu tidak sekadar memandu. Banyak hal yang bisa saya pelajari di IEA ini. Sehabis memandu dan selamat sampai tujuan rasanya senang. Itu kayak sudah menjadi tugas kita sesama manusia,” tuturnya.