Detoks Digital Saja!
Detoks digital menjadi tren baru sebagai cara sehat mengurangi kebergantungan pada gawai. Banyak orang melakukan detoks ini dengan beralih pada kegiatan yang lebih positif secara sosial.
Marwina Sannova (29) hari-hari ini agak sulit dihubungi. Salah satu nomor ponselnya dia non-aktifkan, sementara nomor lainnya hanya sesekali dia periksa. Itu pun dia hanya memeriksa percakapan di Whatsapp (WA). Sejak pertengahan Desember 2018, dia berada di kampungnya di Desa Jokja, Kecamatan Kuala, Kabupaten Nagan Raya, Aceh, sekitar 515 kilometer dari Kota Medan, tempat dia bekerja.
Bukan lantaran lokasi yang jauh itu dia susah dihubungi. Namun, Nova sengaja memutus hubungan dengan telepon seluler untuk beberapa saat.
Sebagai jurnalis, ketika bekerja, dia harus selalu memantau segala percakapan di WA. Pekerjaannya tentu memang terkait langsung dengan informasi, baik dari sesama teman jurnalis, narasumber dan relasi, maupun dari redaktur.
”Sepanjang mata masih terjaga, jelas ponsel yang paling sering dipegang. Tapi, enggak bisa dimungkiri juga, gatal tangan pegang ponsel cuma buat lihat-lihat medsos yang sebenarnya aku tahu, isinya itu-itu melulu. Endless scroll,” ujarnya.
Saat kerja, dia sangat takut ketinggalan informasi. Bahkan, ketika dia sadar tidak ada informasi baru pun, ada dorongan untuk memeriksa gawai. Ini gejala yang disebut sebagai fear of missing out syndrome (FOMO Syndrome).
Untuk menanggulangi itu, dia memilih berlibur ke kampung sembari puasa gawai. Yang dilakukan Nova masuk kategori mini dari detoks digital atau diet digital. Dia puasa ponsel dalam beberapa jam setiap hari dan diganti dengan berlibur. Lebih banyak waktu dia habiskan berkumpul dengan keluarga, berbincang dengan sepupu, ataupun main ke sawah.
Dia menikmati betul berada di kampung karena dapat leluasa mendatangi tempat-tempat bermain waktu kecil. Di tempat-tempat inilah dia menyimpan masa paling bahagia, masa penuh obrolan dan candaan. Dengan begitu, dorongan memainkan gawai berkurang.
”Dulu sewaktu kecil sepulang sekolah, ganti baju dan langsung main ke sawah untuk mancing. Hampir setiap hari dilakukan,” kata Nova, yang setiap pulang main kerap dimarahi sang ibu karena bajunya kotor penuh lumpur.
Nova juga selalu ingat ketika membonceng ayahnya naik sepeda ontel, memanen semangka, atau sekadar menemani ayahnya di ladang. Di sana dia merasa mendapat limpahan kasih sayang. Itulah yang mendorong dia selalu pulang kampung minimal setahun sekali.
Dia ingin mengulang masa-masa ketika gawai belum ada sehingga pertemuan fisik menemukan esensinya.
Kegelisahan yang sama dirasakan Livia (51), sebut saja begitu; perempuan yang berkantor dari rumah dalam usaha perdagangan mebel ini.
Dulu dia bekerja selama 18 tahun pada suatu perusahaan dengan posisi manajer senior. Ketika muncul gawai pintar dan media sosial, dia turut intensif aktif karena harus memantau pekerjaan kantor dari gawai. Bahkan, ketika berlibur di tengah laut pun tak bisa lepas dari gawai. Gawai memegang peran penting dalam pekerjaannya sehingga tak boleh ada yang terlewat.
Di media sosial seperti Facebook atau grup percakapan WA, dia sangat aktif. ”Bisa dibilang selama 14 jam dalam sehari selalu berhubungan dengan hape,” ujarnya.
Porsi yang dijalani Livia dalam berinteraksi dengan gawai terbilang sangat tinggi. Situs tentang detoks digital, Time to Log Off, menyebut, secara global, rata-rata orang menghabiskan waktu 24 jam dalam sepekan untuk online. Sebagai perbandingan, rata-rata orang dewasa di Inggris menghabiskan waktu delapan jam dan 41 menit berhadapan dengan monitor, baik itu komputer maupun gawai.
Livia merasa kebergantungan pada gawai membuat banyak waktunya terbuang. Dia perlu menguranginya. Sebagai langkah awal, dia keluar dari pekerjaan lalu mengikuti meditasi selama lima hari.
”Banyak buku menyebut banyak orang sukses menilai meditasi benar-benar membantu lebih fokus, menyadari pentingnya kehidupan. Saya baca tentang benefit meditasi, lalu mencoba ikut,” kata perempuan yang suka menyelam ini tentang motivasinya bermeditasi.
Akhir tahun lalu, dia ikut meditasi lagi selama 10 hari. Kali ini, dia bukan saja harus meninggalkan gawai, bahkan kontak mata dengan sesama peserta meditasi pun dilarang. Pelajaran yang dia dapat adalah harus kembali menemukan diri. Belajar fokus pada diri sendiri.
Dalam meditasi dia belajar melatih konsentrasi. Pada menit-menit pertama di hari pertama, pikiran ke mana-mana. Memasuki hari ketiga mulai tenang, setidaknya tidak melamun. Pada hari kelima dan seterusnya, dia menemukan ketenangan dalam diam.
Selepas itu, dia menyadari betul bahwa meditasi sangat efektif menghilangkan kebergantungan pada gawai. Sekarang, dia bisa mengukur pemakaian gawai.
”Sudah berkurang jauh, paling tinggal sepertiganya. Saya juga tidak terlalu kepo dengan media sosial,” ujar Livia.
Gerakan global
Detoks digital yang dilanjutkan dengan diet digital seperti langkah Livia memang bukan hal ringan. Butuh komitmen dan disiplin kuat. Namun, itu sepadan dengan hasil yang didapatkan. Bagi orang-orang yang menilai langkah ini terlalu sulit, masih banyak cara lain untuk mengurangi racun digital dalam benak.
Detoks digital telah menjadi tren global sebagai respons terhadap banyaknya keluhan akibat terlalu banyak berinteraksi dengan gawai.
Global Web Index dalam surveinya pada Agustus tahun lalu terhadap 4.438 responden menyebutkan bahwa 19 persen responden telah melakukan detoks digital. Sebanyak 51 persen responden lainnya menjalani diet digital. Adapun sisanya belum peduli terhadap kedua langkah tersebut.
Survei tadi menyebut para pelaku detoks digital ingin punya banyak waktu untuk berinteraksi dengan keluarga, lebih sehat, dan bisa melakukan hal positif lain di luar jejaring.
Christophorus Hasto (23), arsitek, termasuk salah satu orang yang ingin mendapatkan kembali kedamaian dirinya yang direnggut gawai. Dia sadar betul bahwa kebergantungan pada gawai sering membuatnya tertekan.
”Kadang tahu lebih sedikit itu lebih menyenangkan,” kata Christophorus tentang banjir informasi lewat gawai yang tidak semuanya menyehatkan.
Dia kini menjalani diet digital dengan mengurangi porsi berinteraksi dengan gawai. Dulu bisa tiga jam sehari membuka media sosial, sekarang tinggal setengahnya. Itu juga dia gunakan untuk menyimak seminar via Youtube atau Podcast.
Barangkali Anda, kita, bisa jadi merasakan apa yang dirasakan Christophorus, Livia, dan Nova, yang kebanyakan berurusan dengan gawai. Mungkin ini saatnya menjalani detoks digital sembari berpikir melakukan hal lain yang positif. (E07)