Etnisitas Melintas Batas
Sampai kini kita masih dihantui bayang-bayang bahwa budaya dan agama menjadi sumber benturan peradaban. Jika dikemas dengan benar, sebenarnya keduanya bisa menjadi fondasi harmoni. Begitu pula di ranah busana, tak ada benturan peradaban. Etnisitas dapat melintas batas.
Seorang model berdarah kaukasia melenggang di atas landas peraga membawakan baju berwarna alam bergaris tegas. Sesekali dia menebar senyum mengirim pesona kepada setiap mata yang menontonnya pada perhelatan di atas kapal Boreas yang menyusuri Sungai Seine, Paris, Desember 2018.
Kapal itu melaju, tetapi sekitar 300 undangan yang ada di atas kapal tak pernah merasa kapal itu bergerak. Salah satunya karena pesona pakaian model tadi.
Sang model saat itu mengenakan baju rancangan Sofie, salah satu perancang mode Indonesia yang terlibat dalam ajang mode bertajuk ”La Mode Sur La Seine a Paris”. Ia membawa delapan baju bertema Urban Accentrix. Perancang busana berdarah Madura ini memakai kain lurik dan tenun sebagai bahan dasar.
Dia memodifikasi sedemikian rupa bajunya sehingga memberikan kesan kontemporer dan cocok membalut badan siapa pun, beretnis apa saja, termasuk model berdarah kaukasia tadi.
Semula lurik merepresentasikan kelas karena jenis kain ini hanya dipakai kaum jelata di pedesaan Pulau Jawa. Bahannya yang relatif kasar dan dijual murah terjangkau oleh kalangan jelata. Seiring makin kaburnya batas kelas sosial, lurik merangkak menjangkau kelas-kelas sosial lain. Lurik tidak lagi mewakili kelas.
Itu juga ditegaskan Sofie dalam koleksinya yang diperagakan di Paris. Sofie melangkah lebih jauh dengan menjangkau sisi-sisi global dan kontemporer dalam rancangannya. Kontemporer di sini dapat dimaknai sebagai segala yang bertolak dari pakem-pakem konvensional.
Pakem konvensional cenderung simetris, senada, sederhana, tapi penuh keteraturan. Sofie membalikkan itu dengan membongkar keteraturan, tetapi tetap berpijak pada pola-pola yang indah. Dia misalnya membuat baju yang asimetris: sebelah berlengan panjang, sebelahnya lagi pendek. Sebelah kiri warna cerah dan sebelahnya lagi berwarna gelap. Tampak tidak teratur, tetapi sebenarnya beraturan. ”Kuncinya ada pada padu-padan yang pas,” kata Sofie.
Baju-baju rancangan Sofie menampilkan kesan etnik sekaligus kontemporer dengan rasa Asia. Warna-warna gelap dan misterius memberi kesan elegan sekaligus maskulin. Satu baju terdiri dari tiga bagian, yakni atasan, bawahan, dan jaket. Di sana ada tambahan kantong dan sabuk bergaya kimono.
Sofie membawa tenun dan lurik ke Paris sebagai bentuk penguatan narasi bahwa identitas budaya tidak selalu harus berbenturan untuk mencari keteraturan baru. Dia dapat menjadi unsur harmoni ketika berdialog dengan budaya lain. Dalam bajunya setidaknya ada unsur Jepang dan Jawa yang harmonis dan berpadu manis.
Pilihan lurik sebagai bahan dasar bukan saja karena pertimbangan budaya atau etnisitas. Sofie mempertimbangkan kemudahan. ”Saya memilih material yang gampang diproduksi. Lurik atau tenun lebih mudah didapat,” kata Sofie yang mendapat banyak pujian dalam acara di Paris tersebut.
Tenun troso
Mirip dengan itu, para siswa SMK NU Banat Kudus lewat label Zelmira membawa baju-baju berbahan tenun troso dari Jepara, Jawa Tengah. Mereka membawa 24 baju berbahan dasar tenun ikat troso, dari Desa Troso, yang hanya sekitar 10 kilometer dari bibir pantai utara Jawa.
Secara umum, ragam hias tenun troso banyak berwarna gelap atau coklat tua. Belakangan muncul juga warna-warna cerah seperti kuning dan biru. Warna-warna itu pula yang diusung ke Paris dalam baju-baju yang diberi tajuk Troso Nimbung.
”Troso Nimbrung berarti mengikuti,” kata Fitria Noor Aisyah, salah satu pelajar SMK NU Banat yang ikut ke Paris. Troso yang berasal dari Desa Troso, Jepara, turut tampil dalam peragaan busana di Paris sebagai bentuk menduniakan budaya lokal.
Itu dituangkan dalam potongan-potongan modest sporty dalam bentuk jaket bomber panjang, long coat, vest, tunik, blus asimetris, celana harem, celana ramping, dan rok panjang. Ada tambahan rib pada manset dan ban pinggang untuk menambah kesan sporty.
Meminang motif
Pada kesempatan itu, Syukriah Rusydi membuat kreasi baru berangkat dari motif-motif kerawang gayo, kekayaan budaya yang berasal dari Gayo, subetnis di Aceh. Kerawang gayo menyimbolkan filosofi hidup, prinsip, agama, adat istiadat, dan kehidupan sosial masyarakat Gayo. Motif kerawang gayo selalu dipakai dalam beragam acara sakral seperti pernikahan.
Semula, kerawang gayo konon hanya ada pada Pitu Ruang, sebutan untuk rumah adat khas Gayo. Lalu berkembang ke kain yang biasa dipakai pada upacara adat. Belakangan motif ini menempel pula pada beragam tas, dinding, dan cendera mata.
Syukriah ingin agar semangat dan corak etnis kerawang gayo hadir dalam lanskap lebih luas. Paris sebagai kiblat mode dunia menjadi titik strategis. Ia tidak mengambil begitu saja motif kerawang gayo, tetapi merangkainya dalam kreasi baru. Dengan cara itu, sakralitas kerawang gayo terjaga.
Lewat label Reborn29, Syukriah membawa 16 baju yang terdiri dari dua kelompok, yakni gaya jalanan (street style)dan etnik. Koleksi ini bertajuk Winter Romantism. Pada kelompok etnik inilah sentuhan bordir kerawang gayo menghiasi.
Winter tentu saja merefleksikan peradaban Barat atau setidaknya negeri empat musim, sementara kerawang gayo mewakili Tanah Air, yakni Gayo. Dengan kata lain, ada dialog dua peradaban yang dinamis dan harmonis.
Syukriah menggunakan pola dan bentuk neo-medieval. Lebih kasual, tetapi tidak terlalu feminin. Unsur androgini pada garis dan potongan tampak mendominasi, terutama di bagian atas. Ini didukung dengan pemilihan warna yang lembut, mewakili musim dingin.
Dia berpijak pada keyakinan bahwa sefeminin apa pun perempuan, jika memakai baju maskulin, akan tampak maskulin. Dengan kata lain, dia ingin memberikan kesan tangguh sekaligus lembut pada rancangannya.
Syukriah, kelompok siswa SMK NU Banat, dan Sofie merupakan tiga dari 16 perancang busana yang ikut dalam La Mode Sur La Seine a Paris. Acara ini diselenggarakan oleh Indonesian Fashion Chamber bekerja sama dengan berbagai pihak, seperti Kementerian Perindustrian, Djarum Foundation, Viva Cosmetics, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh, Kedutaan Besar Republik Indonesia di Paris, dan panitia penyelenggara HY.
Lewat acara ini, mereka ingin menunjukkan bahwa etnisitas bukan biang benturan peradaban. Justru menjadi unsur penguat jalinan budaya tanpa sekat primordial dan ruang. Etnisitas yang melintas batas.